Sabtu, 15 Mei 2021

 

Idul Fitri dan Silahturahmi Virtual di Tengah Pandemi

Muhbib Abdul Wahab ;  Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KOMPAS, 14 Mei 2021

 

 

                                                           

Idul Fitri tahun ini terasa agak sunyi akibat pandemi. Larangan mudik fisik menjadi pilihan bijak demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Karena laju penularan Covid-19 belum melandai akibat ketidakdisiplinan sebagian warga bangsa dalam mematuhi protokol kesehatan.

 

Idul Fitri di tengah pandemi harus menggugah kesadaran kolektif, bahwa wabah ini harus dihadapi bersama dengan disiplin positif, menjaga jarak dan kontak fisik, menjauhi kerumunan, dan menerapkan budaya hidup bersih dan sehat, dengan mengutamakan tetap tinggal dan menikmati kebersamaan dengan keluarga tercinta di rumah. Bagaimana memaknai Idul Fitri dan silaturahmi di tengah pandemi agar spirit dan nilai-nilai Ramadhan tetap dapat diaktualisasikan?

 

Setelah menjalani ibadah Ramadhan, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri, dengan bertakbir, bertahmid, bertasbih, bertahlil, dan melaksanakan shalat Id. Perayaan Idul Fitri sejatinya merupakan ekspresi rasa bahagia atas kemenangan melawan hawa nafsu dan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat, rahmat, dan petunjuk-Nya, terutama nikmat sukses menyelesaikan ibadah Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 185).

 

Ekspresi rasa syukur itu dimanifestasikan dalam bentuk silaturahmi dan saling memaafkan. Demi silaturahmi dan saling memaafkan, umat dan bangsa melakukan, antara lain, tradisi mudik atau pulang kampung. Namun, tahun ini mudik dilarang, demi menjaga keselamatan bersama dengan menjauhi potensi kerumunan dan kontak fisik yang berakibat massifikasi penularan Covid-19.

 

Oleh karena itu, mudik dan silaturahmi virtual bisa menjadi solusi alternatif sebagai pengganti mudik dan silaturrahmi fisikal dengan memanfaatkan jejaring media sosial dan media komunikasi digital seperti smartphone. Esensi mudik dan silaturrahmi virtual adalah merajut tali kasih melalui media daring (dalam jaringan), dengan tetap mengedepankan esensi silaturahmi. Saling peduli, saling menyayangi, dan saling berbagi harus tetap menjadi etos filantropi yang perlu diwarisi dari pesan sosial kemanusiaan Ramadhan.

 

Silaturahmi virtual di era pandemi harus tetap berfungsi sebagai media perekat sosial kultural untuk dapat meneguhkan kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan umat dan bangsa. Nuansa lebaran harus memberikan aura kegembiraan dan kedamaian. Karena itu, nilai kesucian Idul Fitri idealnya dapat menumbuhkan kesadaran kekeluargaan dan kebangsaan untuk merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI.

 

Energi memaafkan

 

Hal terpenting dari mudik dan silaturahmi virtual di masa pandemi ini adalah sikap terbuka dan legawa untuk bisa saling memaafkan satu sama lain. Meminta maaf dan memaafkan memang tidak harus menunggu momentum Idul Fitri. Akan tetapi, suasana kesucian Idul Fitri dinilai sangat tepat untuk saling memaafkan, mencairkan suasana penuh ketulusan hati, dan energi bahagia.

 

Mengapa silaturahmi virtual tetap substansial? Karena selama Ramadhan, salah satu doa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW adalah “Ya Allah, Engkau Maha Pemberi maaf. Engkau suka memaafkan. Karena itu, maafkanlah segala kesalahan dan dosa kami.” Permohonan maaf kepada Allah yang Maha Pemaaf dan Pengampun itu semestinya melahirkan pribadi pemaaf. Karena memberi maaf itu berarti meneladani sifat dan nama terbaik Allah SWT (al-Asma’ al-Husna). Dan salah satu ciri orang bertakwa hasil didik Ramadhan adalah bersedia memaafkan saudaranya (QS Ali Imran [3]:134).

 

Dalam Forgiveness: The Greatest Healer for All (2006), Gerald G Jampolsky menyatakan bahwa kekuatan memaafkan (the power of forgiveness) itu sungguh sangat dahsyat. Memaafkan orang lain itu merupakan langkah pertama untuk memaafkan diri sendiri. Ketika memaafkan, imunitas tubuh pemaaf itu semakin kuat dan semakin sehat. Jadi, memaafkan itu indah dan mengindahkan iman dan imun sang pemaaf. Iman dan imun pemaaf itu dapat merekatkan persaudaraan dan persatuan umat dan bangsa.

 

Sebaliknya, enggan memberi maaf kepada sesama itu berarti menyimpan dan membebani jiwanya dengan kebencian, dendam, amarah, dan tekanan jiwa. Beban psikologis akan semakin berat dan membuat orang menderita, apabila enggan memaafkan. Jadi, memaafkan merupakan cara bahagia sekaligus membebaskan penyakit masa lalu manusia.

 

Semua manusia memiliki masa lalu yang perlu dinetralisir dan dibersihkan dengan saling memaafkan. Memaafkan itu tanda bahagia; sedangkan enggan memaafkan itu menderita. Memaafkan itu menabur benih kasih sayang, menumbuhkan hidup harmoni dan penuh perdamaian.

 

Menurut Alquran, memaafkan orang lain, menahan diri dan tidak meluapkan amarah, dan selalu berbagi cerita dan bahagia di tengah pandemi Covid-19 merupakan ciri sejati orang bertakwa luaran (outcome) pendidikan Ramadhan (QS Ali Imran [3]: 133-134). Ketiga ciri ini diyakini dapat menumbuhkembangkan spirit ihsan (berbuat kebajikan) dan budaya kesalehan sosial, termasuk kesalehan merajut dan merekatkan kohesivitas sosial umat dan bangsa.

 

Kohesivitas sosial

 

Di tengah pandemi ini, kohesivitas sosial umat dan bangsa harus tetap dirawat dan dikembangkan terutama melalui pemaknaan Idul Fitri dan silaturrahmi virtual. Mudik spiritual dan halal bihalal virtual nasional harus tetap dijadikan sebagai perekat kohesivitas sosial di tengah pluralitas kebangsaan dan kemanusiaan. Selain ditanamkan melalui proses pendidikan formal, pelajaran kohesivitas sosial keumatan dan kebangsaan perlu diteladankan oleh para tokoh dan guru bangsa.

 

Selama berpuasa Ramadhan, nilai-nilai kejujuran, kesabaran, kesetiakawanan, kesederhanaan, kedermawanan, kedisiplinan, kebersamaan, dan sebagainya telah diinternalisasi melalui proses menahan diri dari rasa lapar, haus, dahaga dan sebagainya. Spirit berjemaah (bersama, bersatu, berbagi, dan bersinergi): shalat berjemaah, tadarus, iktikaf, zakat, infak, sedekah untuk fakir miskin, takbir-tahmid-tasbih-tahlil, diakhiri dengan shalat Id berjemaah dan silaturahmi virtual menunjukkan bahwa umat dan bangsa ini memiliki modal sosial yang kuat untuk bersatu dan bersinergi hati dalam menyelesaikan aneka persoalan umat dan bangsa, termasuk persoalan ekonomi dan sosial akibat pandemi.

 

Dengan keteladanan para pemimpin dan guru bangsa dalam merajut tali silaturahmi, berbagai persoalan kemanusiaan akibat pandemi niscaya dapat diatasi. Namun, pascapandemi diperlukan antisipasi dan adaptasi terhadap kehidupan normal baru (new normal) di masa depan. Karena itu, gerakan silaturahmi virtual nasional setelah Idul Fitri pada segenap lapisan sosial menjadi sangat penting digelorakan. Ketulusan para pemimpin berjabat dan bergandeng tangan dan saling memaafkan akan menjadi perekat kohesivitas sosial umat dan bangsa.

 

Pandemi Covid-19 telah menguras energi bangsa dan menggerus ketahanan sosial ekonominya. Jika spirit silaturahmi dan momentum saling memaafkan tidak diaktualisasikan sebagai perekat kohesivitas sosial, kebersamaan, kesatuan, dan solidaritas kemanusiaan, maka bangsa ini dapat kehilangan daya dan spirit kebangkitannya dari ketidaknormalan era pandemi.

 

Jadi, pesan utama Idul Fitri dan silaturahmi virtual di tengah pandemi ini adalah pentingnya mengenyahkan ego sektoral, kepentingan individual dan komunal demi mengutamakan kemaslahatan persatuan nasional dan kemanusiaan universal. Dengan spirit Idul Fitri, silaturrahmi, dan saling memaafkan, bangsa Indonesia harus “menjahit kembali” bendera kebangkitan nasional dengan membingkai tali silaturahmi keluarga besar NKRI. Idul Fitri di tengah pandemi harus menginspirasi warga bangsa untuk berinovasi dan bangkit beradaptasi dengan normal baru di masa depan masih misteri dan serba disrupsi.

 

Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri 1442 H. Minal ‘aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar