Kamis, 01 April 2021

 

Kelak Petani Bisa Produksi Urea

 Didiek Hadjar Goenadi ; Profesor (Riset) Bidang Kesuburan dan Biologi Tanah, PPBBI-RPN, Bogor

                                                        KOMPAS, 31 Maret 2021

 

 

                                                           

Kebutuhan pangan seiring peningkatan penduduk dunia tak lepas dari ketergantungan petani pada sarana produksi pertanian, seperti pupuk.

 

Situasi kian menyulitkan ketika distribusi pupuk tak dapat menjangkau ke pelbagai wilayah dan/atau harganya tak terjangkau akibat mahalnya biaya transpor. Produsen pupuk, khususnya nitrogen (N), seperti urea, juga dihadapkan pada masalah lingkungan, khususnya emisi gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer.

 

Dalam laporannya ke Komisi IV DPR, Januari 2021, Pupuk Indonesia menyatakan, untuk stok awal dan prognosis produksi pada 2021, volume pupuk di Pupuk Indonesia 15,47 juta ton. Total penyaluran 13,49 juta ton, terbagi atas pupuk subsidi 9,04 juta ton dan nonsubsidi 4,45 juta ton.

 

Untuk pupuk urea, stok awal dan perkiraan produksi  8,74 juta ton, sedangkan alokasi penyaluran 7,96 juta ton, yakni 4,16 juta ton pupuk subsidi dan 3,79 juta ton pupuk nonsubsidi.

 

Dengan dasar itu, tahun 2022 akan ada cadangan kelebihan pupuk urea sekitar 782.000 ton. Padahal, beberapa kalangan menilai, berdasarkan angka pengajuan pupuk oleh daerah, volume pupuk subsidi yang dibutuhkan petani adalah 23 juta ton lebih. Artinya, ada 7-8 juta ton tahun ini yang perlu dipasok oleh pengusaha pupuk swasta dalam skema harga pasar (nonsubsidi).

 

Tentu ini mengkhawatirkan sejumlah pihak, tidak saja petani sebagai produsen komoditas pangan, khususnya padi, tetapi juga pemerintah yang akan menuai berbagai kecaman akibat kurang tepat mengambil kebijakan. Petani pangan masih sangat bergantung pada pupuk subsidi karena harganya yang ”murah”. Loyalitas petani terhadap pupuk memang masih dikendalikan harga, dengan seringnya mereka ”membeli harga” daripada ”membeli mutu”.

 

Ini juga kelak yang perlu dicermati ketika subsidi pupuk dialihkan langsung kepada petani. Akankah petani membeli pupuk dengan harga ”lebih mahal” di pasar bebas dengan uang subsidi itu, ataukah akan digunakan untuk keperluan lain yang bukan pupuk atau membeli pupuk-pupuk mutu rendah, menjadi tanda tanya besar. Pada gilirannya akan mengancam produktivitas tanamannya.

 

Ditambah dengan masih belum tepatnya taksasi kebutuhan pupuk subsidi melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang sering membingungkan pihak BUMN pupuk dalam implementasinya.

 

Keberlanjutan pabrik

 

Tak dimungkiri, pabrik pupuk kimia berbahan baku fosil (gas alam) menuai banyak sorotan dalam hal keamanan operasinya terhadap lingkungan. Produksi urea berbahan baku gas alam dikaitkan dengan emisi GRK, seperti CO2 dan NOx.

 

Kalangan industri berpendapat, produksi pupuk urea secara neto tak menyebarkan CO2 ke atmosfer karena di tingkat petani CO2 yang dikeluarkan urea di lapangan akan ditangkap kembali (sekuestrasi) oleh tanaman yang dipupuk urea itu.

 

Akan tetapi, dalam percobaan laboratorium diketahui, produksi urea dengan teknologi saat ini bukanlah pengikat C dan pengikatan C oleh tanaman sifatnya juga sementara. Keduanya mengancam keberlanjutan usaha karena besarnya dampak negatif pada lingkungan. Para peneliti agronomi hanya fokus pada manfaat N bagi tanaman, lupa memperhatikan ke mana CO2 dari urea bermuara.

 

Sejauh ini industri pupuk urea telah berupaya mencari jalan keluar dengan menyediakan teknologi penangkap C dengan menciptakan kebutuhan pasar yang menyerap CO2 di dekat pabrik penghasil CO2. Kita perlu cermati apakah pabrik urea akan menerapkan teknologi bebas C saat pabrik amonia (NH3) tak lagi memakai bahan baku yang mengandung C.

 

Teknologi urea biru

 

Amonia merupakan bahan baku utama untuk pupuk kimia yang berasal dari minyak bumi, seperti urea. Dalam praktik produksinya, yang menggunakan proses Haber-Bosch yang sudah tua (sejak awal abad XX) menghasilkan emisi CO2 yang tinggi.

 

Secara total, sekitar 2 persen dari emisi CO2 dunia berasal dari kegiatan produksi amonia. Prosesnya mencampur gas N dengan gas hidrogen (H) yang kemudian diubah jadi amonia dengan cara pemanasan dan tekanan tinggi.

 

Penggunaan gas alam sebagai sumber gas H inilah yang menimbulkan emisi CO2 besar. Kondisi ini mendorong peneliti di dua perguruan tinggi terkemuka Belgia mengembangkan teknologi terobosan guna mendukung program pemerintah mewujudkan industri bebas CO2 pada 2050.

 

Annemie Bogaerts (Universitas Antwerp) dan Johan Martens (KU Leuven) tahun lalu mengumumkan, penggunaan reaktor plasma akan meniadakan kebutuhan suhu dan tekanan tinggi dalam pemisahan molekul N2 dalam produksi pupuk N bebas CO2. Reaktor ini dengan memanfaatkan tenaga matahari ataupun angin dapat menghasilkan muatan listrik dan suhu tinggi setara petir.

 

Justin G Driver dan koleganya dari Universitas Sheffield, Inggris, pada 2019 juga menyampaikan inovasi teknologi produksi pupuk N, termasuk urea dengan bahan baku air, N, dan CO2, yang disebut urea biru (blue urea). Gas H2 diperoleh dari kelebihan energi terbarukan untuk pembangkit elektrolitik, N2 diperoleh dari udara, dan CO2 diambil dari udara atau fasilitas yang menghasilkan CO2.

 

Teknologi ini dapat berhenti sampai produksi pupuk N cair yang dapat langsung diaplikasikan sehingga dapat menghilangkan biaya pengeringan dan pembutiran.

 

Berdasarkan kajian LCA, teknologi ini mampu menurunkan emisi hingga 17-21 persen dibandingkan dengan teknologi konvensional. Pupuk N, terutama urea, memiliki peran strategis di dalam mendukung program ketahanan pangan dan menurut data International Fertilizer Association (2018), lebih dari 70 persen pupuk yang dipakai di seluruh dunia adalah urea.

 

Terkait dengan keberlanjutan industri pupuk urea dan nasib para petani pada masa mendatang, beberapa langkah berikut perlu dipertimbangkan. Pertama, industri pupuk perlu segera mengkaji implementasi teknologi produksi pupuk N bebas atau minimal dalam emisi CO2. Kedua, pemerintah mendorong pelaksanaan riset untuk mengembangkan lebih maju teknologi produksi tersebut.

 

Ketiga, pengembangan teknologi ini perlu dikaitkan dengan program nasional implementasi energi baru dan terbarukan. Terakhir, pemerintah memberikan insentif menarik bagi pihak yang mengembangkan teknologi produksi pupuk N dengan bahan baku nonfosil dan mendorong pembangunan fasilitas produksi untuk petani di sentra produksi pertanian.

 

Dengan demikian, petani dapat menyediakan pupuk N-nya sendiri sesuai dengan waktu pemupukan dan terhindar dari hambatan transportasi yang mengancam produksinya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar