Sabtu, 15 Mei 2021

 

Paradoks Bahasa Kekuasaan

S Prasetyo Utomo ;  Sastrawan; Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes

KOMPAS, 14 Mei 2021

 

 

                                                           

Bahasa kekuasaan, apalagi yang disampaikan presiden, tentu bermuatan ideologi. Hegemoni kekuasaan dalam genggaman dan saat seorang presiden yang berdialog dengan rakyatnya untuk meredakan hasrat agar tidak melakukan mudik tentu telah menyusun pilihan kata yang komunikatif agar tak menimbulkan salah tafsir.

 

Sayangnya, Presiden Jokowi melancarkan komunikasi bahasa ketika mencegah mudik Lebaran agar masyarakat yang rindu kampung halaman bisa pesan secara daring, menyampaikan nama kuliner lokal suku Dayak ”bipang Ambawang”. Presiden menciptakan situasi yang paradoksal saat menyampaikan pesan  yang membangkitkan salah tafsir sebagian masyarakat.

 

Paradoks bahasa kekuasaan yang disampaikan Presiden Jokowi telah mendorong Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi meminta maaf karena dianggap janggal mempromosikan makanan non-halal pada perayaan Lebaran. ”Yang rindu makan gudeg Yogya, bandeng Semarang, siomay Bandung, empek-empek Palembang, bipang Ambawang Kalimantan, tinggal pesan dan makanan kesukaan akan diantar sampai di rumah”. Begitu Presiden Jokowi menyampaikan promosi dan sugesti agar masyarakat tak melakukan mudik Lebaran.

 

Bahasan kekuasaan yang disampaikan Presiden Jowoki dapat dianalisis dengan teori Fairclough. Titik perhatian Fairclough adalah melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologi tertentu. Bahasa secara sosial adalah bentuk tindakan dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi, yaitu teks, discourse practice, dan sociocultural practice.

 

Pertama, analisis teks terhadap bahasa kekuasaan Presiden Jokowi tak bisa dibebaskan dari kosakata, semantik, dan tata kalimat. Presiden Jokowi tengah menyampaikan pesan tentang kuliner khas Yogyakarta, Semarang, Bandung, Palembang, dan Kalimantan Barat. Gudeg, bandeng, siomay, pempek, dan babi panggang adalah nama-nama makanan khas daerah, yang tentu saja bisa dideretkan lebih panjang lagi.

 

Kalau  ditinjau kalimat Presiden Jokowi yang didahului dengan ”sebentar lagi Lebaran”, tentu pesan yang disampaikannya dalam bingkai hari raya umat Islam, yang juga dinikmati umat agama lain. Karena itu, pesan yang disampaikan Presiden tentang sugesti untuk memesan kuliner ”babi panggang”,  tidak ditujukan pada umat Islam. Presiden sangat sadar bahwa Lebaran bukan semata-mata dirayakan umat Islam, melainkan juga dirayakan umat agama lain secara nasional.

 

Kedua, analisis discouse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Bahasa kekuasaan yang disampaikan seorang presiden dari sebuah negara besar yang beraneka ragam suku dan agama yang melatarbelakanginya tentulah memiliki moral, nilai, dan tatanan yang disampaikan kepada seluruh umat beragama yang menjadi bagian kekuasaannya. Ia tak ingin mengutamakan umat beragama tertentu dan mengabaikan umat agama lain.

 

Ditafsir

 

Paradoks bahasa kekuasaan itu berkembang ketika ditafsir masyarakat. Tentu masyarakat dipilah menjadi tiga golongan menurut kepentingan mereka menghadapi hegemoni kekuasaan dan bahasa yang disampaikan Presiden. Pertama, lapis masyarakat yang mengikuti imbauan Presiden untuk tidak mudik didorong kesadaran moral, nilai, dan tatanan tertentu. Kedua, lapis masyarakat yang terpaksa mengikuti imbauan Presiden untuk tidak mudik dalam ambiguitas kesadaran moral, nilai, dan tatanan tertentu. Ketiga, lapis masyarakat yang berkonfrontasi dengan imbauan Presiden untuk tidak melakukan mudik menolak kesadaran moral, nilai, dan tatanan tertentu.

 

Nah, berdasarkan analisis model Firclaugh inilah saya sampai pada suatu pandangan bahwa sebenarnya tafsir yang keliru terhadap pesan Presiden bermula pada lapis masyarakat yang mengalami ambiguitas dan konfrontasi kesadaran moral, nilai, dan tatanan yang ditentukan pemerintah untuk tidak mudik Lebaran.

 

Ketiga, analisis sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks dan konteks. Saya sebut pesan Presiden sebagai paradoks bahasa kekuasaan karena seolah-olah berkonfrontasi antara melarang masyarakat mudik Lebaran, sementara para pedagang di setiap sudut wilayah tetap menikmati hikmah Lebaran. Praktik sosial paradoks bahasa kekuasaan Presiden itu tentu diarahkan demi keselamatan masyarakat dari wabah yang tak terkendali.

 

Tak ada yang salah dalam paradoks bahasa kekuasaan Presiden mengenai kuliner ”bipang Ambawang”. Persoalan yang mendasar terjadi pada saat lapis masyarakat yang berkonfrontasi dengan imbauan Presiden untuk tidak mudik menolak kesadaran moral, nilai, dan tatanan tertentu yang melakukan salah tafsir. Lapis masyarakat inilah yang memaknai pesan Presiden untuk kuliner ”babi panggang” tak pantas disampaikan pada bulan Ramadhan menjelang Lebaran.

 

Akan tetapi, analisis model Fairclough menunjukkan bahwa Presiden sama sekali terbebas dari kesalahan saat melakukan produksi pesan, pilihan kata, dan menyusun kalimat. Saat sebagian masyarakat melakukan penafsiran terhadap bahasa kekuasaan Presiden itulah, sudut pandang pribadi menjadi sangat memberi warna tanggapan-tanggapan. Justru sekarang berkah pesan Presiden itu dirasakan keuntungannya yang berlipat ganda oleh pedagang bipang Ambawang.

 

Paradoks  bahasa kekuasaan Presiden sesungguhnya sepadan dengan gagasan John & Wareing untuk membuat keputusan, mengontrol sumber penghasilan, mengontrol perilaku orang lain, dan mengontrol nilai-nilai yang dipercaya orang lain. Bahasa kekuasaan itu sesungguhnya bisa diterima akal sehat dan menjadi kesadaran masyarakat. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar