Pendidikan,
Riset, dan Kemajuan Bangsa Rokhmin Dahuri ; Guru Besar Manajemen
Pembangunan Pesisir dan Lautan – IPB University, Member of International
Scientific Advisory Board, University of Bremen, Germany) |
KOMPAS, 20 Mei 2021
Sejarah dan fakta empiris
membuktikan bahwa sejak kejayaan Romawi hingga kini, bangsa-bangsa yang maju,
makmur, dan berdaulat adalah mereka yang menguasai iptek dan mampu
menghasilkan inovasi secara berkelanjutan. Bukan negara yang melimpah
kekayaan sumber daya alamnya. Kemudian, penguasaan iptek
dan kemampuan berinovasi sangat bergantung pada kapasitas riset dan kualitas
sumber daya manusia (SDM) dari suatu bangsa. Sayangnya, semua indikator
kinerja utama bangsa Indonesia yang terkait dengan iptek, inovasi, dan SDM
masih rendah. Kapasitas iptek Indonesia
baru mencapai kelas-3 (technology-adaptor country), di mana lebih dari 70
persen kebutuhan teknologi nasional berasal dari impor. Sementara negara maju
adalah yang kapasitas ipteknya kelas-1 (technology-innovator country), yang
lebih dari 70 persen kebutuhan teknologinya dihasilkan oleh bangsa sendiri
(UNESCO, 2019). Kapasitas inovasi kita
menempati peringkat ke-85 dari 126 negara yang disurvei, dan pada urutan ke-7
di ASEAN. Kualitas SDM Indonesia yang tecermin pada IPM (Indeks Pembangunan
Manusia) pun baru mencapai 0,71, belum memenuhi syarat sebagai bangsa maju
dengan IPM di atas 0,8. Pada tataran global, IPM Indonesia berada di
peringkat ke-107 dari 189 negara yang disurvei, dan ke-6 di kawasan ASEAN. Selain itu, kemampuan
literasi kita masih sangat rendah, tercermin pada indeks minat baca yang
hanya 0,001. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin
membaca (UNESCO, 2012). Hasil survei PISA yang mengukur kemampuan membaca,
matematika, dan sains pelajar kelas tiga SLTP di seluruh dunia, mengungkapkan
bahwa pada 2018 dari 78 negara yang disurvei, Indonesia hanya menempati
peringkat ke-72. Meskipun, berdasarkan
bidang keilmuan (fakultas) yang mencakup pertanian, kehutanan, dan perikanan;
IPB University sudah mencapai peringkat ke-62 dunia, tetapi secara
kelembagaan, dari 4.500 perguruan tinggi di Indonesia, belum ada satu pun
yang masuk dalam 100 perguruan tinggi terbaik di dunia. UI baru mencapai
peringkat ke-657, diikuti oleh UGM di urutan ke-813, IPB University ke-1.089,
ITS (1.091), Unibraw (1.221), Unair (1.323), Telkom University (1.376), dan
ITB (1.650) (Webometrics, 2021). Hal yang lebih
mencemaskan, kita pun menghadapi darurat gizi buruk, di mana 30 persen anak
balita mengalami stunting growth (tengkes) dan 33 persen menderita gizi
buruk. Jika tidak segera diperbaiki, niscaya kita akan mewariskan generasi
yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation. Penyebab
ketertinggalan Sejumlah faktor telah
mengakibatkan rendahnya kapasitas iptek, inovasi, dan kualitas SDM. Pertama,
belum ada Peta Jalan Pendidikan dan Riset Nasional yang komprehensif dan
benar yang diimplementasikan secara berkesinambungan. Setiap kali ganti
menteri, ganti pula kebijakannya sehingga ibarat membangun ”istana pasir”
atau tarian poco-poco. Kedua, ekosistem Perguruan
Tinggi (PT) yang meliputi: (1) SDM; (2) prasarana dan sarana; (3) tata kelola
(visi pimpinan, culture of excellence, kebebasan akademik, kurikulum, teknik
pengajaran, dan regulasi); dan (4) anggaran pada umumnya masih jauh dari
standar PT berkelas dunia (World Class University). Metode pengajaran di
sebagian besar PT di Indonesia hanya berupa transfer pengetahuan. Bersifat
hafalan, bukan mengembangkan kapasitas analisis, kreativitas, inovasi, dan
pemecahan masalah (problem solving). Kewirausahaan
(entrepreneurship), kerja sama (team work), kemampuan berkomunikasi,
kepemimpinan (leaderships), dan aspek keterampilan lunak (soft skill) lainnya
pun kurang mendapat perhatian. Kebanyakan program studi tidak dilengkapi
dengan laboratorium dan sarana praktikum lainnya. Sedikit sekali PT di
Indonesia yang berbasis riset (Research-Based University) seperti di
negara-negara industri maju. Sehingga, lulusan PT di Indonesia pada umumnya
kurang kompeten, tidak siap kerja, dan kalah bersaing dengan lulusan PT dari
negara-negara lain. Wajar, bila banyak lulusan
PT yang menganggur. Tulisan (karya) ilmiah dari berbagai hasil penelitian PT
yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional ternama pun
jumlahnya masih terbatas. Dan, masih sedikit sekali (kurang dari 15 persen)
hasil penelitian PT kita yang mendapatkan hak paten berupa prototipe
(invention) kemudian sukses diindustrikan (scalled-up) menjadi produk, proses
produksi atau aplikasi (innovation) komersial yang laku di pasar domestik
maupun global. Ketiga, mirip dengan di
PT, pusat-pusat riset di bawah kementerian maupun lembaga pemerintah (seperti
LIPI, BPPT, Batan, dan Lapan) pun hasilnya sebagian besar berakhir pada
prototipe (invention). Sedikit sekali hasil penelitian yang sudah mencapai
tahap prototipe (technological readiness) berhasil diindustrikan menjadi
produk inovasi komersial (market and business-readiness) untuk memenuhi
kebutuhan nasional maupun ekspor. Kondisi memprihatinkan ini
disebabkan minimnya infrastruktur dan sarana riset, rendahnya kesejahteraan
serta penghargaan sosial bagi para peneliti, dan terbatasnya anggaran. Betapa
tidak, saat ini anggaran riset Indonesia hanya sebesar 0,24 persen PDB.
Sedangkan, Vietnam 0,53 persen, Thailand 1 persen, Malaysia 1,44 persen,
Singapura 2 persen, dan China 2,19 persen. Sementara itu, negara-negara
industri maju, seperti Amerika Serikat mencapai 2,84 persen, Jepang 3,26
persen, dan Korea Selatan 4,81 persen. Idealnya, anggaran riset suatu negara
minimal 1,5 persen dari PDB-nya (UNESCO, 2021). Selain itu, banyak program
(topik) penelitian yang sama dikerjakan oleh beberapa pusat riset
(overlaping). Di sisi lain, beberapa topik penelitian yang sangat dibutuhkan,
justru tidak ada lembaga yang mengerjakannya (mismatch). Sebagian besar topik
penelitian juga tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan atau pasar.
Akibatnya, begitu banyak hasil penelitian yang secara ilmiah sangat bagus
(world-class), tetapi tidak bisa diindustrikan menjadi produk inovasi
komersial. Karena, mayoritas peneliti mendesain dan melaksanakan penelitian
bukan berdasarkan pada apa yang dibutuhkan oleh industri atau pasar, tetapi
lebih untuk memenuhi pengembaraan ilmiah (scientific adventure). Namun, yang lebih
menyesakkan dada, hampir semua perusahaan swasta, BUMN, dan lembaga
pemerintah lebih suka mengimpor produk teknologi ketimbang mengembangkan
inovasi teknologi dari hasil penelitian karya bangsa sendiri. Banyak
pengusaha kita yang dulunya industriawan berubah menjadi sekadar pedagang
pengimpor. Keempat, kebanyakan
lulusan pendidikan dasar dan menengah kita, mulai dari tingkat PAUD, SD,
SLTP, hingga SLTA hanya unggul di hafalan, namun lemah daya talar, kemampuan
analisis, dan kreativitasnya. Kemampuan literasi, komunikasi, dan kerja sama
pun kurang berkembang. Selain itu, kemampuan dasar di bidang STEM (Science,
Technology, Engineering, and Mathematics) yang merupakan pondasi dari inovasi
dan produktivitas suatu bangsa pun masih lemah. Tak mengherankan, jika
proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi tinggi Indonesia hanya 8,1
persen; selebihnya (91,9 persen) berupa komoditas. Sementara itu, Singapura
sudah mencapai 85 persen, Malaysia 52 persen, Vietnam 40 persen, dan Thailand
24 persen (UNDP, 2021). Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita Indonesia
pun pada 2020 baru 4.050 dollar AS, masih sebagai negara
berpendapatan-menengah atas (GNI per kapita antara 4.046 hingga 12.535 dolar
AS). Indonesia belum menjadi negara makmur (high-income country) yang GNI per
kapitanya di atas 12.535 dollar AS. Agenda
pendidikan dan riset Untuk itu, membenahi
benang kusut permasalahan pendidikan dan riset nasional yang tak kunjung
usai, mesti ditangani secara holistik, terpadu, dan berkesinambungan. Tidak
bisa didekati secara tambal sulam, sektoral, dan terputus-putus seperti yang
terjadi selama ini. Di bidang riset, prioritas
agenda penelitian seyogianya difokuskan pada semua aspek yang terkait dengan kebutuhan
dasar manusia, yakni pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan,
elektronik, transportasi, serta pertahanan dan keamanan (hankam). Selain itu,
bidang SDA yang merupakan keunggulan komparatif Indonesia, termasuk
kemaritiman, kehutanan, pertanian, pariwisata, energi, dan sumber daya
mineral, juga mesti mendapatkan prioritas. Guna mendukung pembangunan
berkelanjutan, prioritas riset juga perlu dicurahkan untuk segenap aspek
tentang pengelolaan lingkungan hidup, Perubahan Iklim, tsunami, gempa bumi,
dan bencana alam lainnya. Karena kita hidup pada era Industri 4.0, maka
segenap prioritas penelitian itu harus berbasis pada teknologi generasi
Industri 4.0 seperti IoT (Internet of Things), Artificial Intelligent, Block
Chain, Cloud Computing, Big Data, Robotics, Drone, Human-Machine Interface,
New Materials, Nanoteknologi, dan Bioteknologi. Lebih dari itu, aspek yang
diteliti dan dikembangkan untuk setiap agenda penelitian bukan hanya terkait
dengan teknologi dan teknik (engineering), tetapi juga aspek pemasaran
(marketing), serta sosial, ekonomi, dan budayanya. Kemudian, harus ada
pembagian tugas antarlembaga penelitian yang tersebar di sejumlah PT,
kementerian, dan lembaga pemerintah sesuai dengan kompetensinya. Mekanisme
kerja sama antarlembaga penelitian, termasuk dengan lembaga penelitian negara
lain, pun mesti disusun dan dilaksanakan secara tepat serta berkesinambungan. Setiap lembaga penelitian
harus diberi target terukur tentang berapa prototipe, produk inovasi, dan
publikasi ilmiah per tahun. Selanjutnya, hasil penelitian dari setiap lembaga
yang sudah mencapai tahap prototipe, sebanyak mungkin harus diindustrikan
menjadi produk inovasi yang laku di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Pengindustrian prototipe
hasil penelitian merupakan tugas utama dari pihak industriawan (swasta dan
BUMN). Sedangkan, yang menjodohkan (match-making) antara peneliti dengan
industriawan adalah pemerintah. Seperti yang telah dilaksanakan di
negara-negara industri maju, pemerintah memberikan insentif kepada sektor
swasta yang mau mengembangkan produk inovasi teknologi dari hasil penelitian
anak bangsa sendiri. Insentif itu bisa berupa deductible tax, kemudahan
mengimpor peralatan dan bahan penelitian, bintang jasa, atau penghargaan
sosial. Dengan insentif tersebut,
niscaya korporasi pun akan senang untuk mendonasikan sebagian keuntungannya
guna meningkatkan anggaran riset nasional dari 0,24 persen menjadi 2 persen
PDB. Patut dicatat, bahwa 70 persen anggaran riset di negara-negara maju dari
sektor swasta. Sementara di Indonesia kontribusi swasta masih kurang dari 15
persen. Di bidang pendidikan,
pertama adalah memastikan bahwa semua anak Indonesia di seluruh wilayah NKRI
harus dapat lulus minimal dari SLTA dengan kualitas yang mumpuni. Kedua,
sejak dari jenjang SLTA, mesti sudah dibagi dua jurusan, yaitu SLTA umum
(SMA) yang lulusannya dipersiapkan untuk melanjutkan ke PT umum (universitas)
dan SLTA vokasi yang lulusannya dipersiapkan untuk langsung terjun ke dunia
kerja atau yang hendak melanjutkan ke PT vokasi. Proporsi kurikulum dan
metode pengajaran di SLTA vokasi 70 persen berupa praktik, dan 30 persen
pengajaran di kelas. Sementara di SMA, 70 persen lebih pengajaran di kelas,
dan sisanya praktik di laboratorium. Dengan demikian, struktur angkatan kerja
nasional kelak akan seperti di negara industri maju, dimana tingkat
pendidikan minimal adalah SLTA. Tidak seperti sekarang 60 persen lebih
terdiri dari mereka yang tidak tamat SD, lulusan SD, dan SLTP. Struktur angkatan kerja kita pun bakal
didominasi oleh lulusan SLTA vokasi, PT vokasi, dan universitas. Ketiga, untuk memastikan
bahwa 70 persen kurikulum PT vokasi berupa praktik langsung, maka selain
membangun sendiri prasarana dan saran praktik, PT vokasi harus bekerja sama
dengan dunia industri, baik milik swasta, BUMN maupun pemerintah sebagai
tempat praktik (magang) para mahasiswa. Dosen harus punya pengalaman bekerja
di industri sesuai bidang keahlian, bukan yang hanya menguasai teori. Keempat, memastikan bahwa
semua PT umum mampu menghasilkan lulusan yang kompeten dari aspek
keterampilan keras (hard skills), keterampilan lunak, dan karakter. Sehingga,
mereka akan siap bekerja atau menciptakan pekerjaan sendiri, mengembangkan
iptek, dan mampu bersaing dengan alumni negara lain di dunia kerja. Selain itu, hasil
penelitiannya banyak yang mencapai tahap prototipe dengan hak paten serta
bisa diindustrikan menghasilkan beragam produk inovasi, dan dipublikasikan di
jurnal ilmiah internasional. Para dosen dan mahasiswanya berhasil
melaksanakan kegiatan pengabdian pada masyarakat guna meningkatkan kualitas
SDM, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat daerah. Maka, SDM (dosen,
mahasiswa, dan tenaga non-akademik)-nya harus unggul. Didukung oleh
prasarana, sarana, dan dana yang berkualitas tinggi serta mencukupi. Dan,
governance PT pun harus berbasis riset berkelas dunia (World-Class Research
University). Pola kemitraan pentahelix (universitas, industri, pemerintah,
masyarakat, dan media massa) harus terus diperkuat dan dikembangkan supaya
Universitas tidak terjebak sebagai ‘menara gading’. Segenap agenda pendidikan
dan riset di atas akan berhasil jika didukung oleh kinerja sektor kesehatan
yang mampu mengatasi problem stunting growth dan gizi buruk yang melanda
anak-anak kita. Selain itu, terbangunnya infrastruktur digital yang dapat
menghubungkan seluruh wilayah Nusantara sebagai pondasi pembangunan
pendidikan dan riset pada era Industri 4.0 ini. Sistem dan kebijakan
politik-ekonomi pun harus kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor pendidikan
dan riset. Kita optimistis bahwa kiprah Kemendikbud-Riset dan BRIN yang baru
saja lahir, akan mampu mempercepat implementasi agenda di atas. Dengan
begitu, Indonesia akan lulus dari middle-income trap pada 2035, dan menjadi
bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat pada 2045. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar