Melindungi
Subyek Penelitian dalam Senyap Rita S Sitorus ; Guru Besar Fakultas
Kedokteran UI, Ketua Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI-RSCM, Dewan
Pengawas Forum of Indonesian Recoqnized Research Ethics Committee |
KOMPAS, 18 Mei 2021
Di era kini, adalah hal
mustahil menyenggarakan layanan bidang kesehatan modern dengan mengabaikan
evidence- based medicine, sebuah konsep yang berdasarkan pada tiga pilar, di
antaranya bukti penelitian terbaik yang ada (best available research). Penelitian kesehatan
memiliki nilai tinggi dalam upaya menciptakan kemaslahatan masyarakat luas.
Penelitian diharapkan bisa memberikan informasi penting tentang permasalahan
seperti prevalensi, tren penyakit dan faktor risikonya, pengembangan
pengobatan atau intervensi baru, serta pola dan biaya layanan kesehatan. Dalam melakukan penelitian
kesehatan, khususnya pada manusia, pemahaman dan implementasi prinsip etika
merupakan hal yang sangat penting. Perlindungan
subyek Sejarah kelam di masa lalu
yang dilakukan para peneliti medis pada masa Perang Dunia (PD) II dan
setelahnya menggoreskan tinta hitam dunia penelitian kesehatan, tetapi
sekaligus jadi tonggak awal yang mendorong bangkitnya semangat mengedepankan
prinsip etika dalam setiap penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia
sebagai subyek atau partisipan penelitian. Kepatuhan pada
prinsip-prinsip praktik klinis yang baik (GCP), termasuk perlindungan subyek
manusia secara universal, diakui sebagai persyaratan penting untuk melakukan
penelitian etis yang mengikutsertakan manusia. Hak, keamanan, dan
kesejahteraan subyek penelitian adalah pertimbangan paling penting dan harus
lebih diutamakan daripada kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini
tertuang dalam panduan yang kita kenal sebagai Cara Uji Klinis yang Baik
(CUKB) atau Good Clinical Practice (GCP). GCP adalah suatu pedoman
internasional untuk memastikan bahwa uji klinis dirancang, dilakukan,
dilaksanakan, dipantau, diaudit, dicatat, dianalisis, dan dilaporkan secara
ilmiah dan etis. GCP bertujuan melindungi HAM, integritas, dan kerahasiaan
subyek penelitian sebagai bagian dari penghargaan terhadap seseorang
seutuhnya (respect for person) seperti tertuang dalam Belmont Report. Secara historis,
eksperimen bidang medis yang kontroversial dan tak etis dimulai berabad
lamanya. Salah satunya pada masa PD II oleh seorang dokter Jerman di kamp
perang Nazi terhadap pasukannya, yang kemudian melahirkan kesepakatan
Nuremberg Code pada 1947. Sejarah juga mencatat tragedi penelitian obat
Thalidomide yang mengakibatkan 10.000 bayi di lebih dari 20 negara cacat
bawaan bentuk tungkai janin. Dampaknya, tahun 1962
lahir amendemen Kefauver-Harris yang mengharuskan FDA menilai semua obat baru
dalam hal keamanan dan efikasinya. Dunia tak dapat melupakan eksperimen
Tuskegee Sifilis tahun 1932, suatu uji coba yang sangat tak etis pada
penduduk Afro–Amerika di Alabama, AS. Eksperimen yang berlangsung 40 tahun
ini dapat kecaman dari seluruh dunia karena melanggar otonomi individu
sebagai makhluk yang harus dihargai. Berbagai tragedi kelam itu
memunculkan kesadaran publik bahwa ada kebutuhan untuk mengontrol dan
mengatur uji klinis yang berhubungan dengan obat-obatan pada subyek manusia.
Pelanggaran HAM memainkan peran besar dan menjadi alasan diadopsinya
Deklarasi Helsinki dan Kode Nuernberg oleh World Medical Association sebagai
tulang punggung prinsip etik yang merumuskan pedoman ICH-GCP yang dipakai
sampai saat ini. ICH-GCP adalah suatu
standar GCP yang diharmonisasikan secara internasional, yang melindungi hak,
keselamatan, dan kesejahteraan subyek manusia, meminimalkan keterpaparan
subyek penelitian terhadap risiko yang tak diharapkan dari produk yang
diteliti. Data uji klinis yang dihasilkan pun dapat dipercaya (valid). Pedoman ICH-GCP
mensyaratkan semua uji klinis dilakukan sesuai standar etika, mempunyai bukti
ilmiah yang jelas, dengan potensi manfaat yang melebihi risiko yang akan
ditimbulkannya. Semua data protokol penelitian harus terdokumentasi dengan
baik, mudah diakses jika dibutuhkan pihak yang berwenang, dan perlu dijaga
kerahasiaannya. Semua prosedur yang akan
dilakukan dalam uji klinis harus memperoleh persetujuan terlebih dulu dari
subyek penelitian setelah subyek mendapatkan penjelasan yang cukup dari
peneliti. Tak boleh ada unsur pemaksaan atau diskriminasi atas keikutsertaan
mereka. Dalam hal pengembangan obat baru, pengawasan mutu diperlukan untuk
keamanan dan kemanjurannya, sesuai Pedoman Good Manufacturing Practice (GMP). Komite
Etik Komite Etik Penelitian
Kesehatan (KEPK) adalah suatu badan independen yang dibentuk dan punya
tanggung jawab utama melindungi hak dan kesejahteraan subyek atau partisipan
penelitian. Badan ini terdiri atas
sejumlah anggota, yang secara kolektif memiliki kualifikasi dan pengalaman
untuk melakukan kajian dan evaluasi dari aspek ilmiah, aspek medis, dan etika
suatu proposal penelitian. Umumnya terdiri dari anggota dengan latar belakang
keilmuan (atau subspesialis medis) yang berbeda, perwakilan kelompok awam
(lay person), dan perwakilan non-institusi. Di samping bertugas me-review
proposal penelitian, KEPK juga mengawasi penelitian yang berlangsung. Di AS, setiap uji klinis
yang melibatkan suatu produk yang diatur Badan Pengawas Obat dan Makanan
(FDA) haruslah terlebih dahulu dikaji dan disetujui oleh KEPK. Tidak ada
penelitian klinis yang diperbolehkan merekrut subyek penelitian sebelum
mendapatkan persetujuan dari komite ini. Ada tiga kewajiban KEPK.
Pertama, dan terpenting, memastikan bahwa hak-hak subyek penelitian
terlindungi. Caranya, dengan memastikan individu menerima informasi yang
cukup, yang mudah dipahami, dan memastikan bahwa strategi yang tepat sudah
tersedia untuk melindungi peserta dari potensi konsekuensi merugikan dari
penelitian. Kedua, sebagai penyedia
sumber daya bagi keberlangsungan penelitian, dan pada akhirnya menghasilkan
dampak manfaat atas hasil yang diuji. KPEK mensyaratkan sponsor dan bekerja
sama dengan pemangku kepentingan terkait, untuk menyediakan akses pascauji
coba (post trial access) atas obat/intervensi atau pengetahuan yang terbukti
bermanfaat, melalui uji klinis yang dilakukan. Ketiga, KEPK memiliki
kewajiban kepada peneliti. Proposal penelitian harus diperlakukan dengan
hormat dan penuh pertimbangan. Semua peneliti harus menyambut baik kontribusi
yang dibuat KPEK terhadap proses penelitian yang berlangsung karena mereka
membantu memastikan bahwa penelitian memenuhi standar etika dan ilmiah yang
tinggi yang diharapkan oleh masyarakat dan dunia ilmu pengetahuan. Uraian di atas memberi
gambaran akan besarnya beban dan tanggung jawab KEPK. Komite ini tidak saja
bertugas melakukan kaji etik dan memberikan persetujuan pelaksanaan
penelitian, tetapi juga melakukan fungsi monitoring untuk memastikan seluruh
rangkaian penelitian dilaksanakan sesuai dengan prinsip etik. Dalam konteks uji klinis
obat atau metode pengobatan baru, pemahaman atas pedoman GCP (atau CUKB)
secara khusus sangat diperlukan. Di era pandemi tuntutan ini semakin nyata
karena keputusan yang diambil akan menyangkut hajat dan keselamatan hidup
orang banyak. Pandemi dan keadaan
darurat ditandai oleh berbagai tantangan yang saling memperkuat yang membuat
populasi menjadi lebih rentan, termasuk dampak pada kesehatan dan
kesejahteraan, privasi, mata pencarian, lingkungan fisik, dan ekonomi.
Standar etik yang diberlakukan pada masa pandemi tidak mesti diturunkan,
bahkan sebaliknya perlu diperkuat Pada 2016, Komisi Nasional
Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK) mendata sebanyak 64 KEPK di Indonesia yang
tersebar dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Timur. Semenjak KNEPK
bertransformasi menjadi Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Nasional (KEPPKN), semakin banyak institusi pendidikan ataupun penelitian di
bidang kesehatan yang mendirikan KEPK. Hal ini sesuai program kerja KEPPKN
untuk mendirikan KEPK di setiap institusi yang menyelenggarakan penelitian
kesehatan. Akan tetapi, KEPK yang
baru bermunculan ini masih memiliki tingkat kualifikasi yang berbeda-beda. Pendataan dan pemetaan
komite etik yang ada di seluruh Indonesia, baik secara kuantitas maupun
kualitas, perlu dilakukan karena sangat penting dalam membuat kebijakan
secara nasional mengenai tugas dan wewenang komite etik itu. Di Filipina, tak semua
komite etik diberi wewenang oleh Philippines Health Research Ethics Board
(PHREB)—badan yang dibentuk untuk melakukan akreditasi nasional terhadap
KEPK—untuk melakukan kaji etik protokol uji klinis, melainkan disesuaikan
dengan tingkat kualifikasi setiap komite etik lokal. Pemahaman akan pedoman GCP/CUKB
merupakan elemen kunci dalam melakukan penelitian klinis yang etis. Oleh
karena itu, setiap komite etik perlu membangun kapasitasnya agar pada
gilirannya tidak tergagap dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Pemahaman dan kepatuhan pada
pedoman GCP memerlukan kerja sama yang baik dari semua unsur terlibat,
termasuk peneliti, sponsor, KPEK, institusi, pemerintah, dan semua pemangku
kepentingan yang ada. Kepentingan dan kesejahteraan masyarakat luas harus
diletakkan pada tempat utama dan bukan kepentingan ataupun ego sektoral
kelompok tertentu. Kita semua menyambut
gembira terbentuknya kembali kepengurusan KEPPKN yang baru belum lama ini. Sebongkah harapan kita
titipkan kepada badan ini untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik dan lugas
ke depan, menciptakan atmosfer penelitian di Indonesia yang teguh memegang
prinsip dan kaidah etik. Integritas peneliti, institusi, bahkan negara
Indonesia dalam hal ini dipertaruhkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar