Bencana
Alam dan Kerentanan Sistemik Kita Philips Vermonte ; Direktur Eksekutif CSIS; Convenor
Disaster Management Research Unit |
KOMPAS,
09 April
2021
Bencana, alam dan non-alam, datang silih
berganti menimpa kita. Hujan lebat akibat angin siklon kategori 2 Seroja yang
menerjang Nusa Tenggara Timur telah menimbulkan tanah longsor, banjir
bandang, dan lahar dingin yang menyapu beberapa kabupaten; meminta ratusan
korban jiwa, menghancurkan bangunan, termasuk jembatan dan pelabuhan. Siklon Seroja menyebabkan bencana beragam
jenis yang terjadi sekaligus (multiple disasters). Pada konteks yang lebih
luas, siklon Seroja menambah jumlah bencana yang terjadi sekaligus di
Indonesia, bersama pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya tertangani. Bencana harus diperlakukan sebagai isu
strategis nasional. Negara, meliputi pemerintah pusat hingga daerah, tidak
cukup lagi hanya meresponsnya secara reaktif ketika bencana terjadi.
Masyarakat dan pihak swasta tak bisa lagi sekadar membantu secara karitatif
melalui sumbangan dan donasi untuk saudara kita yang tertimpa bencana. Kita harus bersungguh-sungguh mempersiapkan
diri menghadapi bencana karena negeri subur makmur ini pada saat yang sama
juga sangat rawan mengalami segala jenis bencana dengan magnitudo dari yang
sedang hingga megabencana, seperti tsunami pada 2004. Membangun kembali daerah yang tertimpa
bencana adalah pekerjaan panjang dan melelahkan. Hingga hari ini, masih
banyak pengungsi korban bencana yang belum bisa kembali ke daerah asalnya,
sementara pengungsi dari bencana yang lebih belakangan terjadi terus
bertambah. Setiap kali terjadi bencana, daerah yang
terkena seperti menekan tombol reset, harus memulai kembali pembangunan dari
awal. Yang sebelumnya telah dibangun bersusah payah, material dan
nonmaterial, boleh jadi musnah tak bersisa. Kerentanan
sistemik Dalam konteks pemikiran strategis, dikenal
istilah kerentanan sistemik (systemic vulnerability). Richard Doner, Bryan
Ritchie, dan Dan Slater dalam studi mereka ”Systemic Vulnerability and the
Origins of Developmental States: Northeast and Southeast Asia in Comparative
Perspective” (2005) menemukan bahwa negara-negara yang memiliki kerentanan
sistemik yang nyata umumnya menjadi negara yang maju karena bisa fokus
memobilisasi sumber daya untuk mengatasinya. Sebagai contoh, Taiwan akan selalu merasa
terancam secara sistemik oleh China di seberang. Korea Selatan dalam
sejarahnya selalu merasa terancam oleh aneksasi Jepang dan sekarang
tetangganya, Korea Utara, yang memiliki nuklir dengan daya musnah yang pasti. Taiwan dan Korea Selatan mengatasi
kerentanan sistem mereka dengan pelembagaan negara, pembentukan birokrasi
yang koheren, serta organisasi masyarakat dan sektor swasta yang kuat. Di Indonesia, bencana adalah kerentanan
sistemik kita. Karena itu, bencana harus dilihat, diperlakukan, dan dihadapi
secara sistemik. Sungguhlah mengherankan apabila bencana bertubi-tubi yang
kita alami di beragam wilayah, dari ujung barat hingga timur, tidak
melahirkan daya upaya yang keras untuk mempersiapkan diri. Mari tengok data kebencanaan di Indonesia.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperlihatkan bahwa pada
2019 saja di Indonesia terjadi 3.814 bencana dengan rincian: banjir 784
kejadian, puting beliung (1.387), tanah longsor (719), kebakaran hutan dan
lahan (746), kekeringan (123), gelombang pasang dan abrasi (18), gempa bumi
(30), dan letusan gunung api (7). Bisa disimpulkan bahwa 99 persen bencana
yang terjadi di Indonesia sepanjang 2019 adalah bencana karena pengaruh cuaca
dan aliran permukaan. Sementara 1 persen bencana geologi. Pola sama terlihat
konsisten pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019 itu tercatat enam juta lebih
orang mengungsi karena tertimpa bencana, sebagian besar karena bencana
hidrometeorologi. Sementara, walaupun hanya 1 persen, bencana geologi umumnya
menimbulkan kerusakan bangunan yang lebih besar jumlahnya. Sepanjang 2019,
kerugian dari banjir besar yang terjadi di Bengkulu, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, dan Sentani di Papua mencapai kurang lebih Rp 6 triliun. Sebagian bencana bisa ”diprediksi”. Pola
bencana hidrometeorologi memperlihatkan bahwa Januari-April dan
September-Desember kejadian bencana didominasi oleh bencana hidrometeorologi
basah (hujan, tanah longsor, dan puting beliung), sementara pertengahan tahun
banyak terjadi bencana hidrometeorologi kering (kekeringan dan kebakaran
hutan dan lahan). Indonesia tidak kekurangan ilmuwan
kebencanaan dalam berbagai aspek, ahli gunung api, tsunami, gempa bumi,
geologi, klimatologi, epidemiologi, dan lain-lain. Mereka adalah ilmuwan yang
well-published, kepakarannya dihargai dunia internasional. Sama seperti
bencana non-alam pandemi Covid-19 yang memberi pelajaran bahwa ilmuwan
(scientist) atau epidemiolog adalah yang seharusnya paling awal diminta
masukannya, bencana alam pun demikian. Karena itu, memastikan dunia ilmu
pengetahuan terhubung dengan pembuatan kebijakan adalah sebuah keharusan.
Para ilmuwan bisa memandu kita memahami pola bencana dan pada akhirnya
merumuskan kebijakan yang optimal. Persiapan
lebih baik Hasil studi CSIS melalui diskusi grup
terfokus dengan beragam pemangku kepentingan terkait bencana, mulai dari
lembaga negara, sektor swasta, hingga masyarakat sipil/akademisi, yang
dilakukan setahun penuh pada 2019, menyimpulkan bahwa untuk mempersiapkan
diri menghadapi bencana dengan lebih baik, beberapa hal harus tersedia. Pertama dan utama, komitmen politik dan
kepemimpinan yang solid dari tingkat pusat hingga daerah. Komitmen politik
diperlukan untuk mewujudkan fokus, prioritas, anggaran, penyelesaian kendala
birokrasi, penegakan undang-undang terkait kebencananan, kerusakan
lingkungan, dan tentu korupsi. Kedua, pelembagaan tata kelola kebencanaan
secara terus-menerus. Secara institusi, harus ada lembaga yang ditugasi untuk
memikirkan, merespons, dan memitigasi bencana. BNPB adalah institusi yang
harus diperkuat kewenangannya, dengan payung hukum yang kuat, anggaran yang
cukup, dan sumber daya yang baik. Di beberapa negara, seperti China, mitigasi
bencana dikelola oleh kementerian khusus. Di Amerika Serikat (AS), Federal
Emergency Management Agency (FEMA) memiliki karyawan tetap sejumlah 5.000
orang, ditambah 23.000 karyawan temporer yang sangat terlatih dan siap
dikirim ke segala penjuru AS apabila terjadi bencana. Investasi teknologi dan sumber daya manusia
di bidang penanganan bencana sangat diperlukan. Apabila Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bisa mendeteksi kemungkinan bencana
hidrologi melalui peralatan dan sistem teknologi, pekerjaan rumah selanjutnya
adalah menghubungkan deteksi dini itu kepada institusi terkait di tingkat
pusat dan daerah yang mampu merespons secara cepat dan atau telah melakukan
persiapan, yang semestinya jauh sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, teknologi kebencanaan
sangat perlu dikembangkan, tetapi mobilisasi sumber daya dan birokrasi yang
kuat juga sangat diperlukan. Ketiga, literasi kebencanaan. Masyarakat
yang tangguh menghadapi bencana harus dipersiapkan. Akan tetapi, literasi
kebencanaan justru sangat diperlukan di antara pembuat kebijakan di pihak
eksekutif, pejabat pemerintah di tingkat pusat hingga daerah, dan politisi
serta pembuat undang-undang di pihak legislatif. Pasalnya, kelompok inilah
yang akan merumuskan kebijakan, membuat prioritas dalam perencanaan, dan
menyiapkan anggaran. Jika tingkat literasi kebencanaan tinggi di
antara mereka, pembuatan kebijakan di pusat dan daerah akan terbuka terhadap
riset, transparan, serta merumuskan prioritas dan menyiapkan wilayah juga
warganya dengan sebaik-baiknya apabila terjadi bencana. Di samping itu, pemerintah lokal seharusnya
yang paling siap dan cukup kuat untuk menjadi first-responder apabila terjadi
bencana di wilayahnya. Pada beberapa bencana yang terjadi, pemerintah lokal
justru menjadi yang pertama kolaps, indikasi awal bahwa di sisi kebijakan
literasi kebencanaan di kalangan birokrasi masih jauh dari memadai. Jika tiga prasyarat ini tersedia, bencana
sebagai kerentanan sistemik akan bisa bertransformasi menjadi peluang
kemajuan, dengan membentuk organisasi dan tata kelola yang efisien; birokasi
yang koheren; dan masyarakat, swasta, dan negara yang bahu-membahu.
Kerentanan sistemik harus menjadi pendorong, bukan penghalang, kemajuan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar