Jumat, 09 April 2021

 

Seratus Hari Kerja Menteri Agama RI, Harapan dan Tantangan

 Haryadi Baskoro ; Pendiri Yayasan Indonesia Rumah Kebhinnekaan; Antropolog-Teolog

                                                         KOMPAS, 09 April 2021

 

 

                                                           

Bagi kaum Nasrani, ditetapkannya Yaqut Cholil Qoumas menjadi Menteri Agama RI memberikan kebahagiaan tersendiri. Gus Yaqut adalah Ketua GP Ansor dan berasal dari keluarga tokoh Nahdlatul Ulama (NU), ormas Muslim yang karib dengan kaum Kristiani.

 

Orang Nasrani di negeri ini tak pernah lupa akan kepahlawanan Riyanto, anggota Banser NU yang menjadi martir saat terjadi serangan teror bom di Gereja Eben Haezer Mojokerto pada Natal tahun 2000.

 

Namun, setelah melewati sekitar 100 hari kerja Gus Yaqut, kaum Nasrani di republik ini kembali diguncang. Teror bom mengerikan mengguncang Gereja Katedral di Makassar. Tentu saja terorisme tidak selalu terkait dengan agama dan tidak selalu merupakan wujud konflik SARA.

 

Presiden Joko Widodo menegaskan, terorisme tidak ada kaitannya dengan agama karena semua agama mengajarkan kebaikan dan cinta kasih. Meskipun demikian, putri Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid, Alissa Wahid, mengatakan, teror bom di Makassar itu harus diakui berkaitan dengan agama tertentu (fin.co.id, 29/3/2021).

 

Yang jelas, konflik antarkelompok agama masih terus berpeluang terjadi, radikalisme agama tidak hilang begitu saja, ambisi menciptakan negara agama dengan mendongkel ideologi Pancasila takkan surut, bahkan terorisme bermotif agama bisa saja berkembang.

 

Sejak akhir 2020 hingga kira-kira 100 hari pertama tahun 2021, situasinya seolah terasa kondusif. Namun, ternyata, kini meletup-letup lagi. Bahkan, seperti dilansir banyak media, Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla mengingatkan bahwa serangan teror di Indonesia belum padam.

 

Agama sebagai inspirasi

 

Kekuatan Menag Yaqut ada pada prinsipnya bahwa ”agama sebagai inspirasi bukan aspirasi”. Adapun rupa-rupa ancaman berupa potensi-potensi bahaya itu justru menjadi peluang bagi sang menteri untuk mendongkrak dan ”memasarkan” konsepnya tersebut.

 

Dulu, setelah melontarkan prinsipnya itu saat dilantik, ia mengatakan bahwa hal tersebut bisa dipelajari lebih lanjut. Namun, sayangnya, sampai 100 hari kerjanya itu penjabaran dan apalagi implementasi dari konsep tersebut belum begitu terlihat.

 

Pemilihan kata ”inspirasi” dalam penuturan lisan sang menteri adalah tepat karena hal itu menjaga substansi agama sebagai wahyu Tuhan. Agama bersumber pada ilham dari Tuhan, di atas jangkauan jiwa manusia dan melampaui kebudayaan. Dalam teologi Kristen, misalnya, dibedakan antara ”inspirasi” atau ilham dan ”iluminasi” atau penerangan (Marantika, 2002).

 

Para nabi dan rasul mendapatkan inspirasi langsung dari Tuhan sehingga mereka dimampukan untuk menulis kitab-kitab suci. Sedangkan manusia masa kini mendapatkan penerangan atau pencerahan (illumination) dari Tuhan untuk dapat mempelajari dan memahami kitab-kitab suci itu.

 

Dalam studi kebudayaan pun agama dipahami sebagai sumber ilham yang luar biasa. Antropolog Koentjaraningrat (1985) memosisikan faktor emosi keagamaan (religious emotion) sebagai pusat gejala keagamaan. Agama, menurut dia, mempunyai unsur-unsur seperti halnya kebudayaan, yaitu sistem gagasan yang berupa sistem keyakinan-keyakinan, sistem perilaku yang berupa upacara dan tindakan religius, serta benda-benda budaya yang berupa alat-alat upacara.

 

Namun, yang membedakan dengan kebudayaan adalah kekuatan emosionalnya yang menyebabkan sistem-sistem keyakinan itu begitu mengilhami perilaku beragama dan penciptaan benda-benda keagamaan tersebut. Orang bisa menjadi begitu bersukacita, terharu, takut, merasa bersalah, bertobat, berkurban, penuh rasa cinta kasih, atau sebaliknya, yaitu marah, murka, benci, bahkan membunuh atau bunuh diri karena agama.

 

Menurut Clifford Geertz (1992), ajaran-ajaran agama terbungkus dalam sebuah ”pancaran faktualitas” sehingga suasana hati (mood) dan motivasi keagamaan bersifat khas realistis. Itulah sebabnya emosi keagamaan mudah disulut dan orang-orang yang katanya beragama bertindak membabi buta atas nama agama. Agama memberikan ilham yang membangun suasana hati dan motivasi yang sangat kuat.

 

Jadi, secara antropologis, kekuatan ilham dari agama itu terletak pada sistem keyakinan-keyakinan (ajaran, doktrin, dogma) yang ada di dalamnya. Implikasinya, ajaran dan pengajar agama perlu menjadi fokus perhatian. Ajaran yang berupa tafsir kitab suci yang fundamental-radikal, yang kemudian ”digoreng” oleh para pengajar yang juga fundamentalis-radikal dipastikan memberikan ilham praktik radikalisme umat.

 

”quick win”

 

Prinsip agama sebagai inspirasi dilawankan dengan prinsip agama sebagai aspirasi. Karena menyediakan sistem nilai-norma positif, maka agama adalah inspirasi positif bagi semua bidang pembangunan (ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, sains dan teknologi, dan sebagainya). Menurut pelukis legendaris Amri Yahya, agama juga menjadi inspirasi dalam berkreativitas seni (jurnal Humaniora No 1/2000).

 

Jika agama dimaknai sebagai ”aspirasi”, yang kita pikirkan melulu masalah kepentingan politis. Bagaimana kelompok keagamaan kita berkuasa, merebut posisi-posisi elite, mendominasi pemerintahan, dan bagaimana mewujudkan negara agama.

 

Kelompok-kelompok agama yang dicap minoritas pun menjadi terkungkung dalam perasaan serba tak berdaya, terpinggirkan, tertolak, terbuang, dan teraniaya. Kelompok-kelompok agama terus-menerus bersaing, berkompetisi secara tak sehat (kontravensi), dan akhirnya berkonflik satu sama lain.

 

Namun, visi dan konsep sebagus apa pun tidak akan banyak faedahnya jika tidak diimplementasikan. Itulah sebabnya selalu ada tantangan 100 hari kerja bagi para pemimpin dan lembaga yang dipimpinnya.

 

Menurut ekonom muda NU di Yogyakarta, Bahrul Fauzie Rosydi (Gus Bahrul), semestinya dalam periode singkat itu muncul program-program (output) terukur yang berdampak (outcome) cepat meski tidak selalu merupakan kegiatan berskala besar (small quick win). Logikanya, sama seperti insiden-insiden teror bom yang meski kecil-kecil tetapi berdampak signifikan secara nasional, bahkan internasional.

 

Menurut penulis, memunculkan program-program quick win tidak perlu dengan cara merekayasa program-program baru yang hanya berujung pemborosan, bahkan penyalahgunaan dana. Di tataran akar rumput sebenarnya telah banyak kegiatan dan gerakan rakyat lintas agama yang berpadanan dengan konsep agama sebagai inspirasi. Kemenag RI hanya perlu mengapresiasi, mendukung, mengadopsi, dan meng-upgrade menjadi program-program quick win nasional.

 

Sebagai contoh adalah pendidikan agama bernuansa budaya Jawa di Madrasah Diniyah Zumotrus Salamah di Pondok Pesantren (Ponpes) Tawangsari di Kabupaten Tulungagung, Jawa Tmur (republika.com, 23/10/2019). Para santri mengenakan busana Jawa lengkap dengan blangkonnya. Materi ajarnya sama, yaitu Al Quran dan sejumlah kitab klasik, seperti Taklimut Mutaalim dan Aqidatul Awam. Namun, para guru dan ustaz mengajarkannya dengan bahasa Jawa.

 

Menurut pengasuhnya, Abdillah Surbkhi, pola ini mendidik para santri supaya tidak kehilangan jati diri sebagai orang Jawa dan malahan berkontribusi dalam melestarikan serta mengembangkan kebudayaan Jawa. Agama dan pendidikan agama telah menjadi inspirasi bagi pembangunan kebudayaan lokal.

 

Ada pula program ”Sekolah Kebhinnekaan” yang bergulir di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, sejak 2017. Kegiatan pendidikan informal ini didukung oleh beberapa institusi lintas keagamaan, antara lain GP Ansor, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Klasis Gereja Kristen Jawa, Rayon Katolik Paroki Santo Petrus Kanisius, Majelis Budhayana Indonesia, Parisadha Hindu Darma Indonesia, Fatayat Nahdlatul Ulama, dan Badan Kerja Sama Gereja-gereja Kristen.

 

Kegiatan ini merepresentasikan dan mempromosikan tatanan sosial yang menjamin ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang perlu di-upgrade menjadi gerakan edukasi nasional.

 

Yang unik dan menarik adalah metode pembelajaranya yang berbasis pengalaman lintas religius. Kegiatan tahunan ini diikuti oleh puluhan generasi muda dari berbagai latar belakang agama. Para pesertanya belajar dengan tinggal (live in) di beberapa rumah ibadah yang berbeda-beda, seperti di pondok pesatren, pura, dan rumah retret.

 

Pengalaman akan kebinekaan itu menumbuhkan sikap aseptatif dan apresiatif terhadap keberagaman agama tanpa melunturkan iman masing-masing. Materi pelajaran yang diberikan adalah Pancasila, konstitusi, nasionalisme, kearifan lokal, toleransi, perdamaian, dan sebagainya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar