Minggu, 11 April 2021

 

Disrupsi Partai Politik

 Budiman Tanuredjo ; Wartawan Kompas

                                                         KOMPAS, 10 April 2021

 

 

                                                           

Halaman muka laman Change.org ditulis: kemenangan. Petisi yang diinisiasi Haninda Cholanda, warga Solo, Jawa Tengah, yang didukung 33.712 pendukung itu menang. Haninda menulis, ”Sebagai bentuk penghargaan kepada Didi Kempot, saya mohon kepada PT KAI, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan Pemerintah Kota Surakarta agar membuatkan memorabilia Didi Kempot di area stasiun.” Petisi Haninda didukung dan didengar. Didi Kempot meninggal pada 5 Mei 2020.

 

Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Didiek Hartantyo menjelaskan, secara prinsip, KAI menyetujui rencana pembangunan patung penyanyi campursari Didi Prasetyo di Stasiun Solo Balapan (Bisnis.com, 4 Juli 2020).

 

Perkembangan teknologi digital membuat lanskap politik berubah. Di Jakarta, Gubernur Jakarta Anies Baswedan meluncurkan super-apps Jaki (Jakarta Kini) pada Januari 2020. Salah satu fitur Jaki adalah menampung keluhan warga soal masalah di Jakarta dan direspons sistem Citizen Relations Management (CRM) yang memastikan keluhan tertangani. Selama periode Januari-Maret 2021 terdapat 6.114 pengaduan dari pelapor berbeda melalui Jaki. Sebanyak 98,41 persen diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga hari.

 

”Alhamdulillah efektif,” kata Anies Baswedan ketika saya tanya soal efektivitas sistem Jaki.

 

Dunia berubah. Selama ini aspirasi publik dikelola partai politik. Namun, revolusi digital seperti membajak peran partai politik dan wakil rakyat. Warga negara bisa langsung menyampaikan aspirasi melalui media sosial atau melalui laman seperti Change.org dan Jaki di Jakarta untuk penyampaian aspirasi.

 

Ada tren perubahan dari institusional jadi personal. Institusi diimbangi kekuatan personal. Pertarungan gagasan, adu narasi, serta pro dan kontra kebijakan publik terjadi di ruang digital. Posisi DPR sebagai wakil rakyat seperti sepi tersapu revolusi senyap Covid-19. Jarang terdengar suara kritis DPR terhadap berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat. Rencana pemerintah memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur sepi dari kritik politisi DPR.

 

”Saya sendiri tidak yakin itu bisa terjadi tahun 2024,” ujar seorang pengurus partai politik ketika saya tanya soal peluang keberhasilan pemindahan ibu kota selesai pada 2024. RUU sebagai dasar memindahkan ibu kota juga belum disampaikan ke DPR.

 

Sepinya DPR membuat kepercayaan publik pada DPR juga menurun. Survei Charta Politika, 20-24 Maret 2021, menunjukkan kepercayaan publik pada DPR berada pada angka 61 persen. Kepercayaan tertinggi ada pada TNI (84,4 persen) dan Presiden (83 persen). Kondisi serupa dialami ”senator” atau DPD. Lembaga ini juga terasa sepi.

 

Litbang harian Kompas, 1 Februari 2021, menulis, DPR masih menjadi lembaga paling banyak disorot publik secara negatif. Hanya 50,4 persen responden yang menyatakan puas dengan kinerja lembaga legislatif. Angka ini relatif menurun dibandingkan dengan kondisi pada Oktober 2020.

 

Partai politik yang menjadi pilar demokrasi seperti lenyap terkena badai revolusi senyap pandemi Covid-19. Tak terlalu tampak aktivitas politik elite yang menonjol, selain konflik. Terasa ada kesenjangan antara yang dilakukan DPR dan yang diharapkan publik. Revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang gencar disuarakan publik tidak masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.

 

Lebih dari 20 tahun lalu, Neil Postman, ahli media dari Amerika Serikat, menulis buku bertajuk Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in The Age of Show Business (1986). Postman menyebut, kemunculan televisi mengubah cara manusia mencerna isu politik.

 

Angga Indraswara dalam artikelnya di Kompas, 25 Maret 2019, menulis, peringatan Postman kian relevan di era media sosial. Di media sosial, emosi terungkap lebih ekspresif dan tersebar dengan pesat. Emosi jadi semakin dominan dan membentuk preferensi pilihan.

 

Pilihan politik lalu tak lagi dibentuk atas dasar deliberasi kritis, tetapi atas dasar rasa suka dan tidak suka. Demokrasi akhirnya tak lebih dari tirani preferensi mayoritas. Perpecahan semakin tak terelakkan. Padahal, setelah pemilu, hidup bersama masih akan terus berlangsung.

 

Ruang digital telah menjadi kekuatan penekan baru. Partai politik yang secara teoritik punya fungsi menyalurkan aspirasi masyarakat, mengagregasikan kepentingan publik, lebih banyak dikendalikan para oligark.

 

Tren ini harus diantisipasi. Partai politik dan DPR perlu merespons tren demokratisasi di era digital. Anggota DPR tak bisa lagi mengatasnamakan rakyat tanpa melakukan komunikasi dengan rakyat. DPR tak bisa sepenuhnya mengklaim sebagai wakil rakyat ketika proses komunikasi dan pertanggungjawaban kepada rakyat belum sepenuhnya dijalankan.

 

Dengan bantuan teknologi digital, wakil rakyat mudah berkomunikasi dengan konstituen di daerah pemilihannya. Sebaliknya, konstituensi bisa memantau kerja wakilnya di DPR.

 

Aplikasi DPR Now adalah langkah maju. Namun, aplikasi itu terasa terlalu formal. Lebih ideal jika anggota DPR selalu terkoneksi dengan konsituennya. Aspirasi konstituen itu bisa langsung ditangkap dan disalurkan oleh 575 anggota DPR dan 136 senator (anggota DPD). Keterhubungan dengan pemilih adalah kunci. Pemilih bisa disapa setiap waktu, ketika voting akan dilakukan, ketika pendapat disampaikan.

 

Dengan teknologi, aspirasi pemilih lebih terukur dan jelas. Ketika terjadi perbedaan aspirasi dan perdebatan cara pandang, politik kantor di DPR/MPR itu menjadi tempat musyawarah-mufakat. Namun, musyawarah-mufakat dengan mempertimbangkan aspirasi pemillih bukan semata-mata musyawarah-mufakat para pemilik partai politik.

 

Jangan sampai revolusi digital mendekonstruksi habis-habisan lembaga perwakilan sehingga lembaga itu menjadi kehilangan peran substansial sebagai penyalur aspirasi rakyat. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar