Sabtu, 10 April 2021

 

Melembagakan Analisis Ekonomi Hukum

 J Soedradjad Djiwandono ; Guru Besar Ekonomi Emeritus FEB UI; Visiting Professor of IPE, RSIS, Nanyang Technological University, Singapura

                                                         KOMPAS, 10 April 2021

 

 

                                                           

Tanggal 25 Maret 2021 saya menyampaikan pandangan dalam suatu webinar Institusionalisasi Economic Analysis of Law untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat dalam panel bersama dua ahli hukum, yaitu Profesor Satya Arinanto (Staf Khusus Wapres RI dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan Profesor Indriyanto Seno Adji (dosen Program Pascasarjana FH UI). Webinar diorganisasikan Pusat Kajian Kebijakan Ekonomi dan Hukum Universitas Pelita Harapan.

 

Saya memberi judul presentasi saya ”Institusionalisasi Analisa Ekonomi Hukum: Pendapat Seorang Ekonom Makro”. Saya ingin menunjukkan benang merah kaitan aspek-aspek terkait dalam perumusan dan implementasi kebijakan ekonomi-pembangunan nasional, terutama yang menyangkut bidang perdagangan, keuangan-moneter.

 

Analisis ekonomi hukum

 

Economic analysis of law (EAL) atau analisis ekonomi hukum dapat digambarkan sebagai penerapan prinsip-prinsip ekonomi sebagai pilihan yang rasional untuk menganalisis persoalan hukum.

 

Ilmu ekonomi mengajarkan cara untuk menentukan pilihan mana yang optimal dari berbagai alternatif, yaitu berangkat dari mengetahui apa yang menjadi sasaran yang akan dicapai, kemampuan dan batasan untuk mencapai sasaran, dari data dan informasi relevan yang terkumpul, untuk menjatuhkan pilihannya.

 

Cara di atas menurut analisis ekonomi akan menghasilkan pilihan yang optimal. Cara penentuan pilihan demikian disebut sebagai memaksimalkan hasil atau output dengan memperhatikan kendala yang harus dipikul. Penerapannya menjadi memaksimalkan produk dengan biaya tertentu atau meminimalkan biaya untuk mencapai produk tertentu.

 

Sebagaimana diketahui, ekonomi dirumuskan untuk diterapkan dalam kegiatan memproduksikan barang atau jasa, dan mengonsumsi barang atau jasa, guna mencapai sasaran yang diinginkan. Sasaran itu mengoptimalkan kegiatan produksi untuk keuntungan dan dalam konsumsi untuk memuaskan selera konsumsi. Namun, akhirnya kegiatan ini dilaksanakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, selain penegakan keadilan. Ekonomi juga menyangkut pemerataan untuk keadilan.

 

Dalam pendekatan ekonomi, istilah lembaga dan melembagakan bukan dalam arti atau tak hanya menyangkut arti fisiknya, seperti organisasi A atau B. Pandangan ekonomi lebih tertuju pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta akibat, disertai sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi.

 

Dengan kata lain, lembaga atau institusi diartikan sebagai aturan permainan, rules of the game (Douglas North, penerima Nobel Ekonomi 1933).

 

Institusionalisasi dengan demikian menyangkut langkah untuk mewujudkan agar aturan main ini menjadi tata cara yang diterima semua yang terkait, governance atau good practice. Menjadi pedoman berperilaku dalam lembaga (korporasi, organisasi sosial, yayasan, pemerintahan, dan sebagainya).

 

Dalam kenyataannya, governance, good governance, dan good practice bisa berasal dari kebiasaan, budaya, nilai-nilai luhur yang diterima dan dipertahankan untuk dipraktikkan.

 

EAL untuk kesejahteraan

 

Prof Soemitro Djojohadikusumo dalam paparan pada acara penganugerahan Piagam Hatta kepada dirinya dan Prof Widjojo Nitisastro yang berjudul ”Tanggung Jawab Profesional Seorang Ekonom” (1985), mengungkapkan: ”Saudara- saudara yang duduk dalam pemerintahan jangan sekali-kali beranggapan, apalagi merasa berhak menuntut (take for granted) bahwa nasihat ataupun konsep yang sudah Anda pikirkan secara akademis, teknokratik, dan disampaikan akan diterima pemerintah sebagaimana Anda meyakininya.”

 

Nasihat ditujukan kepada kami-kami para ekonom, anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), termasuk yang duduk sebagai menteri di kabinet atau anggota Tim Penasihat Ekonomi Presiden Soeharto saat itu. Mereka dikenal sebagai teknokrat dalam arti sebenarnya, sebagai action intellectuals, akademisi, patriot yang berkecimpung dalam mesin pemerintahan secara profesional.

 

Juga dikenal dengan nama yang kurang tepat dan berbau sinisme, yakni Mafia Berkeley. Istilah ini diperkenalkan oleh penulis majalah Rampart, David Ransom, dalam tulisannya berjudul sama (Oktober 1970).

 

Menurut saya, nasihat Prof Soemitro sederhana tetapi sangat berharga, yaitu agar ekonom yang dipercaya menduduki jabatan sebagai penentu kebijakan jangan merasa hebat dan arogan. Ekonom sejati diminta berperilaku dengan mawas diri, rendah hati, humble, realistis, mungkin pragmatis, atau saya lebih suka, eklektik.

 

Dalam uraiannya, Prof Soemitro menunjukkan bahwa semua nasihat dan konsep yang diterima pemerintah akan menjadi dasar atau isi dari kebijakan. Langkah menjadikan konsep berdasarkan analisis akademis menjadi suatu kebijakan itu adalah keputusan politik. Untuk melaksanakannya, harus dirumuskan dalam bentuk aturan perundang-undangan agar punya kekuatan hukum untuk dilaksanakan penyelenggara negara, efektif mencapai sasaran yang dituju.

 

Jadi konkretnya, untuk menjadi kebijakan resmi yang akan dilaksanakan, kebijakan yang didasarkan atas analisis ekonomi itu dirumuskan menjadi aturan perundang-undangan, suatu produk hukum. Dari proses ini tampak jelas kaitan ekonomi dan hukumnya sendiri.

 

Apa pun sifat kebijakan, di bidang atau sektor apa saja, untuk pelaksanaannya agar berkekuatan hukum harus dijadikan atau dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijakan liberalisasi, dulu dikenal sebagai paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, atau di era sekarang dalam bentuk omnibus law, semua adalah aturan perundang-undangan.

 

Agak aneh bukan, kebijakan untuk mengurangi aturan pun diimplementasikan dengan atau dalam bentuk aturan perundang-undangan. Dalam aturan yang baru, mengganti dengan menyederhanakan dan menyinkronkan yang terlalu ruwet sebelumnya, akan efektif untuk mencapai sasaran yang diinginkan dalam pelaksanaannya.

 

Suatu contoh

 

Di masa sebelum lahirnya WTO yang mengatur hubungan perdagangan antarbangsa, dan negara, salah satu tugas yang saya jalankan sebagai Menteri Muda Perdagangan adalah menyusun dan memimpin delegasi, mewakili Indonesia dalam perundingan regional dan multilateral di tingkat menteri anggota kabinet dalam kerangka GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) pada Putaran Uruguay (Uruguay Round).

 

Saya menekankan kepada anggota tim tentang sifat kerja yang multidisiplin atau anggotanya berasal dari berbagai disiplin atau berperilaku multidisiplin. Yang dilakukan menyangkut kegiatan penelitian, mengingat dokumen dalam permasalahan ini sangat banyak, dari laporan, buku tarif, analisis ekonomi perdagangan, dan sebagainya. Kalau tak biasa melakukan penelitian, orang akan mundur karena banyaknya dokumen harus dipelajari.

 

Mereka diharapkan menguasai permasalahannya dalam bidang yang ditangani. Dalam melakukan pembahasan untuk menghasilkan kesepakatan, diperlukan kemampuan tak hanya berkomunikasi, tetapi juga berdiplomasi. Akhirnya, sasaran yang ingin dicapai adalah suatu kesamaan atau kesesuaian pendapat yang dituangkan dalam dokumen yang merupakan produk hukum, persetujuan atau treaty. Jadi jelas, pendekatannya multidisiplin dan sasarannya menghasilkan dokumen yang berkekuatan hukum.

 

Dua disiplin yang sangat penting di sini, ekonomi dan hukum, dipertemukan di dalam EAL. Penerapan EAL akan memperjelas dan mempertajam perumusan kebijakan publik dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelembagaannya akan lebih mengefektifkan pelaksanaan kebijakan publik dalam mencapai sasaran yang ingin dicapai Sebaliknya, pengabaian EAL akan mengurangi efektivitas pelaksanaan kebijakan publik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar