Harga
dari Ditinggalkannya Sains dalam Tragedi Covid-19 Ahmad Arif ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 11 Mei 2021
Pemerintah yang
mengabaikan atau menunda bertindak atas saran ilmiah telah kehilangan
kesempatan penting untuk mengendalikan pandemi. Itulah pelajaran pahit dari
India dan Brasil yang saat ini mengalami tsunami kematian karena Covid-19.
Indonesia bisa berada di daftar berikutnya jika tidak berhati-hati. Jumlah total korban tewas
di Brasil akibat Covid-19 telah melampaui 400.000 orang pada pekan lalu dan
bisa bertambah 3.000 kematian per hari. Di India, rekor tertinggi kematian
karena Covid-19 terjadi pada Jumat (7/5/2021) dengan 4.194 orang meninggal
dalam sehari dan pada Selasa (11/5) dengan total korban mencapai 250.025
orang. ”Krisis di kedua negara
ini akibat kegagalan politik: para pemimpin mereka gagal atau lambat
bertindak atas saran peneliti. Ini telah berkontribusi pada hilangnya nyawa
yang tidak masuk akal,” tulis editorial jurnal sains terkemuka, Nature,
Selasa (4/5). Kegagalan terbesar Brasil
adalah presidennya, Jair Bolsonaro, yang secara konsisten salah mengartikan
Covid-19 sebagai ”flu ringan” dan menolak untuk mengikuti saran ilmiah dalam
menetapkan kebijakan. ”Menjadi ilmuwan di Brasil sangat menyedihkan dan
membuat frustrasi, ” kata Jesem Orellana, seorang ahli epidemiologi di pusat
Oswaldo Cruz Foundation di Manaus, kepada Nature, Selasa (27/4). ”Separuh
dari kematian (di Brasil) seharusnya dapat dicegah. Ini benar-benar bencana.” Pemerintah Bolsonaro telah
beberapa kali menentang nasihat ilmiah selama pandemi, termasuk diminta tidak
mempromosikan pengobatan Covid-19 yang belum terbukti. Namun, kesalahan yang
paling merugikan, kata Orellana, adalah mengabaikan strategi dasar
penanggulangan pandemi. Misalnya, meskipun riset
menunjukkan masker dapat mengurangi kemungkinan penularan SARS-CoV-2,
Bolsonaro melemahkan mandat federal untuk pemakaian masker pada Juli 2020.
Secara pribadi, dia juga menolak memakai masker, bahkan setelah dinyatakan
positif Covid-19. Selain itu, Bolsonaro
menolak melakukan pembatasan dengan menutup bisnis yang tidak penting selama
pandemi. Alasan ekonomi menjadi dalihnya, dengan mengatakan bahwa penguncian
akan merugikan masyarakat. ”Sangat sulit menerapkan
tindakan pencegahan jika informasi yang salah datang langsung dari pemerintah
federal,” kata Natalia Pasternak, mikrobiologis dan kepala Question of
Science Institute di Sao Paulo. Sebagaimana di Brasil,
para pemimpin India juga dinilai gagal merespons peringatan para ahlinya,
termasuk saat kemunculan varian baru B.1.617 pada Oktober 2020. Gautam Menon,
profesor biologi dari Ashoka University yang pertama kali mencermati varian
ini, seperti dikutip BBC mengatakan, India seharusnya memulai pengawasan
genom yang cermat sejak Januari 2021 untuk mendeteksi varian baru. ”Keberadaan varian baru
ini awalnya dibantah pihak berwenang. Ini adalah titik balik yang signifikan
yang terlewatkan,” kata Menon. Para politisi di India
dinilai terlalu cepat berpuas diri setelah melihat penurunan kasus Covid-19
yang pada September 2020 rata-rata bertambah 96.000 per hari menjadi sekitar
12.000 per hari pada awal Maret 2021. Sejak terjadi penurunan
itu, mereka membuka kembali bisnis, menyelenggarakan pemilihan umum dan
mengizinkan ritual yang melibatkan jutaan orang, dengan mengabaikan protokol
kesehatan. Pada periode kritis itu,
sejumlah ilmuwan di India bersuara untuk memperingatkan pemerintah mereka
agar berhati-hati dalam melonggarkan pembatasan Covid-19, seperti ditulis di
jurnal Lancet edisi 26 September 2020. Namun, keputusan politik
mengabaikannya dan, pada saat yang sama, masyarakat yang lelah dengan
pembatasan semakin mengabaikan protokol kesehatan. Dampaknya, mulai akhir
Maret 2021, gelombang kedua virus korona tipe baru itu mulai menerjang
seiring kemunculan varian baru. Kini, India kewalahan menghadapi tsunami
Covid-19. Layanan kesehatan mereka telah kolaps, bahkan mayat korban harus
antre untuk dikremasi. Keterbukaan
data Belajar dari Brasil dan
India, diabaikannya sains dalam pengambilan keputusan dimulai sejak para
ilmuwan kesulitan mengakses data guna penelitian Covid-19. Hal itu
menyebabkan ilmuwan kesulitan memberikan prediksi yang akurat dan saran
berbasis bukti kepada pemerintah. Pada 29 April 2021,
misalnya, lebih dari 700 ilmuwan menulis surat kepada Perdana Menteri India
Narendra Modi untuk meminta akses yang lebih baik ke data, seperti hasil tes
Covid-19 dan hasil klinis pasien di rumah sakit serta program surveilans
genom skala besar untuk mengidentifikasi varian baru. Surat ini direspons dengan
pembukaan sebagian data, tetapi situasi sudah terlambat. Tsunami Covid-19
yang melanda sudah terlalu besar dan kini mereka bahkan kesulitan mengkremasi
korban. Bagaimana
dengan Indonesia? Para ilmuwan, khususnya
epidemiolog independen di Indonesia, telah merasakan sulitnya mengakses data
Covid-19 di Indonesia, terutama data soal jumlah tes dan kapan onsetnya di
tiap kabupaten/kota, hingga data kematian terkait Covid-19. Padahal, data ini
menjadi kunci pembuatan kurva epidemi, yang seharusnya menjadi dasar
kebijakan, misalnya pelonggaran pembatasan seharusnya dilakukan jika kurva
penularannya menurun. Mengingat sangat
pentingnya kurva epidemiologi ini, kualitas data dan informasinya harus baik.
Untuk membangun kepercayaan publik dan kualitas data, Pemerintah Singapura,
misalnya, menggandeng akademisi dan lembaga penelitian. Model epidemiologi mereka
dibuat bersama oleh Saw Swee Hock School of Public Health, National
University of Singapore, dan Kementerian Kesehatan, untuk memproyeksikan
penyebaran penyakit dan mensimulasikan dampak reduktif di bawah skenario
intervensi berbeda. Upaya kolaboratif seperti itu memfasilitasi peningkatan
tanggapan nasional ilmiah dan berdasarkan bukti. Indonesia sebenarnya telah
memiliki kurva epidemi, tetapi kualitasnya diragukan ilmuwan. Epidemiolog
dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar (2020), misalnya,
menyebutkan, Indonesia belum memiliki kurva epidemi yang baik sehingga harus
hati-hati membaca klaim pemerintah tentang perjalanan kasus Covid-19 di
Indonesia. Salah satu sumber
masalahnya adalah angka jumlah kasus harian yang dilaporkan tidak bisa
menjelaskan laju infeksi harian pada hari sebelumnya karena tidak ada
informasi kapan terjadi infeksi. Keterbatasan tes menyebabkan kasus yang
dilaporkan pada hari itu bisa berasal dari kasus berhari-hari bahkan minggu
sebelumnya. Tes dan lacak, yang
menjadi komponen dasar dalam strategi pengendalian pandemi, selain perawatan
pasien, telah menjadi masalah dasar di Indonesia selama Covid-19 yang belum
tuntas juga, termasuk transparansi laporannya. Hingga saat ini, tidak ada
data hasil tes dan lacak hingga level kabupaten/kota yang bisa diakses publik
dan bisa dianalisis ilmuwan independen. Berdasarkan laporan rutin
Organisasi Kesehatan dunia (WHO) tentang situasi Covid-19 di Indonesia, hanya
Jakarta yang secara konsisten sudah memenuhi standar minimal jumlah tes.
Sebagian besar daerah lain, termasuk provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa, belum
memenuhinya sehingga data epidemiologis di Indonesia tidak bisa dianalisis. Selain ketertutupan jumlah
pemeriksaan, Pemerintah Indonesia tidak transparan menginformasikan hasil
pelacakan kasus (tracing), yang membuat masyarakat tak tahu risiko di sekitar
mereka. Padahal, di banyak negara lain, data kluster penularan bisa diakses
terbuka. Setiap laporan kasus
disertai dengan riwayat perjalanan dan kemungkinan kontak yang terjadi. Di
Singapura, misalnya, data ini bisa diakses di www.moh.gov.sg/covid-19. Dengan
data ini, peneliti bisa melaporkan jalur penularan Covid-19 di Singapura dari
grup wisatawan China, konferensi perusahaan, dan gereja, seperti dilaporkan
di The Lancet (2020), yang lalu direkonstruksi di sejumlah media massa
sehingga bisa terbaca publik. Korea Selatan (Korsel)
juga melaporkan perjalanan kasus secara transparan di laman resmi pemerintah
www.cdc.go.kr atau juga di pemerintah kota. Misalnya, pada 17 Juni 2020,
Pemerintah Kota Busan melaporkan dua kasus baru, yakni warga Korsel, dengan rincian
informasi riwayat perjalanannya. Kasus ke-47 di kota ini sebelumnya melakukan
perjalanan dari Madura menggunakan kendaraan pribadi ke Bandara Juanda di
Surabaya kemudian terbang ke Bandara Soekarno-Hatta sebelum terbang ke
Korsel. Informasi ini meliputi
jenis moda transportasi dan nomor penerbangan sehingga memudahkan publik
mengetahui risiko penularan dan pelacakan. Bahkan, kondisi setiap kasus,
termasuk setelah sembuh, bisa diikuti dalam peta yang bisa diakses publik. Di
Indonesia, masyarakat tak pernah tahu siapa sesungguhnya kasus ke-10, 20,
atau bahkan yang ke-2 juta, dari mana mereka tertular, dan bagaimana
kondisinya. Kepercayaan
publik Transparansi informasi
Covid-19 memang masih menjadi masalah hingga lebih dari setahun setelah
pandemi. Pada 24 April 2021, Iqbal Elyazar menulis di kolom opini Kompas,
yang menceritakan sulitnya menghitung data angka kematian Covid-19 di
Indonesia. Salah satunya karena sengkarut data. Tak hanya itu, timnya yang
tengah melakukan kajian tentang excess death atau tren kematian berlebih
selama pandemi ini juga terhambat dengan ketertutupan data. Banyak pemerintah
daerah tak mau memberikan akses data kematian terkait Covid-19. Tanpa data
ini, gambaran tentang keparahan wabah di Indonesia sulit diketahui publik dengan
baik. Sengkarut data Covid-19 di
Indonesia juga terlihat baru-baru ini. Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan
Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto mengatakan bahwa
pihaknya telah melakukan tes Covid-19 secara acak di pos penyekatan mudik.
”Jumlah pemudik yang dilakukan random testing, dari 6.742 konfirmasi positif
4.123 orang,” kata Airlangga dalam konferensi pers secara virtual, Senin
(10/4). Hal itu berarti, dari tes
random ini, angka positivitasnya mencapai 63,7 persen. Angka ini sangat
tinggi. Jika betul, itu sangat mengkhawatirkan. Masalahnya, angka positivitas
pemeriksaan reaksi rantai polimerase (PCR) di Indonesia yang dilaporkan
setiap harinya hanya di kisaran 22 persen. Angka positivitas tes antigen
0,5-1,5 persen. Apa mungkin tes random
bisa jauh lebih tinggi positivitasnya dibandingkan dengan tes rutin dari
hasil pelacakan atau orang-orang yang datang dengan gejala Covid-19? Hal ini
sulit dijelaskan, kecuali jika data hasil tes yang dilaporkan Satgas
Penanganan Covid-19 tiap harinya tidak akurat. Publik akan
bertanya-tanya, kenapa jika untuk membuka aktivitas ekonomi dan wisata, data
dan informasi positivitas kita minimal, tetapi untuk menakuti pemudik
menggunakan data lain. Ini soal konsistensi pesan, mirip dengan pernyataan
yang kontradiktif: mudik dilarang, tetapi untuk wisata boleh. Kita tentu sepakat, mudik perlu dilarang
karena risiko penyebaran penyakit ini seiring pergerakan pemudik sangat
besar. Namun, penggunaan data yang bias bakal memperparah krisis kepercayaan
dan pada akhirnya kepatuhan warga. Padahal, kepercayaan dan kepatuhan warga
dalam menjalankan protokol kesehatan merupakan elemen penting dalam mencegah
tsunami Covid-19, seperti terjadi di India dan Brasil saat ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar