Rabu, 12 Mei 2021

 

”Quo Vadis” Independensi KPK

Kristianus Jimy Pratama ;  Peneliti Hukum; Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

KOMPAS, 11 Mei 2021

 

 

                                                           

Perjalanan panjang dalam pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang dikenal juga sebagai UU KPK hasil revisi telah menemui babak akhir. Babak akhir tersebut ditandai melalui ketok palu majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian formil untuk seluruhnya dan mengabulkan permohonan pengujian materiil untuk sebagian.

 

Dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, majelis hakim MK menyatakan bahwa KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan mana pun, tetapi tergolong dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Memahami hal tersebut sejenak membuat saya menghela napas dalam.

 

Saya kembali mencoba untuk mengingat betapa masifnya aksi penolakan berbagai kalangan menuntut RUU KPK tidak disahkan dalam tempo yang amat singkat. Bahkan, kalangan mahasiswa terbilang vokal pada aksi penolakan tersebut.

 

Berkenaan dengan dua fenomena tersebut, tibalah saya mengikhtiarkan diri untuk menyelami sebuah analogi kritis-korelatif antara independensi mahasiswa dan independensi KPK pasca-Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019. Mari kita memulai analogi tersebut dengan membedah kebebasan yang dimiliki oleh keduanya.

 

Seorang mahasiswa dapat secara bebas mengemukakan pendapat ataupun aspirasinya, baik pada forum akademik maupun dalam organisasi kemahasiswaan. Bahkan, tidak jarang mahasiswa dapat mengemukakan kritik terhadap suatu kebijakan yang diterapkan oleh perguruan tinggi ataupun pemerintah. Meskipun demikian, kebebasan mahasiswa tersebut juga terikat pada sebuah kode etik mahasiswa untuk dapat menjaga martabat dan nama baik almamaternya. Jadi, kode etik mahasiswa menjadi salah satu batasan bagi mahasiswa dalam mengekspresikan diri dan pendapatnya.

 

Sementara di sisi lain, KPK yang digolongkan dalam rumpun kekuasaan eksekutif memiliki independensi dalam melakukan tindakan pro justisia, seperti tindakan penyadapan, penyidikan, penyitaan, hingga penggeledahan. Meskipun demikian, kebebasan KPK secara kelembagaan telah dibatasi oleh sebuah ”kode etik”, yaitu kedudukannya dalam rumpun kekuasaan eksekutif.

 

Disparitas

 

Apabila dianalogikan secara saksama, KPK dapat diposisikan sebagai seorang mahasiswa dalam organisasi mahasiswa yang berupaya untuk mengkritisi kebijakan organisasi mahasiswa lain dalam satu fakultas yang sama. Tentulah dapat mudah untuk dipahami, gejolak yang muncul dalam hubungan antara kedua organisasi mahasiswa tersebut akan menciptakan disparitas di antara keduanya.

 

Disparitas tersebutlah yang akan menjadi tantangan ataupun ujian besar terhadap independensi KPK dalam pengimplementasiannya. Selain itu, KPK juga akan menghadapi ujian independensinya dari seluruh lapisan masyarakat karena KPK tidak lagi menjadi lembaga negara yang memiliki kemandirian kedudukan yang penuh dalam perspektif ketatanegaraan.

 

KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif manakala melakukan tindakan pro justisia kepada rumpun kekuasaan lain akan menyimpangkan konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu. Bahwa suatu cabang kekuasaan tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan intervensi kepada cabang kekuasaan lain. Hal ini seperti halnya seorang mahasiswa dalam sebuah organisasi mahasiswa yang berbeda fakultas mencoba untuk mengkritisi kebijakan organisasi mahasiswa fakultas lain.

 

Tentulah perilaku mahasiswa dalam analogi tersebut menjadi tidak patut untuk melakukan sebuah intervensi. Pada akhirnya, saya menjumpai sebuah konklusi atas analogi tersebut melalui sebuah pertanyaan reflektif. Apakah KPK akan menjalani independensinya sebagai ”mahasiswa yang kritis” atau justru akan lebih terikat pada kode etiknya? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar