Adab
Iringi Terampil Digital Tajuk Kompas ; Dewan Redaksi Kompas |
KOMPAS, 21 Mei 2021
Don Tapscott, penulis buku
populer Grown Up Digital, menulis, dia kagum dua anaknya yang berusia 7 dan
10 tahun sangat terampil menggunakan perangkat canggih. Keduanya cakap menggunakan
gawai dan seolah tak membutuhkan buku manual. Kesan serupa juga kita amati di
sini. Anak muda, sering masih
belia, terbiasa dengan penggunaan gawai, dan orang menyebut mereka generasi
digital; dari sononya sudah digital (digital native). Dengan segala kelebihan
yang diperlihatkan oleh anak muda itu, Tapscott juga mengutip penelitian yang
memperlihatkan sisi buruk teknologi digital. Disebutkan, antara lain, gawai
membuat anak muda net generation mengalami kelainan defisit perhatian,
kebanyakan dangkal, serta susah konsentrasi dan fokus pada urusan. Boleh jadi itu hanya segi
yang menyangkut keterampilan teknis. Ada lagi sisi yang boleh jadi lebih
serius daripada itu, yaitu ceroboh, kurang periksa, dan hal ini disebabkan
ada kesenjangan antara keterampilan teknis dan wawasan. Berita terakhir tentang
siswi MS (18) di sebuah SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah yang dikeluarkan
dari sekolah karena dinilai melanggar tata tertib. Ia sebelumnya mengunggah
konten bernada kebencian terhadap Palestina di akun media sosialnya. Meski
keputusan itu kontroversial, di luar itu kita risau pada fenomena yang
melatarbelakangi kasus ini. Praktisi pendidikan
karakter Doni Koesoema menilai, bermunculannya kasus anak sekolah mengunggah
konten hoaks atau ujaran kebencian di media sosial mesti menjadi bahan
evaluasi pendidikan di sekolah, daerah, dan nasional (Kompas, 20/5/2021).
Proses pendidikan kita belum menyiapkan anak untuk mampu berpikir kritis. Tak
memadai anak hanya diajari literasi digital serta ancaman Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kemampuan berpikir kritis harus
jadi upaya serius proses pendidikan. Diakui atau tidak, sedikit
atau banyak, isu seperti konflik Israel-Palestina ikut menggerakkan emosi
warga. Namun, perlu kita sadari, isu ini pelik. Oleh derasnya pemberitaan di
media, pengaruh isu ini melebar hingga ke daerah, yang membuat siswa seperti
MS ikut tergerak untuk merespons. Di sini kita perlu mawas diri.
Sebelum ini kita sudah sering mendengar nasihat ”saring sebelum sharing”,
periksa dulu sebelum menyebarkan konten. Namun, emosi sering mengalahkan
nalar. Masalahnya boleh jadi sistemik karena media juga perlu mengkaji ulang
cara memberitakan isu sensitif. Memang dirasakan pas momennya untuk mengupas
hal aktual. Namun, tetap diperlukan kesaksamaan menyangkut isu yang
mengandung dimensi emosional dan membelah (opini). Jika akar masalah memang
kompleks untuk dibahas, setidaknya porsinya tidak harus dibuat
berkepanjangan. Isu ”tersesat di ranah
digital” patut menjadi perhatian otoritas pendidikan. Kepada siswa, selain
perlu ditanamkan kesadaran ”saring sebelum sharing”, juga perlu diberi
wawasan tentang isu mutakhir meski sangat menuntut kesabaran mengingat dalam
lingkup nasional dan global, ada banyak isu yang rumit dan sensitif serta
belum tentu kita bisa mencernanya dengan pas. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar