Sungkeman
sebagai ”Pentas Tradisional” A Windarto ; Peneliti di Litbang
Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta |
KOMPAS, 15 Mei 2021
Bukan kebetulan bahwa
sungkeman telah menjadi salah satu bentuk tradisi dalam masyarakat Indonesia,
khususnya Jawa. Melalui tradisi itu, budaya hormat kepada yang dituakan
begitu dijunjung tinggi sebagai warisan yang tak terperikan. Terutama pada
setiap perayaan Idul Fitri atau Lebaran, sungkeman pada mereka yang dituakan
menjadi tuntutan yang tak terbantahkan. Karena itu, tak pelak lagi fenomena
mudik atau pulang ke kampung halaman bukan sekadar piknik, apalagi mengisi
waktu luang selama libur bersama. Namun, hal itu merupakan saat dan tempat
yang tepat untuk menjaga tradisi sungkeman agar tetap lestari dari masa ke
masa. Sayangnya, pada era
pandemi ini tradisi itu agaknya tidak mudah untuk diwujudkan. Bahkan, untuk
menjalankan mudik saja, diperlukan upaya yang cukup berat lantaran ada
larangan resmi dari pemerintah. Meski disediakan cara dan sarana lain, yaitu
secara virtual, tetapi tetap tak bisa diabaikan bahwa perjumpaan secara
langsung memberi makna dan suasana yang amat berbeda. Itulah mengapa mudik
tetap diambil sebagai pilihan oleh sebagian besar orang dengan segala risiko
yang harus ditanggung. Namun, pertanyaannya,
bagaimana sesungguhnya sungkeman itu menjadi budaya yang sedemikian penting
dan mendesak, khususnya pada hari raya seperti ini? Apa yang membuat
sungkeman seakan-akan sulit untuk digantikan dengan cara dan sarana secara
virtual? Politik macam apa yang telah direkayasakan terhadap budaya yang
sudah dianggap berlaku turun-temurun ini? Dalam sebuah film
dokumenter berjudul Riding the Tiger, khususnya bagian Kings and Coolies, Sri
Sultan Hamengku Buwono X pernah diwawancarai tentang sungkumen. Menurut dia,
sungkeman adalah tradisi dalam masyarakat Jawa yang harus selalu dijaga dan
dilestarikan. Namun, yang justru menarik
bahwa dalam film yang disutradarai oleh Christine Olsen dan Curtis Levy
ditampilkan gambar yang mempertontonkan bagaimana ibu dari salah satu Raja
Jawa itu pun mesti menjalani tradisi tersebut. Dengan cara laku dodok
(berjalan sambil jongkok), setiap anggota keluarga kerajaan, baik tua maupun
muda belia, dituntut untuk mencium lutut dari Sultan HB X. Dalam konteks hari
raya, tradisi itu dinamai dengan ngabekten. Artinya, siapa pun yang berada
dalam lingkup keluarga keraton tak bisa menolak alias tunduk untuk berbakti
dengan budaya seperti itu. Dalam bingkai budaya,
ketertundukan itu sesungguhnya adalah bagian dari politik yang diciptakan
untuk menaklukkan ”Jawa”. Benarkah? Di sini John Pemberton, dalam bukunya
yang berjudul ”Jawa”: On the Subject of ”Java” (Mata Bangsa, 2018),
mengungkap bahwa ”Jawa” dengan segala tradisi dan budayanya sebenarnya adalah
rekayasa dari politik penguasa pada era kolonial Belanda. Jadi, ”Jawa” adalah
konstruk budaya yang diciptakan untuk membuat siapa pun patuh pada penguasa.
Kepatuhan itu ditunjukkan lewat budaya yang dibuat seolah-olah megah dan
berdaya dalam berbagai upacara atau ritual, seperti melalui sungkeman. Dengan
cara dan gaya yang tampak sakral, sungkeman ibarat bahasa suci yang tak
terbantahkan, apalagi tergantikan. Artinya, sungkeman seperti
menjadi kuasa dan genggaman aksiomatis yang diwujudkan dalam budaya hormat
pada yang dituakan. Hanya, masalahnya, yang dituakan dalam sungkeman bukan
lagi mereka yang dianggap layak dan pantas untuk dihormati, tetapi justru
yang berada di pusat kekuasaan dinastik itulah yang dijadikan sumbunya.
Karena itu, tak mengheran jika raja dan penguasa kolonial menjadi panggung
dari budaya sungkeman lantaran keduanya adalah pihak-pihak yang dikonstruk
sebagai yang dituakan. Penting untuk dicatat
bahwa yang dituakan di sini bukan semata-mata soal usia, melainkan mereka
yang dianggap berkuasa dengan segala kemegahan ritual atau upacara budayanya.
Karena itulah kemegahan yang dipertontonkan lewat sungkeman dianggap lebih
penting dan menentukan daripada sekadar cium tangan atau lutut sekalipun. Dalam konteks ini, kajian
Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul Negara Teater: Kerajaan-kerajaan
Bali di Abad Kesembilanbelas (Bentang Budaya, 2000) mendapatkan arenanya yang
tampak efektif dan operatif. Sebab, menurut dia, kekuasaanlah yang justru
melayani kemegahan upacara dan bukan sebaliknya. Dengan demikian, masuk
akal jika sungkeman menjadi semacam pentas yang selalu mendebarkan dan
dinanti-nantikan untuk dipertontonkan. Seperti ketika kita menonton di
televisi, menjadi tidak penting lagi mana yang fiksi atau fakta dari suatu
tontonan. Yang terpenting adalah kita dapat terhibur dan dari sana kita dapat
menemukan kesenangan. Entah selalu tertipu atau bahkan dibohongi, kita justru
menjumpai bahwa tiada yang dapat dipastikan dari setiap citra yang
dipentaskan. Termasuk dalam upacara sungkeman yang telah menjadi pentas
tradisional setiap tahun, yang menentukan sesungguhnya bukan faktanya,
melainkan pencitraannya. Menarik bahwa meski sungkeman telah
sedemikian lama hanya menjadi ”sandiwara”, tetapi hingga saat ini tidak
sedikit orang yang masih berlomba-lomba untuk mementaskannya. Mungkin aura
”negara teater”, seperti dikaji Geertz, di atas masih belum sirna sepenuhnya.
Sebab, sebagaimana pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad dalam Catatan
Pinggir-nya yang berjudul ”Pentas” (Tempo, 14/8/2013), ”Seluruh upacara
merupakan demonstrasi yang diulangi dengan beribu-ribu cara, dengan
beribu-ribu citra, tentang betapa digdayanya hierarki menghadapi kekuatan
yang paling ampuh dan membuat semua melata.” Halo, halo, sudah sungkeman
belum? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar