Politik
Kebangsaan dan Pemberantasan Korupsi Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar pada
Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga |
KOMPAS, 20 Mei 2021
Pada 1932 sekembalinya
dari Belanda, tanpa banyak membuang waktu Mohammad Hatta menulis sebuah
pamflet pergerakan politik berjudul Menuju Indonesia Merdeka. Di situ beliau
menguraikan untuk menuju Indonesia merdeka, kebangsaan harus ditempatkan
dalam satu tarikan napas dan tidak boleh dipisah dengan demokrasi
(kerakyatan) dan pemerintahan bersih. Kebangsaan yang tidak
dicerahkan oleh paham demokrasi, akan rentan dikorupsi menjadi alat bagi
segelintir kaum ningrat dan penguasa untuk memenuhi kepentingannya. Sementara
demokrasi membutuhkan kebangsaan agar prinsip-prinsip politik kerakyatan
tumbuh bersemi secara kultural dalam kehidupan bernegara. Torehan tebal pena
Mohammad Hatta sembilan dekade lalu sepertinya lebih relevan sebagai
peringatan bagi kita sekarang daripada saat beliau menuliskan pamflet politik
tersebut. Manuskrip Menuju Indonesia Merdeka ditulis oleh Bung Hatta kepada
kita semua sebagai pengingat bahwa segenap prinsip-prinsip kebangsaan seperti
Pancasila, wawasan kebangsaan, dan Bhinneka Tunggal Ika itu semua hanya akan relevan
sebagai perekat persaudaraan di tengah perbedaan dalam naungan otoritas
politik apabila unsur-unsur demokrasi seperti anti-korupsi, kebebasan
berpendapat dan hak kewargaan, partisipasi publik, serta transparansi
kekuasaan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara. Kebangsaan
dan demokrasi Penegasan tentang
bertautnya kebangsaan dan demokrasi sebagai landasan kehidupan kita bernegara
ini sangat penting ketika kita berhadapan dengan kondisi pelemahan demokrasi
ataupun surutnya komitmen atas pemerintahan yang bersih dan anti-korupsi.
Beberapa tahun terakhir kita semua menyaksikan pelemahan demi pelemahan atas
institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi ujung tombak dari
komitmen kerja anti-korupsi. Hal itu mulai dari
pengesahan Undang-Undang KPK pada 2019 yang membonsai kapasitas KPK dalam
kerja membersihkan praktik korupsi sampai yang terakhir kontroversi
irasionalitas hasil tes wawasan kebangsaan dalam perubahan status menjadi ASN
yang sarat diduga sebagai ajang penjegalan para aparat KPK (Kompas, 7 Mei
2021). Pada yang terakhir ini, kita menyaksikan hal yang melampaui
kekhawatiran Bung Hatta. Tidak saja kebangsaan dipisahkan dari demokrasi dan
kerakyatan, lebih dari itu, istilah kebangsaan berpotensi digunakan sebagai
alat penghancur agenda pemberantasan korupsi. Apa yang kita saksikan
selama setidaknya beberapa tahun terakhir ini, betapa jargon kebangsaan
ditinggikan sementara tata negara demokrasi digerogoti perlahan-lahan.
Kebangsaan yang hadir dengan rapuhnya sendi-sendi hak-hak kewargaan, rasa
keadilan dan surutnya harapan warga atas pemerintahan yang kredibel. Formasi
negara-bangsa yang hadir dalam kondisi seperti ini bukanlah sebuah tata
kelola negara yang kuat, tetapi justru tata kelola negara lemah yang
berpotensi akan kehilangan legitimasinya karena sangat timpang berjarak dari
sumber kedaulatannya yaitu rakyat. Corak kebangsaan kita
sejak awal tumbuh melalui hadirnya ruh politik kewargaan dan cita-cita
demokrasi. Nasionalisme Indonesia seperti yang diuraikan oleh sejarawan Vijay
Prashad (2008) dalam The Darker Nations: A People’s History of the Third
World menyatu dalam arus gelombang besar berbagai proyeksi nasionalisme dunia
ketiga. Suatu corak nasionalisme yang lahir dari rahim perlawanan rakyat
terhadap kolonialisme untuk melampaui kesengsaraan rakyat pada masa kolonial. Karena itu, upaya merawat
semangat nasionalisme berdimensi politik kewargaan tersebut hanya akan
langgeng ketika berjejak dalam pengutamaan terkelolanya harapan warga atas
pemerintahan yang bersih dan demokratik. Praktik bernegara yang kredibel dan
segenap warga menyaksikan bahwa para pengelola negaranya melibatkan mereka
untuk bersama membersihkan negara dari anasir-anasir korup dan berusaha
memuliakan kehidupan sosial warganya. Kebangsaan
dan oligarki Kebangsaan Indonesia
adalah bentuk kebangsaan yang lahir dari kehendak bersama untuk keluar dari
ketertindasan dari pengisapan daya hidup dan kemakmuran negerinya oleh para
segelintir elite dalam tatanan kolonialisme. Sementara itu, pada era Indonesia
pasca-otoritarianisme praktik pengisapan kehidupan warga, tersumbatnya
distribusi kemakmuran ke seluruh warga demi terciptanya keadilan sosial
bekerja melalui praktik operasi korupsi terhadap sumber daya negara yang
dilakukan oleh segelintir aliansi bisnis-birokrasi dan politik yang kita
kenal dengan nama struktur oligarki. Bung Hatta dalam
pamfletnya Menuju Indonesia Merdeka sudah memberikan rambu-rambu yang tegas.
Ketika kebangsaan dipisahkan dari prinsip demokrasinya, secara liar
kebangsaan rentan terkorupsi menjadi alat bagi segelintir elite dominan untuk
memenuhi keserakahannya dengan menjadikan rakyat sebagai perkakasnya belaka.
Sebuah corak kebangsaan yang dia sebut sebagai kebangsaan dengan cap ningrat. Sementara kebangsaan yang
berasas kedaulatan rakyat menegaskan bahwa segala bentuk hukum dan kebijakan
yang digulirkan negara harus bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran
yang hidup dalam hati rakyat banyak. Apabila diterjemahkan dalam konteks
kekinian bermakna komitmen terhadap demokrasi dan pemerintahan yang bersih,
serta pemajuan agenda anti-korupsi dan komitmen terhadap hukum yang adil. Ketimpangan
dan korupsi Perawatan semangat
kebangsaan pada intinya adalah merawat harapan kolektif. Terutama semenjak
Indonesia pasca-otoritarianisme harapan bersama bagi terpenuhinya keadilan
melalui pelaksanaan agenda-agenda reformasi perlahan-perlahan menguap. Terkikisnya harapan
tersebut berjalan seiring dengan semakin lebarnya angka ketimpangan sosial,
di mana saat ini 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50 persen dari
kue kemakmuran nasional. Seperti dalam laporan OXFAM tahun 2017 bahwa sumber
ketimpangan sosial di Indonesia terjadi akibat bekerjanya eksperimentasi
fundamentalisme pasar dengan masih bercokolnya praktik korupsi dan perburuan
rente demi kepentingan segelintir oligarki. Pada akhirnya apabila
pemimpin negeri ini hendak mengerek tinggi-tinggi bendera kebangsaan dalam
kehidupan republik, buhul tali kuat yang mengikat bendera itu harus
bersendikan pada prinsip-prinsip negara demokrasi yang di dalamnya agenda
anti-korupsi menjadi pengikat yang kokoh di dalamnya. Apabila tidak demikian,
bendera Merah-Putih tidak akan berkibar indah di angkasa karena tidak
ditopang oleh rasa keadilan dan harapan bersama yang tumbuh dalam suasana
kebatinan warga Indonesia yang sekian lama merindukan hidup di sebuah
republik yang bersih. Sebuah republik di mana segenap kemakmuran negeri
didistribusikan dengan adil dan tidak ada segelintir elite yang menguasai
kekayaan negara di tengah kesengsaraan mayoritas warga Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar