Masa
Depan Perdamaian Timur Tengah Pasca-Perang Gaza Musthafa Abd Rahman ; Wartawan
Kompas di Kairo, Mesir |
KOMPAS, 28 Mei 2021
Sejatinya perang Gaza yang
berlangsung 11 hari dari 10 Mei 2021 hingga 20 Mei 2021 bisa menjadi
pendorong bagi bergeraknya lagi proses perdamaian Timur Tengah atau
perundingan damai Israel-Palestina yang macet total sejak 2014. Tren yang sedang
menggeliat saat ini, negara-negara Arab ataupun masyarakat internasional
bertekad ingin menjadikan momentum perang Gaza untuk menggerakkan kembali
perundingan damai itu. Menteri Luar Negeri AS
Antony Blinken sejak Selasa (25/5/2021) melakukan lawatan ke Timur Tengah
dengan mengunjungi Israel, wilayah Palestina, Jordania, dan Mesir. Menlu
Inggris Dominic Raab, Rabu (26/5), juga tiba di Israel dan wilayah Palestina. Dalam keterangan pers,
baik Blinken maupun Raab, selain ingin menjaga gencatan senjata di Jalur
Gaza, juga hendak segera memulai proyek pembangunan kembali Jalur Gaza dan
perundingan damai Israel-Palestina. Tentu saja yang diharapkan
adalah perundingan damai yang hakiki dan serius untuk mencari solusi adil dan
menyeluruh. Sebab, selama ini yang
berlangsung bukanlah perundingan damai, yakni persisnya sejak kesepakatan
Oslo tahun 1993, yang menjelma menjadi rangkaian panjang dari satu
perundingan damai ke perundingan damai lain tanpa ada ujungnya. Perundingan
damai itu pun terkesan sebagai public relation saja. Ini yang membuat rakyat
Palestina kini sudah putus harapan atas perundingan damai yang digelar selama
hampir 30 tahun tanpa ada hasil, yakni sejak tercapainya kesepakatan Oslo
tahun 1993. Rakyat Palestina tampaknya
kini sudah sepakat bahwa kesepakatan Oslo telah gagal total mengantarkan
menuju tercapainya cita-cita minimal mereka, yaitu berdirinya negara
Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur. Maka, perlu diubah pola
perundingan damai mendatang atau pasca-perang Gaza ini sehingga menjadi
perundingan damai yang lebih substansif, bukan sekadar public relation. Perang Gaza hendaknya
dijadikan momentum oleh Palestina sendiri, masyarakat regional dan
internasional untuk membangun ekosistem yang mengantarkan terjadi perundingan
damai Israel-Palestina yang hakiki. Kekuatan militer Hamas dan
faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza yang telah ditunjukkan dalam perang Gaza
itu justru bisa dijadikan kekuatan daya tawar untuk menekan Israel agar
menerima solusi sesuai dengan resolusi DK PBB Nomor 242. Resolusi DK PBB Nomor 242
yang diterbitkan pada 22 November 1967 terdiri dari beberapa butir. Pertama, mundurnya pasukan
(Israel) dari wilayah yang diduduki dalam perang bulan Juni 1967. Kedua, mengakhiri klaim situasi keadaan perang, serta
menghormati dan mengakui kedaulatan serta kesatuan wilayah semua negara di
kawasan, kemerdekaan secara politik dan hak hidup secara damai dalam
perbatasan negara yang aman dan diakui, serta bebas dari ancaman dan aksi
militer. Ketiga, jaminan kebebasan
jalur laut di perairan internasional di kawasan. Keempat, mewujudkan solusi
adil atas pengungsi. Kelima, jaminan kebebasan
di kawasan dan kemerdekaan politik setiap negara di kawasan, dengan cara
melakukan sejumlah kebijakan, di antaranya dibangun zona demiliterisasi. Akan tetapi, Israel tidak
pernah mengindahkan resolusi DK PBB No 242 itu. Masyarakat internasional
juga tidak berdaya menekan Israel agar melaksanakan resolusi DK PBB No 242
itu. Akhirnya, resolusi DK PBB No 242 tersebut ibarat tertulis di atas kertas
saja yang tidak pernah dilaksanakan sampai saat ini. Banyak faktor yang membuat
Israel mengabaikan resolusi DK PBB No 242 itu. Pertama, Israel terlalu
percaya diri dengan kekuatan militernya setelah berhasil menang mutlak pada
perang Arab-Israel tahun 1967, dengan tidak hanya menduduki Tepi Barat,
Jerusalam Timur, dan Jalur Gaza, tetapi juga menduduki Semenanjung
Sinai-Mesir dan Dataran Tinggi Golan-Suriah. Kedua, mendapat dukungan
dan perlindungan kuat dari Amerika Serikat, dan AS selalu menggunakan hak
vetonya jika ada upaya internasional mengeluarkan
resolusi di forum DK PBB yang dianggap merugikan Israel. Ketiga, bangsa Arab dan
rakyat Palestina tidak memiliki kekuatan politik dan militer untuk memaksa
Israel menerapkan resolusi DK No 242. Namun saat ini, Hamas dan
faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza cukup memiliki kekuatan militer meskipun
masih jauh tidak seimbang dibandingkan dengan kekuatan militer Israel. Menurut hasil riset
universitas Ben Gurion di Negev-Israel, faksi Hamas di Jalur Gaza
diperkirakan memiliki sekitar 14.000 rudal/roket dari berbagai jenis. Militer Israel melansir,
Hamas dan faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza selama perang Gaza selama 11
hari telah menembakkan 4070 rudal ke berbagai sasaran di Israel, termasuk
kota Tel Aviv dan sekitarnya. Jadi, Hamas masih punya
stok sisa sekitar 8.000 rudal di Jalur Gaza. Tentu masih cukup banyak stok
rudal yang dimiliki Hamas itu. Apalagi, kalau masa
gencatan senjata saat ini dimanfaatkan lagi oleh Hamas untuk memproduksi
rudal-rudal baru tidak hanya dalam kuantitas, tetapi juga kualitas. Hal itu sudah dilakukan
Hamas dan faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza yang memanfaatkan masa gencatan
senjata dari perang Gaza 2014 untuk memproduksi rudal baru, baik secara
kuantitas maupun kualitas. Pada perang Gaza bulan Mei
2021 ini, Hamas secara mengejutkan mengeluarkan rudal jenis baru, yaitu rudal
Ayyash 250 yang memiliki jangkauan tembak sejauh 250 km. Rudal Ayyash 250 ini yang
sering dibuat membombardir kota Tel Aviv dan sekitaranya serta bandara udara
internasional Ramon dekat kota Eilat. Kemampuan Hamas dan
faksi-faksi Palestina lainnya, yang menunjukkan kekuatan militernya tersebut
dalam perang Gaza itu, kini mengantarkan Hamas cukup populer tidak hanya di
kalangan rakyat Palestina, tetapi juga di dunia Arab. Momentum ini yang harus
dijaga dan jangan disia-siakan oleh Palestina sendiri ataupun bangsa Arab,
yakni hendaknya kekuatan militer Hamas dan faksi-faksi Palestina di Jalur
Gaza dijadikan kekuatan daya tawar dalam perundingan dengan Israel mendatang. Sebaliknya, Hamas juga hendaknya
menjadikan kekuatan militernya bagian integral dari rakyat Palestina dan
bangsa Arab untuk meraih hak-hak rakyat Palestina yang adil. Yakni, Hamas jangan
melakukan kesalahan dengan mengapitalisasi kekuatan militernya untuk tujuan
sempit kelompoknya jika ingin terus mendapat simpati rakyat Palestina dan
bangsa Arab. Jika Hamas dan faksi-faksi
Palestina di Jalur Gaza mempersembahkan diri mereka untuk kepentingan
nasional rakyat Palestina, akan ada rasa optimistis bahwa perundingan damai Israel-Palestina
mendatang bisa berbeda dari perundingan damai Israel-Palestina sebelum ini. Kini, tinggal menunggu tim
perunding Palestina mampu bermain cerdik dengan memanfaatkan momentum perang
Gaza yang cukup berhasil memperlihatkan kekuatan militer Palestina, untuk
bisa mendapatkan konsesi dari Israel dalam perundingan mendatang. Dalam konteks ini,
Palestina harus belajar dari mendiang Presiden Mesir Anwar Sadat yang sukses
memanfaatkan momentum perang Arab-Israel tahun 1973 untuk membangun
perdamaian dengan Israel melalui perjanjian damai Israel-Mesir di Camp
David-AS tahun 1979. Mesir melalui perjanjian
damai di Camp David itu berhasil mengembalikan Semenanjung Gurun Sinai yang
diduduki Israel pada perang Arab-Israel tahun 1967. Palestina dengan dukungan
penuh bangsa Arab dan masyarakat internasional hendaknya juga bisa
memanfaatkan momentum perang Gaza untuk bisa melahirkan negara Palestina di
Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan ibu kota Jarusalem Timur melalui perundingan
damai Israel-Palestina mendatang atau dengan kata lain Israel bersedia
menerapkan resolusi DK PBB No 242. Jadi, perang bukan untuk
perang lagi, tetapi untuk membangun perdamaian. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar