Teroris
Milenial dan Narasi Tandingan Bagong Suyanto ; Dekan FISIP Universitas Airlangga |
KOMPAS,
05 April
2021
Aksi terorisme yang terjadi di berbagai
daerah, ada indikasi makin nekat dan tidak rasional. Aksi teror kini makin
sering dilakukan oleh anak-anak muda. Mereka tampaknya adalah teroris
milenial yang bergerak sendiri-sendiri (lone wolf) –bukan bagian dari
jaringan besar yang benar-benar terorganisasi. Hingga awal April 2021, pasca-bom bunuh
diri di Gereja Katedral Makassar. paling-tidak sudah 23 orang terduga teroris
yang ditangkap. Mereka ditangkap di sejumlah daerah, seperti Tulungagung,
Nganjuk, Bima (NTB), Bandung dan Jakarta. Alih-alih surut, tindak penangkapan
yang dilakukan aparat justru menyulut munculnya aksi balas dendam. Salah satu aksi teroris yang terbaru
terjadi di Jakarta. Seorang perempuan muda, Zakiah Aini (26 tahun) bertindak
sendirian menyerang Markas Besar Polri. Anak muda pelaku teror yang terkesan
masih amatir ini, akhirnya tewas karena tindakan tegas aparat. Pelaku aksi
bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar juga berusia muda. Mereka pasangan
pengantin muda kelahiran 1995. Di Indonesia, tak sekali-dua kali pelaku
teror bom bunuh diri adalah anak-anak dalam rentang usia 17-26 tahun. Pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriot
Jakarta, Juli 2009, yakni Dani Dwi Permana, masih berusia 18 tahun. Teroris
yang menyerang pos lalu-lintas Cikokol, Tangerang, Sultan Azianzah, berusia
22 tahun. Pada 2019, Rabbial Muslim, seorang anak muda berusia 24 tahun,
dilaporkan menerobos masuk Mapolrestabes Medan dan melakukan aksi bom bunuh
diri. Berbeda dengan aksi terorisme yang
direncanakan matang, seperti Bom Bali, dan aksi-aksi teror sebelumnya, aksi
pelaku teror yang berasal dari generasi milenial ini kelihatan tanpa
perencanaan. Target
utama Survei terbaru BNPT (2020) menyebutkan,
sekitar 80 persen anak muda rentan terpapar radikalisme, karena tidak
berpikir kritis. Pelibatan anak-anak milenial dalam aksi terorisme sebetulnya
bukan hal yang terlalu mengejutkan. Dalam sepuluh tahun terakhir, generasi
milenial memang menjadi salah satu target penting yang disasar berbagai
kelompok radikal untuk dipengaruhi dan direkrut sebagai simpatisan gerakan
radikal di berbagai belahan dunia. Mereka biasanya direkrut melalui berbagai
cara. Di era digital, metode yang dikembangkan kelompok garis keras untuk
menyebarkan paham radikalisme tak lagi mengandalkan tatap muka, melainkan
memanfaatkan teknologi informasi dan internet. Perkembangan penggunaan internet yang makin
masif serta aplikasi media sosial dan jejaring sosial, sering kali
dimanfaatkan kelompok garis keras untuk menyebarkan ideologi radikal dan
mempropagandakan doktrin-doktrin, menjajaki dan menjaring kader-kader
potensial. Bahkan juga untuk menyuarakan ajakan melakukan jihad menyerang
kelompok lain yang dinilai telah banyak menyengsarakan umat Islam. Greenberg (2016) juga mengonfirmasi,
kelompok teroris sering kali menggunakan media sosial yang sedang digandrungi
masyarakat luas untuk menebar ideologinya. Sasaran yang sering terjaring oleh
kelompok teroris di internet adalah anak-anak muda yang aktif menghabiskan
waktu luang di media sosial. Kelompok teroris dapat memanipulasi
pemikiran kelompok milenial ini untuk mengembangkan pikiran-pikiran radikal
dan berbuat hal-hal di luar nalar, melalui internet. Anak muda yang kesepian
dan mengalami situasi anomie, jadi kelompok paling rawan terpengaruh paham
radikalisme. Benigni, Joseph, & Carley (2017) juga
mencatat, kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) kerap menggunakan
media sosial sebagai media untuk menyebarkan ideologinya dan mencari
dukungan. Di Twitter, retweet propaganda digunakan
sebagai cara utama NIIS mengumpulkan dukungan dan melakukan penyerangan
secara lone wolf. Anak-anak muda yang merupakan pengguna terbesar media
sosial seperti Twitter merupakan target dari komunitas ekstremis online
(OEC). Martin Rudner (2017) memakai istilah
“electronic jihad” ketika menganalisis cara Al Qaeda menggunakan internet
sebagai salah satu instrumen untuk menggaet simpati dan dukungan anak-anak
muda yang terbiasa menghabiskan waktu berselancar di dunia maya. Anak-anak muda yang ketika mereka pulang
sekolah atau kuliah, tidak lagi bertemu dengan orang lain, dan beristirahat
di kamarnya, bukan berarti aman dari pengaruh paham radikalisme. Dalam banyak
kasus, ketika mereka beristirahat di kamarnya dan kemudian membuka ponsel
atau laptop-nya, justru pada saat itu godaan, tawaran dan pengaruh paham
radikalisme mulai masuk. Di era digital, konten-kontan radikalisme
tersebar melalui media sosial, dan dunia maya adalah salah satu ancaman yang
kerap dihadapi anak muda. Dengan bujuk rayu dan pengaruh paham radikalisme
yang disusupkan lewat berbagai situs, anak-anak milenial sering tanpa sadar
terpengaruh. Penggunaan internet sebagai alat propaganda
terbukti menimbulkan kebencian antar agama, menyebabkan sebagian pengguna
internet menjadi rasis, islamofobia, dan memercayai adanya berbagai
konspirasi (Levin, 2015). Kesuksesan ekstremis Salafis merupakan salah satu
bukti internet dapat menjadi alat untuk radikalisasi dan menjaring remaja
untuk melakukan kejahatan. Narasi
tandingan Memang, tidak semua anak muda yang terpapar
paham radikal melalui dunia maya akan terkontaminasi dan kemudian berubah
menjadi militan dan radikal. Namun, bermula dari coba-coba, dan didorong rasa
ingin tahu, sebagian dari mereka terkadang tanpa disadari berubah jadi makin
radikal. Lebih dari sekadar konsumen pasif konten
dari berbagai akun media sosial dan internet yang menawarkan paham
radikalisme, sebagian anak milenial ternyata merupakan konsumen aktif dan
bahkan produsen konten-konten radikal yang mereka resirkulasi ke jaringan
sosial yang dimiliki. Untuk mencegah atau mengeliminasi kemungkinan
anak muda terpapar paham radikalisme dan kemudian menjadi militan, harus
diakui bukan hal yang mudah. Seperti dikatakan Al-Zewairi dan Naymat (2017),
dalam beberapa tahun terakhir kelompok teroris dan pemberontak sudah mulai
aktif menggunakan berbagai teknologi baru sebagai media untuk menyebarkan
ideologinya secara luas. Pengalaman telah membuktikan bahwa cara kerja
rekrutmen simpatisan teroris secara daring inilah yang membuat upaya
pencegahannya menjadi tidak mudah. Oleh karena itu, ke depan salah satu agenda
penting ialah bagaimana cara mengembangkan counter-radicalization di dunia
maya untuk mengeliminasi pengaruh paham radikalisme di kalangan anak muda.
Radikalisme tidaklah mungkin dijinakkan hanya dengan mengandalkan pendekatan
yang sifatnya represif. Untuk mencegah agar anak muda tidak
terjerumus pada sikap yang keliru, terutama agar tidak menjadi teroris
milenial, maka mau tidak mau harus dipikirkan bagaimana membuat narasi-narasi
tandingan atau kontra narasi yang mampu melawan godaan paham radikalisme. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar