Mengapa
Daniel Dhakidae Penting bagi Generasi Intelektual Hari Ini? Wildan Sena Utama ; Pengajar di Departemen Sejarah UGM |
TIRTO,
8 April
2021
Pertemuan pertama saya dengan Daniel
Dhakidae bermula dari lembaran majalah Prisma. Saya lupa persisnya edisi
Prisma tahun berapa, yang pasti akhir 1970-an. Di tahun 2008 itu, saya,
mahasiswa Prodi Ilmu Sejarah UGM semester tiga, baru mulai serius membaca dan
belajar menulis akademik. Proses penempaan intelektual tersebut dibuka
melalui “tamasya intelektual” dari tulisan para cendekiawan dan akademisi
ternama Indonesia di Prisma. Ketika mengambil Prisma secara acak dari
rak Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM atau Perpustakaan St. Ignatius di
Kota Baru, Yogyakarta, ritual tamasya itu selalu diawali dengan membuka
daftar isi. Saya mencari nama-nama besar sejarawan Indonesia yang tulisannya
wara-wiri di Prisma seperti Sartono Kartodirdjo, Kuntowijoyo, Taufik
Abdullah, dan, yang paling sering, Ong Hok Ham. Dari Prisma pula saya
berkenalan dengan tulisan para ilmuwan sosial seperti Dawam Rahardjo, Ignas
Kleden, Vedi Hadiz, dan Arief Budiman. Bila menemukan tulisan-tulisan mereka, saya
tidak lekas membuka halaman yang dituju. Saya biasanya membaca pengantar redaksi
terlebih dahulu. Pengantar redaksi Prisma selalu spesial. Jika pengantar
redaksi sebuah jurnal atau majalah ilmiah kebanyakan hanya merangkum atau
menjelaskan daftar tulisan, pengantar redaksi Prisma sejak tahun 1970-an
tidak demikian. Pengantar Prisma selalu membedah topik
edisi secara serius dan mendalam, menekankan penting dan relevannya topik
tersebut bagi situasi sosial-politik dan budaya Indonesia ketika itu. Dari
pengantar redaksi Prisma, saya berkenalan dengan para redaktur yang
bergantian menulis antara lain Ismid Hadad, Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin,
Masmimar Mangiang, dan Daniel Dhakidae. Nama yang terakhir ini kemudian begitu
akrab bagi saya, apalagi sejak Dhakidae menerbitkan kembali Prisma di tahun
2009, sepuluh tahun sejak jurnal ini berhenti terbit. Ketika Prisma terbit
kembali, saya mulai mencari-cari tulisan-tulisannya yang berceceran di
mana-mana dan mengoleksi buku-buku yang ditulis atau diberi pengantar
olehnya. Tulisan Dhakidae begitu memukau dan khas.
Ia mampu menguliti persoalan sosial-politik secara konseptual sekaligus
multidimensional; menganalisisnya dalam kerangka filosofis, historis,
sosiologis, dan kultural. Ia juga acap kali menempatkan istilah atau
konsep-konsep dari pemikir ternama dunia, termasuk Indonesia, dari berbagai
bahasa—Latin, Belanda, Perancis, Jerman, dan bahasa daerah. Barangkali perjalanan intelektual Dhakidae
yang “non-linier” berpengaruh besar dalam pembentukan kualitas
kecendekiawanan macam itu. Selama ia hidup, Dhakidae tidak pernah berhenti
terpaku pada satu titik. Pendidikannya ditempuh dalam bidang filsafat, ilmu
administrasi negara, politik komparatif, media, dan studi Asia Tenggara sejak
di Flores sampai ke Ithaca. Perjalanan kariernya pun mengawinkan dunia
akademik, jurnalisme, dan aktivisme. Jalan hidup yang dipilih Dhakidae inilah
yang memupuknya menjadi intelektual par excellence. Kritisisme
dan Media Massa Dhakidae identik dengan Prisma. Ia terlibat
membesarkan jurnal ilmiah populer yang menjadi pegangan utama mahasiswa,
akademisi, dan intelektual Indonesia di zaman Orde Baru tersebut. Ia
bergabung sebagai redaktur jurnal ilmiah ini sejak 1976, satu tahun setelah
lulus dari Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM. Ketika rezim Soeharto
membatasi pikiran kritis, Prisma menjadi outlet bagi para intelektual
menumpahkan kegelisahan mereka atas problem sosial-politik terkini secara
kritis sekaligus ilmiah. Tapi kritisisme Prisma terhadap rezim Orde
Baru tidaklah frontal dan vulgar. Mereka melawan wacana pengetahuan yang
dijejalkan penguasa untuk mengontrol masyarakat salah satunya dengan membedah
secara ilmiah pengetahuan yang dilarang beredar oleh rezim. Itulah yang mendasari mengapa Prisma di
tahun 1982, ketika itu Dhakidae menjabat Ketua Dewan Redaksi, mengeluarkan
edisi yang berisi ulasan biografis tokoh-tokoh komunis seperti D.N. Aidit dan
Amir Sjarifoeddin. Di tahun itu, Prisma juga memberikan kesempatan bagi tokoh
Lekra, organisasi kebudayaan kiri yang dilarang, seperti Hersri Setiawan dan
Joebar Ajoeb untuk menulis biografi komponis patriotik Cornel Simandjuntak
dan pemimpin Darul Islam S.M. Kartosoewirjo. Keberanian ini berbuntut pemanggilan kepada
beberapa awak Prisma dan Dhakidae sebagai Ketua Dewan Redaksi adalah salah
seorang yang diperiksa. Prisma terancam ditutup karena dianggap
menyebarluaskan paham komunisme di masyarakat. Ini bukan pertama kalinya Prisma dianggap
“menganggu” rust en orde ala Orde Baru. Penerbitan edisi “Manusia dalam
Kemelut Sejarah” tahun 1977 yang oplahnya mencapai 25.000 eksemplar membuat
Prisma dipantau radar kekuasaan. Edisi tersebut mengangkat kembali sosok
Sukarno ke publik ketika memori tentang bapak bangsa tersebut dihapuskan
secara bertahap melalui proyek-proyek desukarnoisasi Orde Baru. Sikap kritis Dhakidae di Prisma dan LP3ES
berlanjut ketika ia meneruskan studi di Cornell University di bawah supervisi
indonesianis ternama, Benedict Anderson. Dhakidae lulus dari Departemen Ilmu
Pemerintahan Cornell di tahun 1991 dengan disertasi berjudul “The State, the
Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism: Political Economy of
Indonesian News Industry.” Disertasi itu mengulas bagaimana Orde Baru
mengubah pers Indonesia dari medium wacana politik ke industri komersial. Kualitas kajian tersebut membuatnya
diganjar Lauriston Sharp Prize. Penghargaan ini diberikan untuk disertasi
terbaik dalam studi Asia Tenggara yang dicetuskan oleh George Kahin guna
menghormati antropolog pendiri Southeast Asian Program di Cornell, Lauriston
Sharp. Pulang dari Cornell, Dhakidae bergabung ke
harian Kompas pada 1994 sebagai Kepala Litbang. Masuknya Dhakidae ke salah
satu media terbesar ini menarik karena disertasinya berbicara tentang
transformasi komersialisasi pers. Mungkin inilah panggilan intelektualnya
untuk membentuk pers Indonesia berkualitas, tidak sekadar mengejar kapital
dan menghilangkan esensi untuk mencerahkan publik. Intelektual
dan Kekuasaan Riwayat kerja intelektual Dhakidae banyak
dihabiskan untuk membedah hubungan cendekiawan dan kekuasaan. Tentu ini tidak
bisa dilepaskan dari pertumbuhan intelektualnya dalam suasana represif Orde
Baru dan pilihan jalannya sebagai intelektual. Kegelisahannya kepada jalinan
relasi antara intelektual, modal, kekuasaan, dan kebudayaan berbuah karya
monumental Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003). Buku tersebut adalah karya sejarah
pemikiran, magnum opus Dhakidae yang wajib dibuka untuk melihat bagaimana
kekuasaan membentuk lanskap kecendekiawanan di masa Orde Baru. Dasar
argumentasi Dhakidae, yang masih relevan dengan dunia intelektual hari ini,
adalah “kekuasaan adalah fascinatio dan obsesi bagi kaum cendekiawan.” Ketertarikan Dhakidae terhadap bagaimana
kekuasaan beroperasi dilanjutkan melalui kolaborasinya dengan sosiolog Vedi
Hadiz dalam kumpulan tulisan berjudul Social Science and Power in Indonesia
(2005). Buku ini adalah karya penting yang membongkar bagaimana kekuasaan
Orde Baru “menumpulkan” ilmu sosial di Indonesia. Dalam karya ini muncul
temuan-temuan menarik tentang pengaruh Perang Dingin bagi lanskap ilmu sosial
Indonesia, birokratisasi ilmu sosial dan orientasi birokratis ilmu sosial,
serta peran ilmu sosial untuk menopang kebijakan developmentalisme Orde Baru.
Alerginya ilmu sosial Indonesia hari ini terhadap perspektif dan kajian
kritis salah satunya merupakan warisan Orde Baru itu. Melalui karya-karyanya tersebut, terlihat
posisi Dhakidae sangat jelas ketika berhadapan dengan kekuasaan. Ia selalu
curiga kepada kekuasaan dan menolak tunduk kepadanya. Ini mungkin yang
membuatnya tidak tergoda menjadi teknokrat atau mengejar jabatan prestisius
di pemerintahan. Dhakidae lebih memilih jalan intelektual publik, mencerahkan
nalar publik dengan pikiran-pikiran serius dan mendalam dalam mengupas
persoalan sosial, kebudayaan, kenegaraaan, serta kebangsaan. Intelektual
dan Dunia yang Berubah Kerja intelektual serius dan mendalam
seperti yang dilakukan Dhakidae semakin langka di tengah lanskap sosial hari
ini ketika dunia digital menuntut segalanya serba cepat; instan; ringkas. Dunia yang berubah hari ini melahirkan
intelektualisme yang dangkal. Kerja-kerja intelektual kritis, mendalam, dan
reflektif semakin sulit muncul lantaran digulung gelombang perubahan itu.
Buktinya bisa dilihat dalam produksi pengetahuan di media, universitas,
organisasi, dan pemerintahan yang mengabaikan kerja intelektual seperti yang
ditunjukkan generasi Daniel Dhakidae. Dhakidae menyadari situasi yang berubah
ini. Dalam tulisan bertajuk “Menyapa Prisma yang Datang Lagi” pada 2009,
Dhakidae mengatakan bahwa "Khalayak yang berminat dan membaca majalah
ini mungkin berubah. Daya tarik jurnal audio-visual mungkin berperan di sana.
Semuanya memberi jalan kepada suatu generasi yang dikatakan sebagai
'desentized to complex argumentation', generasi yang sudah terkuras derajat
sensitivitasnya terhadap argumentasi berbelit-belit. Tragis bahwa melawan
pendangkalan ini menjadi anakronik." Bagi saya, ketika Daniel Dhakidae
mengembuskan napas terakhir pada Selasa (6/4/2021), ia telah menjalani hidup
yang tidak sia-sia. Orang kelahiran Ngada, NTT pada 22 Agustus 1945 ini
mewariskan etos kerja intelektual yang serius untuk generasi kini. Dan ini ia
tularkan tidak hanya melalui karya-karya yang diproduksinya, tetapi juga
dengan memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk belajar meneliti dan
menulis di Prisma. Dengan cara demikian, ia mengharapkan regenerasi
intelektual kritis yang senantiasa berpedoman pada kaidah-kaidah ilmiah. Sebagai penghormatan kepada intelektual
besar itu, saya pikir disertasinya di Cornell University dan kumpulan
tulisannya di berbagai medium patut untuk diterbitkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar