”Intellectual
Property” Vaksin Korona Dominicus Husada ; Kepala Divisi
Penyakit Infeksi dan Tropik Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran, Anggota Tim Peneliti Vaksin Covid-19 Universitas Airlangga |
KOMPAS, 21 Mei 2021
Lebih dari 100 negara
menyampaikan desakan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) agar
"intellectual property" vaksin Covid-19 dibebaskan. Inisiatif tentu berasal
dari negara belum maju, terutama Afrika Selatan dan India. Desakan ini
ternyata disambut persetujuan Presiden AS, Joe Biden, yang selanjutnya
bersedia memproses lebih lanjut keputusan itu. Biden bahkan sudah
memerintahkan perwakilan AS di WTO untuk melanjutkan usul ini. Intellectual
property mengandung unsur paten, copy right, dan royalti. Pembebasan IP
mempunyai sederetan dampak yang signifikan, baik positif maupun negatif, bagi
banyak negara dan pihak terkait lain di seluruh dunia. Persoalan serupa
sebenarnya pernah terjadi beberapa tahun silam ketika sederetan negara
mengajukan pembebasan IP obat anti virus untuk HIV. Berbeda dengan kali ini,
saat itu AS bersikap menentang. Pada kenyataannya pembuatan obat anti virus
ini kemudian banyak dilakukan perusahaan pembuat obat di negara berkembang
yang menghadapi badai penderita HIV dalam jumlah besar namun sulit mendapat
akses ke obat baru. Keuntungan
pembebasan IP Munculnya desakan
pembebasan IP untuk vaksin Covid-19 didasari kepentingan bersama, untuk
mempercepat proses produksi dan pengadaan vaksin Covid-19. Seperti diketahui,
hingga minggu kedua Mei 2021, baru sekitar 1 miliar dosis vaksin diberikan
dengan penyebaran sangat tak merata di dunia. Ketimpangan terjadi antara
lain karena ketersediaan vaksin yang sangat terbatas serta perbedaan
kemampuan secara ekonomi untuk membeli. Jika pun negara itu telah memperoleh
komitmen pengadaan, biasanya itu karena dibantu Covax, yang memang didirikan
dengan tujuan membantu kelompok negara yang relatif kurang mampu. IP membuat
pembuatan vaksin hanya bisa dilakukan perusahaan bersangkutan. Pihak lain yang ingin
memproduksi pasti tak bisa. Jika ada yang ingin memperoleh vaksin itu, jalan
terbaik adalah membeli. Padahal harga vaksin Covid-19, di luar skema Covax,
dan satu-dua vaksin yang dibuat dengan skema sangat murah, relatif mahal.
Sementara, antrean pembelian vaksin itu panjang dan korban terus berjatuhan. Pada minggu kedua Mei 2021
ada sedikitnya enam negara Asia yang menghadapi lonjakan penderita Covid-19
secara signifikan, di luar India yang sungguh menghadapi mimpi buruk.
Alhasil, jika pun negara itu memperoleh vaksin, prosesnya pasti panjang,
dengan jangka waktu lama, serta biaya tidak sedikit. Pembebasan IP diharapkan
dapat mengubah itu semua. Produksi vaksin bisa dilakukan oleh perusahaan lain
yang menguasai teknologi tersebut, harga jual bisa ditekan, dan negara bisa
memperoleh vaksin yang bersangkutan dalam jangka waktu yang relatif pendek.
Apalagi untuk vaksin mRNA yang mempunyai masa pembuatan vaksin yang sangat
cepat. Secara ideal memang gambaran ini yang muncul, namun dalam realitas
kiranya proses dan perjalanan selanjutnya tidak akan mudah. Sekali lagi, pertimbangan
keselamatan umat manusia serta kenyataan bahwa tidak ada seorang pun di muka
bumi boleh merasa aman jika masih ada orang yang tidak aman, menjadi landasan
utama pembebasan IP. Di antara negara maju,
baru Perancis yang jelas mendukung AS. Orang berspekulasi ini dilandasi
pertimbangan tak satu pun perusahaan vaksin Perancis memiliki vaksin yang
sudah berlisensi. Institut Pasteur telah menghentikan riset vaksin Covid-19
dan perusahaan raksasa Sanofi belum menyelesaikan uji klinik fase 3, setelah
serangkaian penundaan akibat respons imunologi yang rendah. Negara Uni Eropa
lain dan Inggris menentang rencana ini. Di dunia dari seluruh
vaksin Covid-19 yang telah memiliki izin edar, empat berasal dari AS, empat
dari China, dua dari Rusia, dan masing-masing satu dari India, Inggris, dan
Kazakhstan. Lebih dari seratus kandidat vaksin lain sedang berada dalam uji
klinik fase 1-2-3. India yang mempunyai pabrik vaksin berskala raksasa tentu
akan mengambil keuntungan besar dari pembebasan IP. Ini juga akan dirasakan
China, sekalipun kemungkinan negara panda ini juga akan menghadapi kerugian
dari segi lain jika IP memang dibebaskan. Kerugian
pembebasan IP Kerugian utama jika IP
dibebaskan terutama akan memukul para peneliti dan produsen vaksin di negara
maju. Mereka juga yang langsung bersuara menentang rencana ini. Dalam setiap
acara ilmiah tentang vaksin, setiap kali ada usulan agar harga vaksin dibuat
lebih murah, terutama bagi negara tak maju, memang selalu muncul jawaban
bahwa “salah satu konsekuensi dari itu adalah terhambatnya riset vaksin
baru”. IP memberikan pengakuan
keilmuan, proteksi hukum, serta keuntungan material bagi para peneliti dan
produsen vaksin, terutama di negara maju. Pihak yang dirugikan ini mengajukan
alternatif skema lain untuk mencapai tujuan yang sama tanpa perlu
mengorbankan IP. Salah satu model yang
ditawarkan adalah kerja sama Universitas Oxford dan Astra-Zeneca di mana
sejak awal sudah dibahas berbagai alternatif keuangan dan harga. Oxford
secara konsisten meminta supaya perusahaan tidak mengambil banyak keuntungan
dari vaksin mereka dan lebih bertujuan meningkatkan cakupan imunisasi
setinggi mungkin ke seluruh dunia. Model lain adalah semacam
kontrak kerja sehingga perusahaan Serum Institute di India bisa memproduksi
vaksin milik negara lain, tanpa mengenyampingkan IP. Alternatif ketiga,
mengambil alih pabrik vaksin di negara lain dan menaikkan kemampuan produksi,
baik dari segi jenis maupun jumlah. Selama pandemi, AS sendiri telah
memodifikasi atau membangun puluhan pabrik baru untuk mengejar target
produksi. Banyak ahli berpendapat
dukungan Pemerintah AS untuk membebaskan IP lebih bersifat politis. Faktanya
proses yang diharapkan mengikuti pembebasan IP itu akan memerlukan banyak
hal, sekiranya pada akhirnya keputusan disetujui. Kerja sama dengan
perusahaan vaksin asli, misalnya. Sekalipun hak atas IP sudah tak ada,
teknologi untuk vaksin mRNA dan vaksin berbasis virus adeno hanya dikuasai
oleh sedikit pihak. Tanpa kerja sama untuk
transfer teknologi tak mungkin perusahaan atau negara lain bisa memproduksi
sendiri. Sejauh ini AS punya tiga platform vaksin Covid-19: vaksin mRNA,
bervektor virus, dan protein rekombinan. Tiga platform lain yang juga
dikenal, yakni vaksin DNA, inaktif, dan vaksin hidup dilemahkan belum satupun
yang menyelesaikan uji klinik. Dari semua platform itu protein rekombinan
adalah teknologi yang paling lama dikenal. Alih teknologi untuk vaksin jenis
ini relatif lebih mudah dan lebih realistis untuk dilakukan. Dampak
bagi Indonesia Pembebasan IP juga akan
berdampak bagi kita. Di Asia Tenggara hanya Indonesia, Vietnam, dan Thailand,
yang mampu dan sudah memproduksi vaksin. Di Tanah Air sendiri hanya Biofarma
(BUMN), yang mampu segera mengambil manfaat. Produksi vaksin inaktif dan
nampaknya juga rekombinan protein menjadi dimungkinkan. Teknologi sudah dikuasai.
Biaya akan bisa ditekan sebab tak perlu lagi membeli vaksin dari negara lain
dengan harga mahal. Kesinambungan produksi juga lebih terjamin. Apalagi jika
perjanjian pemerintah kita dan China memang benar direalisasikan. Perusahaan
vaksin lain saat ini belum benar-benar siap. Perusahaan yang sudah
memproduksi obat bagi manusia memerlukan modifikasi tertentu untuk dapat
memproduksi vaksin. Pabrik vaksin untuk hewan perlu pula menaikkan kondisi
yang dimiliki guna memenuhi ketentuan good manufacturing product. Itu semua
perlu waktu dan biaya relatif mahal. Bagi para peneliti vaksin
yang saat ini sedang mendapat angin segar karena dukungan besar pemerintah
dalam skema vaksin merah putih, pembebasan IP akan menjadi buah simalakama.
Aliran dana penelitian mungkin dikurangi. Gairah meneliti untuk menghasilkan
vaksin sendiri ditakutkan tergusur keinginan mengambil ciptaan negara lain
yang lebih murah dan lebih cepat dibuat. Riset vaksin mungkin
meredup dan kita kembali menjadi negara di dunia dengan penduduk lebih dari
250 juta orang yang tidak mampu meneliti dan menghasilkan vaksin mandiri. Apapun keputusan akhir
kelak, pembebasan IP selalu seperti pedang bermata dua. Semoga manfaat
maksimal akan bisa dirasakan oleh sebanyak mungkin umat manusia sambil
mengurangi kerugian bagi peneliti dan produsen vaksin. Sementara menunggu,
mari kita tetap konsisten melanjutkan diseminasi vaksinasi Covid-19 yang
jelas sudah memberi manfaat nyata di negara dengan cakupan tinggi seperti
Seychelles, Israel, dan Uni Emirat Arab. Mari juga melanjutkan
penelitian vaksin merah putih sampai sungguh terwujud dan bisa dirasakan
masyarakat banyak. Dinamika vaksin Covid-19 memang masih akan panjang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar