Mewaspadai
Efek Samping Transformasi Digital Rahma Sugihartati ; Dosen
Isu-isu Masyarakat Digital Program Studi S-3 Ilmu Sosial FISIP Universitas
Airlangga |
KOMPAS, 22 April 2021
Inisiatif untuk mendorong pengembangan dan
perluasan ekonomi dan keuangan digital terus digalakkan. Upaya
mengintegrasikan ekosistem ekonomi dan keuangan digital perlu dilakukan untuk
mengakselerasi transformasi digital dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang tak
kunjung usai, pengembangan ekonomi digital tak lagi terelakkan. Ketika
transaksi daring makin meluas, mau tidak mau harus disediakan berbagai
fasilitas yang mempermudah masyarakat melakukan transaksi ekonomi secara
online. Dalam setahun terakhir, bisa lihat ada
banyak kebijakan dikeluarkan Bank Indonesia untuk mendukung percepatan
pemulihan ekonomi nasional. Digitalisasi sistem pembayaran adalah salah satu
prasyarat yang tidak bisa ditunda. Selain QR Code Indonesian Standard (QRIS),
kebijakan lain yang dikeluarkan BI adalah mempersiapkan fast payment 24/7
pembayaran ritel menggantikan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).
SKNBI ini berguna untuk mempercepat penyelesaian transaksi, mendorong digitalisasi
perbankan melalui standardisasi Open Application Programming Interfaces (Open
API), dan mendorong elektronifikasi transaksi keuangan daerah. Kapitalisme
informasional Upaya yang dilakukan BI untuk mempercepat
proses transformasi digital sudah tentu bukan tanpa alasan. Disadari bahwa di
era masyarakat post-industrial, perubahan sosial yang berlangsung bukan lagi
sekadar dipicu oleh kekuatan modal kapitalisme, melainkan juga ditandai oleh
revolusi teknologi informasi yang kemudian melahirkan kapitalisme informasi
dan masyarakat informasi. Revolusi informasi bukan saja mengakibatkan
terjadinya perubahan yang dahsyat di bidang pengelolaan dan peran informasi,
melainkan juga melahirkan restrukturisasi fundamental terhadap sistem
kapitalis. Munculnya kapitalisme informasional dan
masyarakat informasi menyebabkan sumber utama produksi terletak pada
kapasitas dalam penggunaan dan pengoptimalan faktor produksi lebih
berdasarkan informasi dan pengetahuan daripada berdasarkan pada kekuatan
modal. Dalam masyarakat informasional, Castells
(2000) menyatakan ada dua unsur penting yang menandai, yakni perluasan global
operasi bisnis melalui pembangunan hubungan transnasional yang kompleks dan
peleburan jaringan ekonomi dengan jaringan informasi. Dalam analisisnya, Castells (2000: 28-76)
mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat informasional dengan mengacu
pada lima karakteristik dasar teknologi informasi, yaitu pertama, informasi
adalah bahan baku ekonomi. Kedua, teknologi informasi memiliki efek luas pada
masyarakat dan individu. Ketiga, teknologi informasi memberikan kemampuan
pengolahan informasi yang memungkinkan logika jaringan diterapkan pada
organisasi dan proses ekonomi. Keempat, teknologi informasi dan logik
jaringan memungkinkan fleksibilitas yang jauh lebih besar, dengan konsekuensi
bahwa proses-proses, organisasi dan lembaga dengan mudah dapat diubah dan
bentuk-bentuk baru terus-menerus diciptakan. Kelima, teknologi individu telah
mengerucut menjadi sebuah sistem yang terpadu. Ketika teknologi informasi makin berkembang
dan lahir masyarakat informasional, maka dunia boleh dikata telah memasuki
era masa tanpa waktu, di mana masyarakat menjadi didominasi oleh proses
daripada lokasi fisik. Dalam kaitan
ini, kita memasuki era ”masa tanpa waktu”. Di belahan dunia mana pun manusia berada,
di sana yang namanya informasi segera bisa tersedia dan diakses masyarakat.
Tidak ada regulasi dan kerangkeng besi yang bisa menahan laju dan
perkembangan informasi. Karena dengan dukungan komputer dan internet, maka
orang-orang dengan bebas berselancar di dunia tanpa batas mencari informasi
apa pun dan kapan pun—hingga akhirnya membeli berbagai komoditi melalui
transaksi online. Efek
samping Dalam rangka mengantisipasi perkembangan
kapitalisme informasional, pemerintah telah menetapkan tiga strategi lintas
sektor, yaitu mempercepat digitalisasi di sektor bisnis dan industri,
menciptakan berbagai macam peluang dalam pengembangan dan konektivitas
digital yang dapat dimanfaatkan dengan setara oleh semua pihak, serta
mendorong koordinasi lintas sektor dan lintas lembaga pemerintahan, baik di
pusat maupun daerah. Perekonomian digital dan digitalisasi
keuangan di satu sisi sudah seharusnya dikembangkan agar Indonesia tidak
tertinggal dari perkembangan perekonomian global. Namun, di sisi yang lain,
perkembangan perekonomian digital ini bukan berarti tanpa risiko. Pertama, perkembangan masyarakat dan
perekonomian digital niscaya akan memengaruhi terjadinya transformasi kerja
dan lapangan pekerjaan. Bukan tidak mungkin terjadi, perkembangan kapitalisme
informasional akan melahirkan pengangguran baru karena kualifikasi keahlian
mereka yang tidak mendukung. Berbeda dengan era masyarakat industri di
mana posisi pekerja masih dibutuhkan, di era masyarakat informasi, hanya
orang-orang yang menguasai teknologi informasi, umumnya memiliki posisi
bargaining lebih dan dihargai kompetensinya. Kedua, perkembangan kapitalisme
informasional besar kemungkinan akan memunculkan polarisasi sosial dan
eksklusi sosial. Proses globalisasi, perkembangan jaringan bisnis, dan
individualisasi pekerjaan di satu sisi mempermudah komunikasi dan kontrol
dalam skala global. Namun, di saat yang sama, berbagai kemajuan itu juga
memperlemah organisasi sosial dan lembaga yang mewakili atau melindungi hak
pekerja. Tuntutan dan prasyarat bahwa pekerja di era
informasi harus memiliki keahlian dan pendidikan, dalam banyak kasus akan
mendevaluasi peran manusia. Dalam berbagai kasus, perkembangan kapitalisme
informasional perlu diantisipasi dengan baik. Jangan sampai terjadi, upaya
pemerintah untuk mendorong akselerasi perkembangan perekonomian digital
justru menjadi lubang jebakan yang menjerumuskan masyarakat ke dalam pusaran
ketidakberdayaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar