Idul
Fitri dan Silahturahmi Virtual di Tengah Pandemi Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta |
KOMPAS, 14 Mei 2021
Idul Fitri tahun ini
terasa agak sunyi akibat pandemi. Larangan mudik fisik menjadi pilihan bijak
demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Karena laju penularan Covid-19
belum melandai akibat ketidakdisiplinan sebagian warga bangsa dalam mematuhi
protokol kesehatan. Idul Fitri di tengah
pandemi harus menggugah kesadaran kolektif, bahwa wabah ini harus dihadapi
bersama dengan disiplin positif, menjaga jarak dan kontak fisik, menjauhi
kerumunan, dan menerapkan budaya hidup bersih dan sehat, dengan mengutamakan
tetap tinggal dan menikmati kebersamaan dengan keluarga tercinta di rumah.
Bagaimana memaknai Idul Fitri dan silaturahmi di tengah pandemi agar spirit
dan nilai-nilai Ramadhan tetap dapat diaktualisasikan? Setelah menjalani ibadah
Ramadhan, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri, dengan bertakbir,
bertahmid, bertasbih, bertahlil, dan melaksanakan shalat Id. Perayaan Idul
Fitri sejatinya merupakan ekspresi rasa bahagia atas kemenangan melawan hawa
nafsu dan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat, rahmat, dan petunjuk-Nya,
terutama nikmat sukses menyelesaikan ibadah Ramadhan (QS al-Baqarah [2]:
185). Ekspresi rasa syukur itu
dimanifestasikan dalam bentuk silaturahmi dan saling memaafkan. Demi
silaturahmi dan saling memaafkan, umat dan bangsa melakukan, antara lain,
tradisi mudik atau pulang kampung. Namun, tahun ini mudik dilarang, demi
menjaga keselamatan bersama dengan menjauhi potensi kerumunan dan kontak
fisik yang berakibat massifikasi penularan Covid-19. Oleh karena itu, mudik dan
silaturahmi virtual bisa menjadi solusi alternatif sebagai pengganti mudik
dan silaturrahmi fisikal dengan memanfaatkan jejaring media sosial dan media
komunikasi digital seperti smartphone. Esensi mudik dan silaturrahmi virtual
adalah merajut tali kasih melalui media daring (dalam jaringan), dengan tetap
mengedepankan esensi silaturahmi. Saling peduli, saling menyayangi, dan
saling berbagi harus tetap menjadi etos filantropi yang perlu diwarisi dari
pesan sosial kemanusiaan Ramadhan. Silaturahmi virtual di era
pandemi harus tetap berfungsi sebagai media perekat sosial kultural untuk
dapat meneguhkan kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan umat dan bangsa.
Nuansa lebaran harus memberikan aura kegembiraan dan kedamaian. Karena itu,
nilai kesucian Idul Fitri idealnya dapat menumbuhkan kesadaran kekeluargaan
dan kebangsaan untuk merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai
NKRI. Energi
memaafkan Hal terpenting dari mudik
dan silaturahmi virtual di masa pandemi ini adalah sikap terbuka dan legawa
untuk bisa saling memaafkan satu sama lain. Meminta maaf dan memaafkan memang
tidak harus menunggu momentum Idul Fitri. Akan tetapi, suasana kesucian Idul
Fitri dinilai sangat tepat untuk saling memaafkan, mencairkan suasana penuh
ketulusan hati, dan energi bahagia. Mengapa silaturahmi virtual
tetap substansial? Karena selama Ramadhan, salah satu doa yang diajarkan Nabi
Muhammad SAW adalah “Ya Allah, Engkau Maha Pemberi maaf. Engkau suka
memaafkan. Karena itu, maafkanlah segala kesalahan dan dosa kami.” Permohonan
maaf kepada Allah yang Maha Pemaaf dan Pengampun itu semestinya melahirkan
pribadi pemaaf. Karena memberi maaf itu berarti meneladani sifat dan nama
terbaik Allah SWT (al-Asma’ al-Husna). Dan salah satu ciri orang bertakwa
hasil didik Ramadhan adalah bersedia memaafkan saudaranya (QS Ali Imran
[3]:134). Dalam Forgiveness: The
Greatest Healer for All (2006), Gerald G Jampolsky menyatakan bahwa kekuatan
memaafkan (the power of forgiveness) itu sungguh sangat dahsyat. Memaafkan
orang lain itu merupakan langkah pertama untuk memaafkan diri sendiri. Ketika
memaafkan, imunitas tubuh pemaaf itu semakin kuat dan semakin sehat. Jadi,
memaafkan itu indah dan mengindahkan iman dan imun sang pemaaf. Iman dan imun
pemaaf itu dapat merekatkan persaudaraan dan persatuan umat dan bangsa. Sebaliknya, enggan memberi
maaf kepada sesama itu berarti menyimpan dan membebani jiwanya dengan
kebencian, dendam, amarah, dan tekanan jiwa. Beban psikologis akan semakin
berat dan membuat orang menderita, apabila enggan memaafkan. Jadi, memaafkan
merupakan cara bahagia sekaligus membebaskan penyakit masa lalu manusia. Semua manusia memiliki
masa lalu yang perlu dinetralisir dan dibersihkan dengan saling memaafkan.
Memaafkan itu tanda bahagia; sedangkan enggan memaafkan itu menderita.
Memaafkan itu menabur benih kasih sayang, menumbuhkan hidup harmoni dan penuh
perdamaian. Menurut Alquran, memaafkan
orang lain, menahan diri dan tidak meluapkan amarah, dan selalu berbagi
cerita dan bahagia di tengah pandemi Covid-19 merupakan ciri sejati orang
bertakwa luaran (outcome) pendidikan Ramadhan (QS Ali Imran [3]: 133-134).
Ketiga ciri ini diyakini dapat menumbuhkembangkan spirit ihsan (berbuat
kebajikan) dan budaya kesalehan sosial, termasuk kesalehan merajut dan
merekatkan kohesivitas sosial umat dan bangsa. Kohesivitas
sosial Di tengah pandemi ini,
kohesivitas sosial umat dan bangsa harus tetap dirawat dan dikembangkan
terutama melalui pemaknaan Idul Fitri dan silaturrahmi virtual. Mudik
spiritual dan halal bihalal virtual nasional harus tetap dijadikan sebagai
perekat kohesivitas sosial di tengah pluralitas kebangsaan dan kemanusiaan.
Selain ditanamkan melalui proses pendidikan formal, pelajaran kohesivitas
sosial keumatan dan kebangsaan perlu diteladankan oleh para tokoh dan guru
bangsa. Selama berpuasa Ramadhan,
nilai-nilai kejujuran, kesabaran, kesetiakawanan, kesederhanaan,
kedermawanan, kedisiplinan, kebersamaan, dan sebagainya telah diinternalisasi
melalui proses menahan diri dari rasa lapar, haus, dahaga dan sebagainya.
Spirit berjemaah (bersama, bersatu, berbagi, dan bersinergi): shalat
berjemaah, tadarus, iktikaf, zakat, infak, sedekah untuk fakir miskin,
takbir-tahmid-tasbih-tahlil, diakhiri dengan shalat Id berjemaah dan
silaturahmi virtual menunjukkan bahwa umat dan bangsa ini memiliki modal
sosial yang kuat untuk bersatu dan bersinergi hati dalam menyelesaikan aneka
persoalan umat dan bangsa, termasuk persoalan ekonomi dan sosial akibat
pandemi. Dengan keteladanan para
pemimpin dan guru bangsa dalam merajut tali silaturahmi, berbagai persoalan
kemanusiaan akibat pandemi niscaya dapat diatasi. Namun, pascapandemi
diperlukan antisipasi dan adaptasi terhadap kehidupan normal baru (new
normal) di masa depan. Karena itu, gerakan silaturahmi virtual nasional
setelah Idul Fitri pada segenap lapisan sosial menjadi sangat penting
digelorakan. Ketulusan para pemimpin berjabat dan bergandeng tangan dan
saling memaafkan akan menjadi perekat kohesivitas sosial umat dan bangsa. Pandemi Covid-19 telah
menguras energi bangsa dan menggerus ketahanan sosial ekonominya. Jika spirit
silaturahmi dan momentum saling memaafkan tidak diaktualisasikan sebagai
perekat kohesivitas sosial, kebersamaan, kesatuan, dan solidaritas
kemanusiaan, maka bangsa ini dapat kehilangan daya dan spirit kebangkitannya
dari ketidaknormalan era pandemi. Jadi, pesan utama Idul
Fitri dan silaturahmi virtual di tengah pandemi ini adalah pentingnya
mengenyahkan ego sektoral, kepentingan individual dan komunal demi
mengutamakan kemaslahatan persatuan nasional dan kemanusiaan universal.
Dengan spirit Idul Fitri, silaturrahmi, dan saling memaafkan, bangsa
Indonesia harus “menjahit kembali” bendera kebangkitan nasional dengan
membingkai tali silaturahmi keluarga besar NKRI. Idul Fitri di tengah pandemi
harus menginspirasi warga bangsa untuk berinovasi dan bangkit beradaptasi
dengan normal baru di masa depan masih misteri dan serba disrupsi. Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri 1442
H. Minal ‘aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar