Kelak
Petani Bisa Produksi Urea Didiek Hadjar Goenadi ; Profesor (Riset) Bidang Kesuburan
dan Biologi Tanah, PPBBI-RPN, Bogor |
KOMPAS,
31 Maret
2021
Kebutuhan pangan seiring peningkatan
penduduk dunia tak lepas dari ketergantungan petani pada sarana produksi
pertanian, seperti pupuk. Situasi kian menyulitkan ketika distribusi
pupuk tak dapat menjangkau ke pelbagai wilayah dan/atau harganya tak
terjangkau akibat mahalnya biaya transpor. Produsen pupuk, khususnya nitrogen
(N), seperti urea, juga dihadapkan pada masalah lingkungan, khususnya emisi
gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer. Dalam laporannya ke Komisi IV DPR, Januari
2021, Pupuk Indonesia menyatakan, untuk stok awal dan prognosis produksi pada
2021, volume pupuk di Pupuk Indonesia 15,47 juta ton. Total penyaluran 13,49
juta ton, terbagi atas pupuk subsidi 9,04 juta ton dan nonsubsidi 4,45 juta
ton. Untuk pupuk urea, stok awal dan perkiraan
produksi 8,74 juta ton, sedangkan
alokasi penyaluran 7,96 juta ton, yakni 4,16 juta ton pupuk subsidi dan 3,79
juta ton pupuk nonsubsidi. Dengan dasar itu, tahun 2022 akan ada
cadangan kelebihan pupuk urea sekitar 782.000 ton. Padahal, beberapa kalangan
menilai, berdasarkan angka pengajuan pupuk oleh daerah, volume pupuk subsidi
yang dibutuhkan petani adalah 23 juta ton lebih. Artinya, ada 7-8 juta ton
tahun ini yang perlu dipasok oleh pengusaha pupuk swasta dalam skema harga
pasar (nonsubsidi). Tentu ini mengkhawatirkan sejumlah pihak,
tidak saja petani sebagai produsen komoditas pangan, khususnya padi, tetapi
juga pemerintah yang akan menuai berbagai kecaman akibat kurang tepat
mengambil kebijakan. Petani pangan masih sangat bergantung pada pupuk subsidi
karena harganya yang ”murah”. Loyalitas petani terhadap pupuk memang masih
dikendalikan harga, dengan seringnya mereka ”membeli harga” daripada ”membeli
mutu”. Ini juga kelak yang perlu dicermati ketika
subsidi pupuk dialihkan langsung kepada petani. Akankah petani membeli pupuk
dengan harga ”lebih mahal” di pasar bebas dengan uang subsidi itu, ataukah
akan digunakan untuk keperluan lain yang bukan pupuk atau membeli pupuk-pupuk
mutu rendah, menjadi tanda tanya besar. Pada gilirannya akan mengancam
produktivitas tanamannya. Ditambah dengan masih belum tepatnya
taksasi kebutuhan pupuk subsidi melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok
(RDKK) yang sering membingungkan pihak BUMN pupuk dalam implementasinya. Keberlanjutan
pabrik Tak dimungkiri, pabrik pupuk kimia berbahan
baku fosil (gas alam) menuai banyak sorotan dalam hal keamanan operasinya
terhadap lingkungan. Produksi urea berbahan baku gas alam dikaitkan dengan
emisi GRK, seperti CO2 dan NOx. Kalangan industri berpendapat, produksi
pupuk urea secara neto tak menyebarkan CO2 ke atmosfer karena di tingkat
petani CO2 yang dikeluarkan urea di lapangan akan ditangkap kembali
(sekuestrasi) oleh tanaman yang dipupuk urea itu. Akan tetapi, dalam percobaan laboratorium
diketahui, produksi urea dengan teknologi saat ini bukanlah pengikat C dan
pengikatan C oleh tanaman sifatnya juga sementara. Keduanya mengancam
keberlanjutan usaha karena besarnya dampak negatif pada lingkungan. Para
peneliti agronomi hanya fokus pada manfaat N bagi tanaman, lupa memperhatikan
ke mana CO2 dari urea bermuara. Sejauh ini industri pupuk urea telah
berupaya mencari jalan keluar dengan menyediakan teknologi penangkap C dengan
menciptakan kebutuhan pasar yang menyerap CO2 di dekat pabrik penghasil CO2.
Kita perlu cermati apakah pabrik urea akan menerapkan teknologi bebas C saat
pabrik amonia (NH3) tak lagi memakai bahan baku yang mengandung C. Teknologi
urea biru Amonia merupakan bahan baku utama untuk
pupuk kimia yang berasal dari minyak bumi, seperti urea. Dalam praktik
produksinya, yang menggunakan proses Haber-Bosch yang sudah tua (sejak awal
abad XX) menghasilkan emisi CO2 yang tinggi. Secara total, sekitar 2 persen dari emisi
CO2 dunia berasal dari kegiatan produksi amonia. Prosesnya mencampur gas N
dengan gas hidrogen (H) yang kemudian diubah jadi amonia dengan cara
pemanasan dan tekanan tinggi. Penggunaan gas alam sebagai sumber gas H
inilah yang menimbulkan emisi CO2 besar. Kondisi ini mendorong peneliti di
dua perguruan tinggi terkemuka Belgia mengembangkan teknologi terobosan guna
mendukung program pemerintah mewujudkan industri bebas CO2 pada 2050. Annemie Bogaerts (Universitas Antwerp) dan
Johan Martens (KU Leuven) tahun lalu mengumumkan, penggunaan reaktor plasma
akan meniadakan kebutuhan suhu dan tekanan tinggi dalam pemisahan molekul N2
dalam produksi pupuk N bebas CO2. Reaktor ini dengan memanfaatkan tenaga
matahari ataupun angin dapat menghasilkan muatan listrik dan suhu tinggi
setara petir. Justin G Driver dan koleganya dari
Universitas Sheffield, Inggris, pada 2019 juga menyampaikan inovasi teknologi
produksi pupuk N, termasuk urea dengan bahan baku air, N, dan CO2, yang
disebut urea biru (blue urea). Gas H2 diperoleh dari kelebihan energi
terbarukan untuk pembangkit elektrolitik, N2 diperoleh dari udara, dan CO2
diambil dari udara atau fasilitas yang menghasilkan CO2. Teknologi ini dapat berhenti sampai
produksi pupuk N cair yang dapat langsung diaplikasikan sehingga dapat
menghilangkan biaya pengeringan dan pembutiran. Berdasarkan kajian LCA, teknologi ini mampu
menurunkan emisi hingga 17-21 persen dibandingkan dengan teknologi
konvensional. Pupuk N, terutama urea, memiliki peran strategis di dalam
mendukung program ketahanan pangan dan menurut data International Fertilizer
Association (2018), lebih dari 70 persen pupuk yang dipakai di seluruh dunia
adalah urea. Terkait dengan keberlanjutan industri pupuk
urea dan nasib para petani pada masa mendatang, beberapa langkah berikut
perlu dipertimbangkan. Pertama, industri pupuk perlu segera mengkaji
implementasi teknologi produksi pupuk N bebas atau minimal dalam emisi CO2.
Kedua, pemerintah mendorong pelaksanaan riset untuk mengembangkan lebih maju
teknologi produksi tersebut. Ketiga, pengembangan teknologi ini perlu
dikaitkan dengan program nasional implementasi energi baru dan terbarukan. Terakhir,
pemerintah memberikan insentif menarik bagi pihak yang mengembangkan
teknologi produksi pupuk N dengan bahan baku nonfosil dan mendorong
pembangunan fasilitas produksi untuk petani di sentra produksi pertanian. Dengan demikian, petani dapat menyediakan
pupuk N-nya sendiri sesuai dengan waktu pemupukan dan terhindar dari hambatan
transportasi yang mengancam produksinya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar