Fenomena
Mudik dalam Perspektif Ilmu Hayati Budi Setiadi Daryono ; Guru Besar; Dekan
Fakultas Biologi UGM; Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) |
KOMPAS, 11 Mei 2021
Seperti tahun-tahun
sebelumnya, akhir bulan ramadan selalu lebih semarak dengan adanya budaya
mudik yang telah lama dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Topik ini semakin menghangat ketika pemerintah menetapkan larangan mudik
untuk yang kedua kalinya karena situasi pandemi yang belum terkendali.
Keresahan yang telah dirasakan sejak ramadan tahun lalu kembali memenuhi
ruang-ruang percakapan pribadi dan sosial media. Munculnya larangan mudik
untuk menekan angka penyebaran virus saat ini tetap tak bisa begitu saja
diterima di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan, tradisi mengunjungi dan
berkumpul dengan keluarga besar di kampung halaman saat hari raya telah
memiliki sejarah panjang sejak zaman kerajaan. Mudik di Indonesia telah
dilaksanakan sejak kerajaan Majapahit, di mana pada waktu tersebut para
utusan kerajaan banyak disebarkan ke sejumlah wilayah hingga semenanjung
Malaya dan Indochina. Kemudian, mereka mudik atau pulang kampung setiap
periode yang ditentukan untuk berkumpul bersama keluarganya di wilayah
kerajaan. Tradisi tersebut kemudian
dilanjutkan oleh beberapa kerajaan Islam, seperti Mataram Islam yang
didirikan pada abad ke-16, yang memberikan kelonggaran pulang pada pejabatnya
dari tugas di luar kerajaan setiap menjelang akhir puasa Ramadhan. Tradisi
inilah yang kemudian diteruskan oleh Muslim Indonesia hingga sekarang. Manusia
bukan satu-satunya Mudik tidak hanya
dilakukan oleh manusia, ternyata banyak hewan juga mudik, seperti halnya
salmon. Setelah menetas di lingkungan sungai air tawar, salmon kemudian
migrasi ke laut. Setelah salmon dewasa siap untuk bertelur, salmon tersebut
kembali ke daerah asalnya, yaitu sungai air tawar yang sama saat mereka
menetas. Kondisi ini dalam istilah biologi disebut anadromous. Salmon mampu berpindah
tempat dan kembali ke lingkungan awal menetas karena memiliki kemampuan
sensorik dan memori. Seperti halnya manusia akan kembali ke tempat asal
disebabkan adanya kenangan baik lingkungan dan keluarga, salmon juga
mempunyai kemampuan untuk mengenali dan mengingat gelombang magnetik
sepanjang jalur migrasi mereka, kemampuan ini disebut pengenalan sensor
geomagnetik. Kemampuan geomagnetik ini
juga dimiliki oleh penyu hijau (Chelonia mydas). Setelah menetas, para penyu
akan langsung menuju bibir pantai dan mengarungi lautan hingga dewasa dan
menempuh beribu-ribu kilometer dari tempat pertama kali telurnya menetas.
Kemudian saat mencapai usia 26 tahun, penyu hijau akan menempuh perjalanan
”mudik” pertamanya kembali ke tempat asal untuk berkembang biak dan bertelur
di pantai. Hal inilah yang menjadikan beberapa pantai tertentu didatangi oleh
penyu yang sama selama beberapa kali dalam hidupnya. Selain kelompok ikan dan
reptil, banyak anggota dari bangsa burung juga melakukan migrasi sebagai
siklus tahunannya. Burung-burung yang bermigrasi terutama berasal dari
negara-negara yang memiliki empat musim. Saat tempat asalnya mengalami musim
dingin yang parah, mereka akan terbang melintasi beberapa negara hingga
separuh bumi untuk mendapatkan makanan dan berkembang biak. Sejumlah daerah di
Indonesia sendiri, seperti Riau, Yogyakarta, dan Berau, menjadi titik-titik
pemberhentian sementara hingga tujuan migrasi banyak jenis burung.
Burung-burung ini akan menetap dalam hitungan minggu hingga bulan untuk
melanjutkan perjalanan atau melakukan perjalanan pulang ke tempat asal saat
musim telah berganti. Fenomena
gagal mudik Larangan mudik yang diatur
berdasar Pasal 1 Ayat (3) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021
berlaku sejak 6 Mei hingga 17 Mei 2021. Peraturan ini dimaksudkan menekan
angka penyebaran Covid-19 yang diketahui telah bermutasi kembali. Peraturan
ini mengakibatkan banyak orang yang telah terbiasa melaksanakan kegiatan
mudik di hari raya harus kembali tertunda. Namun, terhambatnya aktivitas ini
bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Pada awal kemerdekaan RI,
orang-orang dari beberapa daerah seperti Bogor dan Padang juga tidak dapat
pulang ke kampung halaman mereka akibat masih ada serangan dari pihak militer
Belanda yang waktu itu belum menyetujui kemerdekaan RI. Selain itu, imbauan
untuk tidak mudik juga disampaikan oleh Presiden Soekarno di tahun 1960-an.
Tenaga dan sumber daya yang tersedia diminta untuk fokus pada persoalan
pembebasan Irian Barat. Meskipun jumlah pemudik
pada masa tersebut lebih sedikit, namun beberapa kota-kota besar di Indonesia
telah menarik perhatian untuk mencari pendidikan lebih tinggi atau pun
lapangan pekerjaan. Selain itu, ketersediaan kendaraan umum, seperti kereta,
juga sangat terbatas dan diambil alih untuk keperluan perang. Seperti halnya manusia
yang mengalami halangan dalam kegiatan kembali ke tempat asal, kondisi ini
juga dialami oleh hewan-hewan migran. Para hewan yang melakukan perjalanan,
baik untuk migrasi atau pun kembali ke tempat asal dituntun secara genetik
dan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Berbagai ancaman sepanjang
musim berpindah dapat terjadi, semisal adanya predator dalam jalur migrasi,
perburuan besar-besaran, perubahan fisik lingkungan, hingga perubahan iklim
terkadang menyebabkan beberapa anggota hewan tersebut tidak dapat Kembali ke
daerah asalnya. Perjalanan pulang penyu
hijau ke pantai tempatnya menetas biasanya terjadi pada musim tertentu saat
bulan purnama. Hal ini sukar dilakukan apabila cahaya bulan tersamarkan oleh
cahaya buatan lain di sekitar pantai. Selain itu, suhu pasir di mana
telur-telur akan diletakkan sebelum menetas juga memengaruhi keberhasilan
anakan penyu. Saat kondisi pantai berubah, populasi penyu yang datang semakin
sedikit setiap musim. Cara adaptasi lain yang dilakukan oleh penyu hijau
untuk meletakkan telurnya adalah dengan menggeser titik lokasi mendarat
selama masa bertelur. Selain penyu, suhu dan
iklim yang berubah juga memengaruhi pola migrasi burung. Para pengamat
mencatat adanya perubahan waktu, baik saat burung bermigrasi maupun musim
kepulangan setiap poupulasi ke tempat asal. Beberapa jenis burung migrasi
lebih awal, ada juga burung-burung yang kembali lebih awal dari waktu
kepulangan biasanya. Hal tersebut diduga karena perubahan panjang musim di
suatu daerah yang mengakibatkan adaptasi waktu bagi para burung migran untuk
pergi atau menetap. Selain waktu, burung
migran juga beradaptasi dengan lokasi migrasi. Burung camar berpunggung hitam
yang merupakan burung asli Eropa, teramati mulai bermigrasi ke Amerika Utara
pada tahun 1934. Seiring meningkatnya populasi yang bermigrasi ke Benua
Amerika, burung camar ini kemudian mulai bersarang di Islandia, tempat yang
lebih dekat ke Amerika, dan mulai terbang ke Kanada dan sekitarnya daripada
kembali ke Benua Eropa. Belajar
dari sejarah Penetapan larangan
mobilitas warga secara besar-besaran ini dapat menjadi upaya yang berpengaruh
signifikan dalam mencegah virus kembali menyebar. Pengalaman dunia menghadapi
wabah sebelumnya di tahun 1918-1920 berkaitan erat dengan banyaknya
mobilisasi manusia saat itu. Pengalaman dunia
menghadapi wabah sebelumnya di tahun 1918-1920 berkaitan erat dengan
banyaknya mobilisasi manusia saat itu. Flu Spanyol yang pertama
kali tercatat di pangkalan militer Kansas, Amerika Serikat menyebar melalui
mobilisasi tentara dan penduduk ke seluruh penjuru dunia, termasuk wilayah
Nusantara seperti Jawa dan Madura. Wabah yang belum diketahui secara pasti
daerah asalnya sampai saat ini memakan korban 20 juta sampai 100 juta orang
saat perang dunia pertama berakhir. Angka tersebut dapat menjadi ancaman
berkali-kali lipat lebih tinggi dengan cepat dan banyaknya moda transportasi
yang dapat digunakan saat ini. Kembali ke kampung halaman
atau kota asal, sejatinya lebih dari tradisi dan kegiatan seremonial untuk
banyak makhluk hidup, termasuk manusia. Namun saat terjadi perubahan keadaan,
mengurangi ancaman dan mengutamakan keselamatan menjadi hal utama. Hal
tersebut perlu tidak hanya untuk menjaga eksistensi individu tersebut, tetapi
juga fungsi produktivitas dalam menjalankan berbagai peran. Belajar dari sejarah yang ada, berbagai
penyakit menular dengan cepat dapat disebabkan oleh adanya migrasi dan
interaksi populasi makhluk hidup dalam jumlah yang besar dalam satu waktu.
Namun untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Indonesia, tentunya tidak hanya
larangan mudik saja yang ditegakkan regulasinya, melainkan kita harus
meningkatkan kesabaran dan disiplin dalam melaksanakan protap kesehatan
sehingga menjadi budaya baru khususnya dalam mengendalikan dan mengakhiri
masa pandemi yang lebih dari setahun terjadi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar