Energi
Bersih Penopang Menjadi Negara Industri Maju Kurtubi ; Anggota DPR Periode 2014-2019, Alumnus
Colorado School of Mines, Institut Francaise du Petrole, dan Universitas
Indonesia |
KOMPAS, 28 Mei 2021
Untuk menjadi negara
industri maju pada tahun 2045, tidak bisa dicapai kalau pertumbuhan ekonomi
berputar-putar di sekitar 5 persen seperti yang terjadi selama puluhan tahun
pasca-oil boom pada tahun 1970-1990. Kalau ekonomi Indonesia hanya tumbuh
sekitar 5 persen, dapat dipastikan pada tahun 2045 Indonesia belum bisa masuk
menjadi negara industri maju seperti yang diprediksi PricewaterhouseCoopers
dan juga dicita-citakan Presiden Joko Widodo dan rakyat Indonesia. Karena itu, strategi
pembangunan yang berjalan selama ini, khususnya yang terkait dengan kebijakan
energi, harus disempurnakan, diubah, dan diarahkan agar proses penciptaan
nilai tambah (value added) terus tumbuh dengan peningkatan yang lebih tinggi.
Kegiatan ekonomi untuk mengubah bahan baku menjadi produk antara
(intermediate) dan produk jadi (finish products) harus dilipatgandakan dalam
wujud industrialisasi secara masif, baik industri dalam skala rumah
tangga/UMKM, skala menengah, maupun skala/industri besar. Untuk tujuan ini, dari
segi kebijakan energi, negara tidak cukup dengan kebijakan seperti selama
ini, yang lebih berkonsentrasi membangun pembangkit listrik kapasitas besar
dari PLTU batubara, terutama di Pulau Jawa. Ke depan, negara harus menyiapkan
energi listrik bersih dalam jumlah besar dan stabil agar cukup untuk menopang
proses industrialisasi yang berjalan secara masif sekaligus mengikuti tren
energi global menuju zero emisi gas rumah kaca seperti yang dicanangkan oleh Paris Agreement on Climate Change. Dengan demikian,
pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang merupakan total penjumlahan
selama satu tahun atau satu kuartal dari nilai tambah (value added) ekonomi
yang tercipta dari seluruh sektor bisa tumbuh lebih tinggi, tidak
berputar-putar di angka 5 persen. Kalau nilai tambah dari setiap sektor
pertumbuhannya terus meningkat, otomatis pertumbuhan ekonomi secara nasional
akan tinggi, bisa di atas 7 persen hingga tumbuh dua digit sebagai syarat
menjadi negara industri maju pada tahun 2045. Terkait ketersediaan
listrik, listrik yang dibutuhkan adalah listrik yang bisa menopang
industrialisasi, dengan ciri, pertama, listrik yang dominan berasal dari
energi bersih bersifat tidak fluktuatif dan tidak terputus-putus
(non-intermittent), bisa menyala 24 jam sehari semalam dan 365 hari dalam
setahun. Pembangkit yang memenuhi kriteria ini adalah PLTU batubara, tetapi
kotor; PLTP (panas bumi) meski masih mahal karena biaya pengeboran yang
relatif mahal dan masalah lokasi, tetapi listriknya bersih; serta PLTN (nuklir)
yang selain bersih dan aman kini juga lebih murah dari listrik batubara. Kedua, listrik yang bebas
emisi gas rumah kaca sudah menjadi tren kemauan dunia, dan kita sudah
meratifikasi Paris Agreement on Climate Change menjadi Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2016. Listrik dari energi baru terbarukan (EBT) memenuhi kriteria untuk
listrik masa depan, terutama yang bersifat non-intermittent seperti energi
nuklir dan geotermal. Sementara energi
terbarukan yang bersifat intermittent seperti PLT mikrohidro, PLT surya, PLT
bayu, PLT biomas, dan PLT nabati meski energinya bersih, tetapi tidak bisa
menghasilkan listrik 24 jam. Jika energi jenis intermittent masuk ke sistem
jaringan transmisi grid PLN, harus dibantu oleh pembangkit yang
non-intermittent dan bebas emisi gas rumah kaca, bukan dengan menggunakan
pembangkit dari fosil seperti PLTD, PLTMG, dan PLTU. Hal ini dimaksudkan agar
stabilitas dan fleksibilitas operasi transmisi grid tidak mengganggu beban
dasar (base load) yang andal dan reliable yang sangat dibutuhkan oleh
industri dan sekaligus tidak menambah emisi gas rumah kaca. Pengalaman
Jerman Selama ini pembangkit
listrik yang dipakai untuk menolong energi terbarukan masuk transmisi grid
agar transmisi gridnya bisa stabil dan fleksibel adalah listrik dari fosil.
Ini dilakukan oleh Jerman yang sangat mendorong energi terbarukan, tetapi
anti-PLTN, sehingga dengan tambahnya PLT surya, PLT bayu, PLT biomas, dan
lain-lain yang masuk ke sistem transmisi grid kelistrikan Jerman, selalu
diikuti oleh kenaikan emisi gas rumah kaca (www.electricitymap.org). PLTN yang bersih dan
non-intermittent yang bisa masuk ke transmisi grid dengan efisien justru
ditutup di Jerman. Akibatnya, energi terbarukan intermittent yang masuk
sistem transmisi grid Jerman sebagian besar menggunakan bantuan listrik dari
fosil (studi dari Joshua Goldstein dan Staffan Qvist). Karena itu, meskipun
Jerman merupakan negara dengan pemakaian energi hijau terbarukan (surya,
angin, biomas, hidro) yang besar, ternyata fakta menunjukkan bahwa saat ini
intensitas kandungan karbon (carbon intencity) dari setiap kwh listrik yang
dikonsumsi di Jerman menunjukkan angka yang sangat tinggi. Sekitar 357 gram
CO2/kwh listrik yang dikonsumsi, jauh lebih tinggi dari carbon intencity
Perancis yang tercatat hanya sekitar 49 gram CO2/kwh. Dengan kata lain, emisi
karbon di Jerman delapan kali lebih tinggi dari emisi karbon di Perancis.
Kebijakan energi Perancis bertolak belakang dengan Jerman di mana 70 persen
listrik di Perancis berasal dari energi nuklir. Sementara Jerman merupakan
pelopor anti-PLTN (www.electricitymap.org). Faktanya juga, Jerman saat ini
menjadi negara dengan listrik yang paling kotor sekaligus menjadi negara
dengan tarif listrik termahal di Uni Eropa. Belajar dari kegagalan
kebijakan energi Jerman yang anti-PLTN, Indonesia ke depan perlu memastikan
base load yang andal/reliable untuk mendukung industrialisasi. Listrik
berasal dari sumber energi bersih bebas karbon dan polutan serta
non-intermittent. Ini artinya untuk jangka panjang PLTU tidak bisa lagi
menjadi andalan base load sistem kelistrikan nasional. PLTN generasi terbaru, Gen
IV, yang masa pembangunannya lebih singkat, teknologinya lebih efisien dan
lebih aman. Seyogianya PLTN segera menjadi bagian dalam sistem kelistrikan
nasional. Ketiga, tentu saja syarat
listrik yang kita butuhkan ke depan adalah pembangkit listrik bersih yang
dibangun oleh dana investasi tanpa menunggu dana APBN. Listrik yang aman dan
murah, lebih murah dari listrik batubara yang selama ini menjadi andalan base
load. Agar hasil produksi industri bisa bersaing di pasar internasional dan
disukai oleh rakyat/konsumen dalam negeri karena harga produknya terjangkau
yang didukung oleh harga listrik yang murah tanpa subsidi! Berapa biaya pokok
produksi (BPP) listrik dari setiap jenis pembangkit? Selama ini yang dikenal
murah adalah listrik dari PLTU batubara dengan BPP sebesar 6-7 sen dollar AS
per kwh yang dipakai sebagai acuan dalam pembangunan pembangkit dari energi
terbarukan, terutama di Pulau Jawa. Namun, rendahnya BPP PLTU
batubara tersebut disebabkan belum menginternalkan externality costs yang
berupa biaya yang harus dikeluarkan akibat adanya emisi, polutan, penyakit,
dan kematian dari adanya listrik batubara. Sementara BPP listrik dari energi
terbarukan menjadi lebih mahal karena faktor kapasitas yang relatif rendah
akibat tidak bisa menghasilkan listrik 24 jam. Menurut data EIA, PLT
surya dan PLT bayu misalnya mempunyai factor capacity (perbandingan jumlah
produksi listrik pada periode operasi tertentu terhadap kemampuan produksi
sesuai daya mampu) masing-masing sebesar 24,9 persen dan 35,4 persen.
Sementara PLTN yang tidak bergantung
pada musim, cuaca, dan angin, factor capacity-nya sebesar 92,5 persen. Demikian juga dengan
tingkat kematian (death rate) per terra watt hours (TWH) dari listrik yang
diproduksikan oleh setiap jenis pembangkit. PLTU batubara, PLT migas, dan
PLTN mempunyai tingkat kematian per TWH masing-masing sebesar 25, 20, dan 1. Terlebih PLTN dengan
teknologi terbaru yang semakin canggih (Gen IV) saat ini BPP relatif sangat
murah, sekitar 5 sen dollar AS per kwh, lebih murah/bersaing dengan listrik
PLTU batubara, dan sangat aman. Bahkan, PLTN Gen IV Type MSR (Molten Salt
Reactor) berbasis Thorium menjamin kecelakaan seperti yang dialami PLTN Fukushima
tidak akan pernah terjadi. Adapun energi
intermittent, BPP-nya dapat diturunkan dengan jalan menggratiskan biaya
lahannya dan terus meningkatkan efisiensi teknologinya. Namun, tetap ada
biaya yang timbul jika energi terbarukan ini masuk ke sistem transmisi grid
PLN. Kesimpulan Karena Indonesia negara
besar dalam luas wilayah dan jumlah penduduk yang saat ini sekitar 270 juta,
dan berkeinginan menjadi negara industri maju pada tahun 2045 sekaligus
dengan udara dan lingkungan hidup yang bersih dan sehat, kita membutuhkan
tambahan pembangkit listrik yang banyak/besar sekitar empat kali total
kapasitas saat ini. Semua jenis energi baru
terbarukan harus dikembangkan. Sementara listrik dari fosil harus dikurangi
untuk akhirnya dihilangkan jika pembangkitnya telah mencapai usia
life-cycle-nya dan tidak dibangun lagi. Pembangunan pembangkit
listrik harus dengan perencanaan yang tepat dan cerdas menyangkut lokasi,
jenis, dan kapasitas pembangkit. Dalam jangka panjang, semua sumber daya alam
fosil tidak boleh lagi dipakai untuk menghasilkan listrik. Sumber daya alam
fosil bisa dikonversi menjadi industri petrokimia berbasis batubara dan
berbasis migas. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar