Rabu, 07 April 2021

 

Anak Muda yang Gelisah dalam Spiritual

 Hasanudin Abdurakhman  ;  Cendekiawan, penulis

                                                      DETIKNEWS,05 April 2021

 

 

                                                           

Ada proses pendahuluan sebelum seseorang memutuskan untuk menjadi teroris. Prosesnya bisa panjang, tapi bisa pula sangat singkat, tergantung pada berbagai faktor yang rumit. Proses ini harus dipahami setiap pemangku kepentingan dalam pemberantasan terorisme.

 

Saya adalah seorang remaja ketika saya pindah ke Yogyakarta untuk kuliah di tahun 1987. Selama sekolah di SMA di Pontianak saya bergaul dengan teman-teman yang nakal, yang suka kebut-kebutan dan minum minuman keras. Saya sendiri tidak melakukan hal-hal itu; saya juga rajin salat. Tapi saya suka berteman dengan mereka, karena menyenangkan. Pindah ke Yogyakarta bagi saya adalah sebuah "hijrah", perpindahan fisik sekaligus spiritual.

 

Selama bergaul dengan teman-teman nakal tadi saya merasakan perasaan tidak tenang. Di satu sisi bergaul sebagai remaja itu menyenangkan, tapi di sisi lain ada rasa bersalah. Saya merasa bahwa saya hanya menuruti hawa nafsu saja. Saat itu saya merasa bahwa kalau saya terus tinggal di Pontianak, saya akan ikut nakal, dan masa depan saya makin suram. Tentu saja kualitas saya sebagai orang beriman tidak akan meningkat. Saya berharap untuk bisa keluar dari lingkungan itu.

 

Harapan itu terpenuhi; saya diterima masuk ke UGM. Saya hijrah ke Yogyakarta. Berbekal semangat perubahan tadi, di Yogyakarta saya mulai aktif mengikuti berbagai jenis pengajian, dan berdiskusi soal agama dengan banyak orang. Salah satu yang saya ingat adalah diskusi dalam kelompok kecil dengan kakak kelas saya.

 

Dia seseorang yang saya anggap taat beragama, dan punya ilmu agama. Kami berdiskusi, lebih tepatnya dia memberi wejangan, di kamar kos salah satu teman kuliah saya, dihadiri beberapa orang. Saya ingat betul, ia menjelaskan soal orang-orang yang menerima sebagian ajaran Islam dan menolak sebagian yang lain. Ia membacakan dan menjelaskan ayat yang menyatakan bahwa sikap seperti itu adalah sikap kafir yang sesungguhnya.

 

Penjelasan itu memukul batin saya. Tadinya saya masih memaafkan diri saya ketika berbuat dosa. Pikir saya, toh saya bisa minta ampun pada Allah. Tapi penjelasan teman saya tadi menegaskan bahwa ini bukan soal perhitungan pahala dan dosa. Ini adalah soal kekafiran. Bersikap seperti itu adalah sikap kafir, dan terhadap orang kafir tidak ada lagi perhitungan pahala dan dosa.

 

Sejak saat itu saya membulatkan tekad untuk menerima Islam secara utuh, kafah, sami'na wa'tha'na ("kami dengar dan kami patuh"). Setiap kali saya mendengar atau membaca ayat atau hadis, saya bertekad melaksanakannya dengan patuh tanpa banyak tanya. Saya mulai berubah banyak dalam sikap keseharian dan interaksi dengan orang-orang di sekitar. Saya jadi sangat taat untuk tidak makan-minum sambil berdiri, tidak mau bersalaman dengan perempuan, memakai celana yang menutup mata kaki, dan sebagainya.

 

Saya tidak lama mengaji dengan teman saya tadi. Selanjutnya saya mengaji di banyak tempat, ada yang rutin, ada yang hanya sesekali. Tapi pada intinya, ada keinginan yang sangat kuat untuk menerapkan ajaran Islam secara utuh. Saya merasa mendapat pencerahan. Ada banyak ayat yang selama ini ternyata tidak saya sadari maknanya. Saya baru tahu bahwa saya harus bersikap begini dan begitu.

 

Pikiran saya selanjutnya berkembang tidak hanya soal melakukan yang diperintah dan menjauhi larangan. Ada soal yang lebih besar lagi, yaitu soal jihad. Di sebuah kajian dalam kelompok kecil, mentor saya berulang-ulang menjelaskan celaan Allah kepada orang-orang yang tidak berjihad. Jihad adalah kewajiban setiap muslim; tidak berjihad sama saja dengan menolak sebagian perintah Allah, dan itu berarti kafir yang sesungguhnya.

 

Ada yang menafsirkan bahwa jihad itu tak harus berperang. Tapi mentor saya menegaskan bahwa jihad itu pada akhirnya harus berupa peperangan. Apapun yang kita lakukan sekarang hanyalah persiapan saja. Kenapa? "Semakin giat kita berdakwah, akan makin keras permusuhan orang-orang kafir. Karena itu kita harus bersiap untuk berjihad dalam pengertian berbenturan secara fisik dengan orang-orang kafir," katanya menjelaskan.

 

Situasi dunia saat itu menguatkan penjelasan tadi. Afganistan masih diduduki oleh Uni Sovyet. Di Palestina, PLO terus melawan Israel, kemudian Hamas terbentuk. Lalu yang paling mengerikan adalah kekejian orang-orang Serbia di Bosnia. Sementara itu di dalam negeri, negara dikuasi oleh rezim Soeharto yang menindas umat Islam.

 

Dalam persepsi saya, Soeharto adalah orang yang secara formal beragama Islam, tapi sejatinya kafir, dan dia bersekutu dengan para intelektual Kristen. Sangat nyata bagi saya bahwa ada permusuhan orang-orang kafir terhadap umat Islam. Saya harus bersiap untuk bertarung secara fisik melawan mereka.

 

Saya memang tidak pernah sampai melakukan tindak kekerasan apapun. Tapi niat untuk terjun dalam konflik fisik, melawan orang-orang kafir, dan mati di situ sungguh menggelora. Itu terjadi selama 2-3 tahun pertama sejak saya pindah ke Yogyakarta.

 

Yang membuat saya tidak terseret lebih jauh, kemudian menjalani proses moderasi pikiran, adalah karena saya masih terbuka bergaul dengan berbagai kalangan, termasuk kalangan sosialis. Dari pergaulan itu saya mendapat berbagai input yang berbeda, dan yang terpenting saya mau mempertimbangkannya, lalu mengolahnya menjadi gagasan mandiri yang saya anut.

 

Proses yang saya lalui adalah salah satu pola yang merupakan titik awal perekrutan teroris. Polanya adalah, adanya anak muda yang gelisah secara spiritual, dan tidak punya banyak ilmu agama. Belajar agama membukakan tabir, mengantarkan dia pada hal-hal yang selama ini tidak ia kenal, lalu ia merasa seperti terlahir kembali. Ia memandang dunia dengan cara yang berbeda, lalu berproses menjadi lebih radikal, melakukan tindakan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar