Pelayanan
Penyakit Jantung Anak Sukman Tulus Putra ; Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia (Perkani) |
KOMPAS,
06 April
2021
Penyakit jantung utama pada anak adalah
penyakit jantung bawaan, di samping penyakit jantung didapat, seperti
penyakit jantung rematik, kardiomiopati, dan penyakit infeksi jantung
lainnya. Masalah jantung pada anak berbeda dengan
orang dewasa yang sebagian besar didominasi penyakit jantung koroner sebagai
penyebab kematian tertinggi saat ini. Jarang ditemukan penyakit jantung
bawaan (PJB) pada orang dewasa karena umumnya sudah ditangani pada masa anak
atau remaja. Setiap tahun di seluruh dunia terdapat
sekitar 1,3 juta bayi baru lahir penyandang PJB, dari yang ringan, berat,
sampai kompleks. Sekitar 50.000 lahir di Indonesia. Angka ini sesuai angka
kejadian PJB, yakni satu dari 100 bayi yang lahir hidup menderita PJB di
negara berkembang dan negara maju. Angka kelahiran di Indonesia lima juta
setiap tahun sehingga terdapat sekitar 50.000 bayi baru penyandang PJB.
Jumlah ini tak sedikit dan perlu perhatian tenaga dokter dan paramedis serta
pemerintah. WHO melaporkan, kejadian PJB sekitar 25 persen dari semua penyakit
bawaan yang ditemukan pada bayi baru lahir dan berkontribusi signifikan pada
tingginya angka kematian bayi. Namun, sampai kini hanya sebagian kecil,
sekitar 30 persen, yang memperoleh pelayanan memadai, baik tindakan
intervensi maupun operasi, karena keterbatasan tenaga dokter ahli,
fasilitas/peralatan, keterbatasan akses layanan karena geografis dan
pembiayaan. Pelayanan anak penyandang penyakit jantung
di Indonesia saat ini merupakan bagian dari pelayanan kesehatan anak yang
dilaksanakan di rumah sakit-rumah sakit (RS) rujukan tingkat lanjut/tersier
yang umumnya dalam format unit pelayanan jantung terpadu (PJT) dan bergabung
dengan pelayanan pasien jantung dewasa. Itu karena hampir semua peralatan dan
fasilitas yang digunakan sama. Pengenalan
dini PJB Dalam dua dekade terakhir pelayanan jantung
anak di Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan dan perkembangan seiring
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Sebagian PJB pada bayi
dan anak sudah dapat dikoreksi atau diobati dengan tindakan intervensi, tanpa
harus dioperasi. Tindakan ini sudah cukup banyak dilakukan
di RS pendidikan dokter spesialis, RS jantung, dan beberapa RS rujukan di
tingkat provinsi, dengan telah tersedianya peralatan diagnostik dan tenaga
dokter ahli dalam bidang jantung anak (konsultan). Kemajuan perkembangan pelayanan jantung
anak secara spektakuler di Indonesia dimulai pada awal 2000-an dengan
dimulainya era pengobatan tanpa operasi (nonbedah)—dikenal sebagai teknik
penutupan kebocoran jantung, seperti VSD, ASD, dan PDA, dengan memasang alat
melalui prosedur kateterisasi atau transcatheter closure. Teknik ini telah
dilakukan dengan hasil baik terhadap ribuan bayi dan anak. Kemajuan juga banyak dicapai dalam teknik
bedah jantung anak untuk kelainan yang sulit dan kompleks, dengan hasil yang
baik. Namun, masih ada beberapa provinsi, seperti Papua, Maluku, NTT,
sebagian besar provinsi di Kalimantan, sebagian di Sumatera, dan Sulawesi
yang tak mempunyai dokter ahli jantung anak dan ahli bedah jantung anak. Keadaan ini menyebabkan pengenalan dini dan
penanganan PJB bayi di fasilitas layanan primer atau sekunder di tingkat
kabupaten dan provinsi belum memadai sehingga tidak jarang terjadi
keterlambatan rujukan untuk memperoleh penanganan anak dengan PJB. Pengenalan dini gejala dan tanda PJB pada
bayi dan anak tidak saja terletak pada peran dokter dan tenaga kesehatan,
tetapi juga orangtua. Bayi yang terlihat biru (sianosis) dan agak sesak serta
gagal tumbuh patut dicurigai menderita PJB sehingga butuh konsultasi secepatnya.
Namun, kelainan ringan sering tak menunjukkan gejala klinis yang jelas,
bahkan tanpa gejala sama sekali. Tak jarang gejala dan tanda kelainan
ditemukan saat pemeriksaan kesehatan rutin seperti pada waktu imunisasi. PJB
yang terdeteksi lebih awal umumnya dapat ditangani optimal, termasuk bila
perlu rujukan ke RS rujukan untuk tindakan koreksi pada waktu yang tepat. Kurang
tenaga dokter ahli SDM yang kompeten dalam pelayanan jantung
anak mutlak diperlukan. Tim pelayanan minimal harus terdiri dari dokter ahli
jantung anak yang dikenal dengan kualifikasi konsultan, bedah jantung anak,
anestesiologi, ahli dalam pelayanan intensif, perawat, dan teknisi. Pengembangan dan penambahan tenaga ahli ini
jadi tantangan bagi organisasi profesi terkait dan pemerintah. Peran sektor
swasta juga dibutuhkan. Saat ini hanya ada 60 ahli jantung anak di
Indonesia dengan jumlah penduduk 270 juta. AS dengan penduduk sekitar 320
juta mempunyai sekitar 1.600 ahli jantung anak. Menurut American Heart
Association, rasio ideal adalah satu dokter ahli jantung anak untuk 500.000
penduduk. Jadi, Indonesia seharusnya memiliki 540 ahli jantung anak, dan kini
baru terpenuhi sekitar 12 persen. Jumlah ahli bedah jantung anak dan
intensivist anak juga masih jauh dari angka ideal. Dibukanya pendidikan
formal subspesialis jantung anak di beberapa universitas, seperti UI, Unpad,
UGM, dan Unair, merupakan peluang untuk pengembangan SDM ini. Namun, ini tak cukup. Penambahan kapasitas
penerimaan peserta pendidikan subspesialis jantung anak dan penambahan
institusi pendidikan serta kerja sama dengan beberapa negara ASEAN sangat
diperlukan. Kekurangan tenaga ahli penyakit jantung anak jelas akan membuka
celah masuknya tenaga dokter dari negara ASEAN yang sangat dimungkinkan di
era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sekarang ini. Apa yang harus dilakukan? Perlu percepatan
dan terobosan baru dalam upaya pemenuhan kebutuhan dokter ahli jantung anak,
bedah jantung anak, intensivist, perawat, dan anestesiologi anak di
pusat-pusat pelayanan/RS di seluruh Tanah Air. Perhatian khusus pemerintah
pusat, pemda, dan organisasi profesi sangat diperlukan terkait kesempatan
belajar para dokter spesialis, pembiayaan, dan penyediaan peralatan dan
fasilitas di RS. Peningkatan sistem rujukan dan pembiayaan
di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini juga perlu pembenahan serius.
Anak-anak penyandang penyakit jantung di daerah terpencil dan jauh harus
punya hak dan kesempatan sama dengan anak-anak di kota-kota besar.
Keterbatasan akses dan geografis harus bisa diatasi, misalnya dengan
kunjungan dokter ahli secara reguler ke pusat pelayanan kesehatan tertentu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar