Kisruh
Kepemilikan Tanah Hamid Awaludin ; Mantan Menteri Hukum
dan HAM RI, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar |
KOMPAS, 17 Mei 2021
Kisruh menyangkut status kepemilikan
tanah di negeri kita dewasa ini, sudah kian tidak masuk akal. Harian Kompas, 7 Mei 2001,
secara gamblang dan detail, memaparkan bagaimana mafia tanah di Jakarta,
telah melumpuhkan nurani dan akal sehat kita. Pat gulipat dan persekongkolan
jahat antara mafia dengan aparat negara, sudah melampaui batas. Jakarta adalah gambaran
suram tentang runyamnya kepemilikan tanah di negeri ini, karena di
daerah-daerah lain, juga terjadi, meski modusnya berlainan. Yang pasti, mafia
tanah adalah bahaya nyata (clear and present danger) bagi negeri kita
sekarang ini. Kasus teranyar yang
menggelitik nurani dan rasa keadilan kita, adalah kasus tanah di Makassar.
Beberapa orang telah mengklaim sejumlah tanah bersertifikat, yang telah
dimiliki oleh pemerintah, hanya dengan modal dokumen yang bernama rincik yang
dikeluarkan pada tahun 1942 dan 1958. Ironinya, lembaga
peradilan kita telah mengesahkan tuntutan kepemilikan ilegal tersebut.
Orang-orang yang sama ini telah memenangkan lima kasus, termasuk pasar
rakyat, jalan tol, masjid terbesar di kota tersebut, pelabuhan, dan tanah
tempat praktik tambak Universitas Hasanuddin. Tanah-tanah tersebut,
berhektar-hektar luasnya. Hebatnya lagi, alih-alih
membela aset negara, di saat perkara sedang bergulir di pengadilan, khususnya
tanah yang ditempati masjid, seorang pejabat tinggi negara yang berkantor di
lingkungan Istana Negara, masih saja melayangkan surat ke pemerintah daerah
sebagai pemilik sertifikat tanah, agar menunda menghibahkan tanah/lahan
tersebut kepada pihak lain. Saat itu, pemda hendak menghibahkan lahan
tersebut ke yayasan yang mengurus masjid. Maka tidak heran, kecambah
desas-desus tentang keterlibatan atau intervensi sang pejabat yang amat
berpihak kepada kelompok yang menggugat, kian liar. Masalahnya, portofolio
pejabat tersebut, bukanlah urusan tanah. Luar biasa kan? Polda Metro Jaya
mengungkap sindikat mafia tanah dan pemalsu dokumen yang memalsukan
sertifikat hak milik untuk mendapatkan pinjaman uang senilai Rp 3,7 miliar,
Rabu (4/3/2020).Di daerah-daerah lain, hal serupa juga sudah menjamur. Bukti
dokumen kepemilikan masa silam, hendak dijadikan alas hak untuk mengangkangi
tanah milik orang lain, termasuk milik negara. Tak jarang kita saksikan,
banyak dokumen kepemilikan tanah masa lalu, seperti girik, rincik dan
sebagainya, dipalsukan dengan menggunakan perangkat teknologi canggih,
kertas, pencetakan, tinta, tanda tangan, untuk membuat dokumen yang
seolah-olah asli, tapi sungguh-sungguh palsu. Dokumen-dokumen itulah
yang dipakai untuk merampok tanah milik orang lain, atau tanah milik negara.
Supaya perampokan terkesan bermoral dan mendapat legitimasi yuridis,
mekanisme yuridis pun ditempuh lewat persekongkolan jahat dengan aparat
negara. Dalam menempuh mekanisme
hukum ini, akademisi yang bergelar doktor dan profesor pun diikutsertakan
menjadi saksi ahli, meskipun akademisi tersebut sama sekali tidak memiliki
keahlian dalam subyek yang dipersaksikannya. Akademisi itu acapkali dicibir
dengan istilah: profesor yang ahli dalam bersaksi. Inilah yang disebut
kejahatan sistematis: penuh perencanaan matang. Aksi detail dengan presisi
tinggi, jaringan luas yang melibatkan banyak pihak, keberanian menipu luar
biasa. Para pelaku kejahatan tanah ini, sangat surplus dengan akal bulus,
tapi defisit dalam neraca moral dan hukum. Status
hukum dokumen Terlepas dari keaslian dan
kepalsuan dokumen-dokumen yang mereka pakai tersebut dalam memenangkan
tuntutan mereka, aroma ketidakbenaran kepemilikan dan putusan hukum yang
mengesahkannya, terasa sekali. Semua telah memaklumi,
sejak Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 dan segala turunannya
berlaku, masalah status dokumen kepemilikan tanah di negeri kita ini, telah
berubah pula. Semuanya harus terdaftar secara apik dalam sebuah kodifikasi
hukum yang jelas. Ini semua dimaksudkan agar ada kepastian hukum tentang
tanah dan pemiliknya. Pasal 27 Ayat 3 UU Pokok
Agraria No 5 Tahun 1960, menyatakan, hak milik atas tanah, hapus manakala
pemilik tanah tersebut menelantarkan miliknya. Frasa menelantarkan di sini, jelas
merujuk kepada perbuatan atau sikap yang tidak mengurus atau mengabaikan
tanah miliknya. Salah satu indikator pengabaian hak milik, adalah, membiarkan
tanah milik tersebut dikuasai oleh orang lain. Indikator pengabaian yang
lain, pemilik tanah tidak menjalankan kewajibannya kepada negara, yakni,
membayar pajak. Kita juga didogma oleh
ajaran keperdataan dalam undang-undang tersebut bahwa dasar atau bukti
kepemilikan yang bersifat adat, misalnya, rincik, girik dan sebagainya, gugur
dengan sendirinya manakala tanah tersebut telah memiliki sertifikat, kecuali
ada alas hak lain atas tanah tersebut. Searas dengan ini, prinsip
hukum perdata juga dengan tegas mengajarkan, bila seseorang menduduki tanah
sekian lama, dan pemilik tanah tersebut membiarkannya, maka haknya untuk
menuntut tanahnya, telah hapus. Maka, sangat tidak masuk
akal, bila ada tanah yang telah berpuluh-puluh tahun telah dipakai oleh
berbagai pihak dan telah bersertifikat, lalu pemiliknya membiarkan begitu
saja serta tidak membayar pajak, kemudian ahli waris datang menuntut
tanah-tanah tersebut, sebagai miliknya. Dalam konteks ini, kita seyogianya
memahami betul prinsip kepemilikan tanah di negeri kita ini: tanah harus
dipakai dan dimanfaatkan. Kepemilikan tanah sangat
berbeda sifatnya dengan kepemilikan benda lain, sebab tanah harus
dimanfaatkan atau dipakai. Bila kita memiliki pakaian, maka kepemilikan kita
atas pakaian tersebut, tidak harus dipertahankan dengan cara memakainya
terus-menerus. Langkah
yuridis Negara tidak boleh kalah
dalam menghadapi kerakusan orang-orang yang menempuh segala cara untuk
mengklaim tanah, apalagi bila tanah tersebut milik negara. Harus ada
keseriusan memidanakan orang-orang tersebut dan semua pihak yang terlibat di
dalamnya, termasuk aparat negara Langkah yuridis tidak
sekadar memeriksa asli tidaknya dokumen yang digunakannya, tetapi juga
penerapan dan penggunaan logika serta substansi UU Pokok Agraria No 5 Tahun
1960 dan segala aturan turunannya. Siapa pun yang mencoba menggunakan dokumen
masa lalu setelah berlakunya undang-undang tersebut, patut diduga mereka
memiliki itikad tidak baik. Apalagi bila ini
dibiarkan, atau disahkan oleh aparat negara sendiri, termasuk para hakim yang
dengan mudah mengesahkan kepemilikan tanah berdasarkan dokumen-dokumen masa
silam yang telah dianulir oleh UU. Juga, ada baiknya
lembaga-lembaga pemerintah, terutama yang berkaitan dengan masalah
pertanahan, melakukan sinergi yang rapi dengan mekanisme kerja permanen.
Jangan ada prinsip kompartemental yang kaku demi gengsi masing-masing. Badan
Pertanahan Nasional (BPN), misalnya, sebaiknya selalu berkoordinasi dengan
jaksa, polisi, dan pengadilan mengenai status tanah di wilayah kerjanya,
apalagi bila tanah tersebut milik negara. BPN selayaknya proaktif
menyuplai informasi tentang sejarah dan lika-liku keberadaan tanah yang
menjadi domain pengurusan dan tanggung jawab institusinya. Bukan diam dan
menunggu secara pasif. Dalam konteks seperti itu,
kita mengharapkan, BPN di mana pun, segera melakukan kodifikasi digital
tentang buku-buku desa dan kelurahan yang berkaitan dengan kepemilikan tanah,
lalu dicocokkan dengan data yang BPN miliki. Dan yang paling penting, BPN
membuka diri kepada siapa pun untuk memberikan data tanah, terutama untuk
kepentingan pro-justisia. Untuk kasus tanah Makassar,
BPN tidak memberikan data yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah untuk
mempertahankan miliknya. Ada apa? Wallahu alam bissawab. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar