Rabu, 12 Mei 2021

 

Menjadi Fitri di Era Pandemi

A Helmy Faishal Zaini ;  Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

KOMPAS, 12 Mei 2021

 

 

                                                           

Setelah menjalankan ibadah puasa dengan penuh kekusyukan, tiba saatnya kita bertemu dengan Idul Fitri. Sebuah hari ketika umat Islam dilarang berpuasa. Sebuah hari ketika manusia dianjurkan untuk menekankan pentingnya berbagi kepada sesama.

 

Sebetulnya, makna idul fitri akan sempurna ketika dimaknai secara pararel dengan Ramadhan. Bulan Ramadhan, merupakan bulan yang sangat tepat dijadikan sebagai momentum untuk kembali menyelami diri dan bermuhasabah sembari melakukan koreksi-koreksi diri.

 

Jika yang kita temukan adalah kesalahan, maka kita harus bertekad untuk tak mengulanginya lagi. Sebaliknya jika yang kita dapati kebenaran dan kebaikan, maka tak ada pilihan lain bagi kita kecuali memperjuangkannya kembali. Penting untuk diingat, menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, kunci kesuksesan adalah pada keseimbangan (attawazun). Apapun yang kita jalankan hendaknya beralaskan pada proses keseimbangan.

 

Hikmah puasa

 

Makna puasa sesungguhnya, menurut hemat saya, bukan saja menahan lapar dan haus serta menahan hawa nafsu destruktif seperti marah dan lain sebagainya, namun lebih dari itu puasa adalah medium untuk berbuat baik pada sesama. Puasa dengan kata lain adalah instrumen yang tepat untuk digunakan sebagai ladang untuk berbuat baik.

 

Hal itu bisa dibuktikan dengan disyariatkannya kewajiban zakat fitrah yang dilakukan di akhir bulan Ramadhan. Zakat fitrah adalah bukti orisinal bahwa puasa berarti juga menebar kasih sayang terhadap sesama dengan cara berbagi dengan zakat fitrah.

 

Dalam terminologi lain yang lebih universal, puasa berarti menajamkan rasa kemanusiaan. Dalam puasa, bukan saja kita sedang dididik merasakan bagaimana menderitanya orang yang sedang kelaparan, namun lebih dari itu kita juga diajarkan bagaimana berbagi terhadap sesama melalui zakat fitrah.

 

Ali Al-jurjawi dalam Hikmatus Tasyri Wafalsafutuh (1980) mencoba menggarisbawahi latar belakang pensyariatan ajaran-ajaran Islam, termasuk di dalamnya hikmah disyariatkannya puasa. Saya mencatat setidaknya ada tiga hikmah yang diungkapkan oleh Ali Al-Jurjawi soal disyariatkannya ajaran puasa. Pertama, hikmah yang berdimensi jasmaniah. Kedua, Hikmah berdimensi ruhaniah. Dan ketiga, hikmat ijtimaiah atau dimensi sosial kemasyarakatan.

 

Untuk dimensi pertama dan kedua, sudah banyak pembahasan yang mengupasnya secara panjang lebar. Bahkan terkait dimensi pertama, yakni dimensi jasmaniah, secara eksplisit Nabi mengatakan dalam sebuah riwayat “berpuasalah kalian semua, maka kalian akan menjadi pribadi yang sehat.”

 

Dalam konteks yang lebih luas, Ramadhan dan bulan puasa adalah madrasah bagi kita semua untuk meningkatkan rasa kepedulian terhadap sesama. Dengan ungkapan yang lain, Ramadhan adalah sarana men-training diri untuk berlatih menjadi manusia yang memiliki sensitivitas batin dan kepekaan sosial tinggi agar bisa “terlahir” kembali pada saat Idul Fitri sebagai manusia fitrah.

 

Dalam konteks Ramadhan sebagai madrasah yang mengasah sensitivitas batin dan kepedulian sosial tersebut berkait paut dengan hikmah puasa ketiga, yakni hikmah ijtimaiyyah (hikmah yang berdimensi sosial kemasyarakatan) yang dirumuskan Al-Jurjawi di atas.

 

Saya merasakan betul, pada dimensi ketiga inilah sesungguhnya yang perlu kita angkat, terutama menghadapi kondisi kekinian, saat seluruh energi bangsa kita dipusatkan untuk melawan pandemi seperti saat ini. Empati, kohesi sosial, kepedulian terhadap sesama, serta ikatan-ikatan persaudaraan kian merenggang, bahkan nyaris pudar.

 

Mengasah kepekaan sosial

 

Sikap empati selama bulan puasa setidaknya bisa digali dari misalnya rasa lapar dan dahaga. Kita bisa merasakan betapa menderitanya orang yang kelaparan dan kesusahan untuk memenuhi kebutuhan makannya. Atau misalnya soal ajaran membayar zakat fitrah yang diberikan kepada mustahiq (orang yang berhak). Keduanya adalah bukti empirik bahwa puasa adalah wahana untuk mengasah kepekaan sosial kita.

 

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabi Muhammad SAW bersabda “Wahai manusia! Barang siapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu.”

 

Hadis di atas disampaikan Nabi Muhammad sesaat menjelang masuk bulan Ramadhan. Secara eksplisit Nabi menekankan bahwa selain berpuasa, sebagai Muslim kita diajarkan dan dituntut untuk mempertajam kepedulian sosial dengan jalan berbagi terhadap sesama.

 

Kepedulian terhadap sesama, jika kita amati lebih dalam, selain ini masuk kategori kesalehan sosial, ia juga merupakan puncak profil umat Muslim yang baik, yakni yang bermanfaat bagi orang lain. Sebuah hadis mengatakan “khairunnasi anfauhum linnas.” Sebaiknya-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat untuk sesamanya.

 

Pada titik ini saya ingin mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai kepedulian sosial dalam bingkai puasa Ramadhan itu haruslah dilanjutkan secara simultan melalui momentum Idul Fitri dan juga bulan-bulan selanjutnya sepanjang tahun.

 

Landasan pacunya adalah rasa peduli yang diwujudkan dengan cinta kasih (rahmah). Dengan cinta kasih, kepedulian sosial yang salah satunya terwujud dalam perbuatan berbagi terhadap sesama akan semakin indah dan penuh dengan berkah.

 

Dalam surat An-Nisa 114, perintah untuk sedekah ditaruh pada posisi pertama. Ini merupakan sebuah bukti nyata bahwa betapa anjuran dan ajaran untuk bersedekah itu sangat penting kedudukannya dalam agama Islam. Islam sangat menjunjung tinggi spirit filantropisme. Spirit untuk saling berbagi satu dengan yang lain.

 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dan Abu Hurairah, Rasulullah Muhammad SAW pada suatu ketika bersabda “Sesungguhnya harta tidak akan berkurang karena disedekahkan.” Dalam memaknai hadis ini, pakar tafsir, Syaikh Ali Ash-Shabuni (2000) mengatakan yang dimaksud dengan garansi tak akan berkurang harta yang disedekahkan adalah Allah SWT akan senantiasa mengembangkan serta membersihkan harta seorang yang telah bersedia untuk bersedekah tersebut.

 

Ala kulli hal, puncak Ramadhan adalah Idul Fitri. Idul Fitri merupakan hari raya atau selebrasi kemenangan setelah bertarung melawan hawa nafsu, egoisme, keserakahan, dan pelbagai sifat buruk yang digembleng sepanjang bulan puasa.

 

Maka, pada momentum puncak ini, kita harus bisa memanfaatkannya untuk meningkatkan kepekaan, rasa peduli, dan juga memperbaiki ikatan-ikatan sosial, terutama di masa-masa sulit ketika wabah melanda seperti saat ini. Semoga kita senantiasa menjadi manusia-manusia yang fitri di tengah pandemi yang masih berlangsung ini. Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin. Wallahu a’lam bis showab. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar