Disrupsi
Partai Politik Budiman Tanuredjo ; Wartawan Kompas |
KOMPAS,
10 April
2021
Halaman muka laman Change.org ditulis:
kemenangan. Petisi yang diinisiasi Haninda Cholanda, warga Solo, Jawa Tengah,
yang didukung 33.712 pendukung itu menang. Haninda menulis, ”Sebagai bentuk
penghargaan kepada Didi Kempot, saya mohon kepada PT KAI, Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah, dan Pemerintah Kota Surakarta agar membuatkan memorabilia Didi
Kempot di area stasiun.” Petisi Haninda didukung dan didengar. Didi Kempot
meninggal pada 5 Mei 2020. Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia
Didiek Hartantyo menjelaskan, secara prinsip, KAI menyetujui rencana
pembangunan patung penyanyi campursari Didi Prasetyo di Stasiun Solo Balapan
(Bisnis.com, 4 Juli 2020). Perkembangan teknologi digital membuat
lanskap politik berubah. Di Jakarta, Gubernur Jakarta Anies Baswedan
meluncurkan super-apps Jaki (Jakarta Kini) pada Januari 2020. Salah satu
fitur Jaki adalah menampung keluhan warga soal masalah di Jakarta dan
direspons sistem Citizen Relations Management (CRM) yang memastikan keluhan
tertangani. Selama periode Januari-Maret 2021 terdapat 6.114 pengaduan dari
pelapor berbeda melalui Jaki. Sebanyak 98,41 persen diselesaikan dalam waktu
kurang dari tiga hari. ”Alhamdulillah efektif,” kata Anies
Baswedan ketika saya tanya soal efektivitas sistem Jaki. Dunia berubah. Selama ini aspirasi publik
dikelola partai politik. Namun, revolusi digital seperti membajak peran partai
politik dan wakil rakyat. Warga negara bisa langsung menyampaikan aspirasi
melalui media sosial atau melalui laman seperti Change.org dan Jaki di
Jakarta untuk penyampaian aspirasi. Ada tren perubahan dari institusional jadi
personal. Institusi diimbangi kekuatan personal. Pertarungan gagasan, adu
narasi, serta pro dan kontra kebijakan publik terjadi di ruang digital.
Posisi DPR sebagai wakil rakyat seperti sepi tersapu revolusi senyap
Covid-19. Jarang terdengar suara kritis DPR terhadap berbagai kebijakan yang
tidak pro rakyat. Rencana pemerintah memindahkan ibu kota dari Jakarta ke
Kalimantan Timur sepi dari kritik politisi DPR. ”Saya sendiri tidak yakin itu bisa terjadi
tahun 2024,” ujar seorang pengurus partai politik ketika saya tanya soal
peluang keberhasilan pemindahan ibu kota selesai pada 2024. RUU sebagai dasar
memindahkan ibu kota juga belum disampaikan ke DPR. Sepinya DPR membuat kepercayaan publik pada
DPR juga menurun. Survei Charta Politika, 20-24 Maret 2021, menunjukkan
kepercayaan publik pada DPR berada pada angka 61 persen. Kepercayaan
tertinggi ada pada TNI (84,4 persen) dan Presiden (83 persen). Kondisi serupa
dialami ”senator” atau DPD. Lembaga ini juga terasa sepi. Litbang harian Kompas, 1 Februari 2021,
menulis, DPR masih menjadi lembaga paling banyak disorot publik secara
negatif. Hanya 50,4 persen responden yang menyatakan puas dengan kinerja
lembaga legislatif. Angka ini relatif menurun dibandingkan dengan kondisi
pada Oktober 2020. Partai politik yang menjadi pilar demokrasi
seperti lenyap terkena badai revolusi senyap pandemi Covid-19. Tak terlalu
tampak aktivitas politik elite yang menonjol, selain konflik. Terasa ada
kesenjangan antara yang dilakukan DPR dan yang diharapkan publik. Revisi UU
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang gencar disuarakan publik tidak
masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Lebih dari 20 tahun lalu, Neil Postman,
ahli media dari Amerika Serikat, menulis buku bertajuk Amusing Ourselves to
Death: Public Discourse in The Age of Show Business (1986). Postman menyebut,
kemunculan televisi mengubah cara manusia mencerna isu politik. Angga Indraswara dalam artikelnya di
Kompas, 25 Maret 2019, menulis, peringatan Postman kian relevan di era media
sosial. Di media sosial, emosi terungkap lebih ekspresif dan tersebar dengan
pesat. Emosi jadi semakin dominan dan membentuk preferensi pilihan. Pilihan politik lalu tak lagi dibentuk atas
dasar deliberasi kritis, tetapi atas dasar rasa suka dan tidak suka.
Demokrasi akhirnya tak lebih dari tirani preferensi mayoritas. Perpecahan
semakin tak terelakkan. Padahal, setelah pemilu, hidup bersama masih akan
terus berlangsung. Ruang digital telah menjadi kekuatan
penekan baru. Partai politik yang secara teoritik punya fungsi menyalurkan
aspirasi masyarakat, mengagregasikan kepentingan publik, lebih banyak
dikendalikan para oligark. Tren ini harus diantisipasi. Partai politik
dan DPR perlu merespons tren demokratisasi di era digital. Anggota DPR tak
bisa lagi mengatasnamakan rakyat tanpa melakukan komunikasi dengan rakyat.
DPR tak bisa sepenuhnya mengklaim sebagai wakil rakyat ketika proses
komunikasi dan pertanggungjawaban kepada rakyat belum sepenuhnya dijalankan. Dengan bantuan teknologi digital, wakil
rakyat mudah berkomunikasi dengan konstituen di daerah pemilihannya.
Sebaliknya, konstituensi bisa memantau kerja wakilnya di DPR. Aplikasi DPR Now adalah langkah maju.
Namun, aplikasi itu terasa terlalu formal. Lebih ideal jika anggota DPR
selalu terkoneksi dengan konsituennya. Aspirasi konstituen itu bisa langsung
ditangkap dan disalurkan oleh 575 anggota DPR dan 136 senator (anggota DPD).
Keterhubungan dengan pemilih adalah kunci. Pemilih bisa disapa setiap waktu,
ketika voting akan dilakukan, ketika pendapat disampaikan. Dengan teknologi, aspirasi pemilih lebih
terukur dan jelas. Ketika terjadi perbedaan aspirasi dan perdebatan cara
pandang, politik kantor di DPR/MPR itu menjadi tempat musyawarah-mufakat.
Namun, musyawarah-mufakat dengan mempertimbangkan aspirasi pemillih bukan
semata-mata musyawarah-mufakat para pemilik partai politik. Jangan sampai revolusi digital
mendekonstruksi habis-habisan lembaga perwakilan sehingga lembaga itu menjadi
kehilangan peran substansial sebagai penyalur aspirasi rakyat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar