DETIKNEWS,
30
Maret 2021 |
Berdiri di hadapan banyak pilihan itu tidak
gampang. Kita mesti memilih salah satu, namun di saat yang sama kita tahu
bahwa pilihan yang lain masih ada. Situasi demikian membawa kita kepada
kerumitan, dan berpikir rumit itu berat. Karena berat, hanya sedikit orang
yang suka. Karena tak banyak orang suka dengan yang rumit dan pilihan yang
banyak, yang simpel-simpel lebih mudah mendapatkan peminat. Dan, puncak dari segala simplifikasi adalah
pikiran-pikiran ekstrem. Maka, segala jenis ekstremisme pun muncul di muka
bumi. Saya tidak tahu, apakah teori saya barusan
juga merupakan salah satu bentuk simplifikasi ekstrem. Bisa jadi iya, sebab
saya pun punya potensi sangat besar untuk malas berpikir rumit. Tapi saya
ingat, pernah suatu sore saya mendapatkan satu pengalaman spiritual terkait
kerumitan ini. Ceritanya, pundak saya tiba-tiba ditepuk
seseorang. "Cari apa, Mas?" begitu dia tanya. Cari apa kau bilang?
Saya kepingin menjawab bahwa di setiap detik dalam kehidupan, saya hanya
mencari kebenaran sejati. Tapi saya paham, jawaban itu bikin rumit. Padahal,
ketika pundak saya ditepuk itu, sesungguhnya yang saya cari memang bukan
kebenaran, melainkan satu pilihan di antara belasan menu di warung nasi
Padang. Betul, saya berdiri terbengong-bengong
cukup lama di depan jejeran menu enak-enak itu. Paling gampang sebenarnya
saya ambil saja gulai tunjang. Tunjang di warung langganan saya itu terkenal
empuk, selalu ada tulangnya, sehingga terjamin bukan tunjang-tunjangan hasil
sulapan dari limbah pabrik jaket kulit seperti yang pernah saya tonton di
liputan kriminal sebuah stasiun televisi. Sialnya, di rak sebelah atas ada gumpalan
putih penggoda iman, yaitu gulai otak. Tidak semua warung nasi Padang di
Jogja menyediakan gulai otak. Langsung terbayang betapa gumpalan gurih itu
lumer di mulut saya, dipadu dengan sambal ijo dan bumbu rendang, dan
terciptalah after taste yang khas dan sulit dicari tandingannya. Ah, atau
piring kecil di sebelahnya? Cumi isi telor, menu yang juga tak kalah ganas
dalam menawarkan bujuk rayu nikmatnya dunia. Hmmm. Lalu tiba-tiba ingatan saya diserang oleh lembar
laporan dari laboratorium kesehatan yang belum lama saya datangi. Kolesterol
saya masuk ke predikat severely high! Sontak, bayangan mengulum gulai otak,
atau mengunyah gulai tunjang dan cumi-telor, membuat saya ingat bahwa saya
masih ingin sehat, agar bisa terus hidup dan melanjutkan perjuangan pencarian
kebenaran. Saya pun menggeser pandangan ke menu-menu
standar. Tongkol, kakap, telur balado, daging cincang, ayam pop. Saya mulai
galau. Saya suka ikan, tapi ikan bakar saja. Kalau di warung Padang kok makan
ikan, saya merasa kurang mantap. Legitnya racikan bumbu terlezat di dunia itu
semestinya dipadu juga dengan yang legit-legit. Daging tongkol itu agak
kering, seret saat ditelan, kurang sefrekuensi dengan pasangan
bumbu-bumbunya. Ayam pop? Sebenarnya oke, tapi saya jadi teringat ayam krispi
pinggir jalan yang biasanya jadi jajanan rutin anak saya. Rasanya tetap
kurang berkelas. "Cari apa, Mas?" Saya terhenyak.
Pencarian kebenaran saya diinterupsi oleh Si Uda pemilik warung. Dia mungkin
tidak paham bahwa perlu waktu kontemplasi yang cukup di hadapan banyak sekali
pilihan. Dan saya mulai yakin bahwa nasi Padang adalah makanan yang
sebenarnya hanya cocok bagi leissure class, orang-orang yang bisa meluangkan
waktu untuk berpikir. Itu tentu berbeda dengan pengalaman
spiritual saya yang lain. Misalnya ketika jajan pecel lele, atau sate
kambing. Di warung-warung itu, pilihan tidak banyak. Kalau mampir ke tenda
pecel lele, selalu saya hanya beli lele. Buat saya, makan ayam atau bebek
goreng di warung pecel lele adalah pelecehan atas spesialisasi. Begitu pula
di warung sate kambing. Pilihan saya di situ hanya dua: sate kambing satu
porsi, atau dua porsi sekaligus yaitu sate dan tongseng. Simpel. Saya tidak
perlu membuang waktu dan energi untuk berkontemplasi. Pilihan yang banyak memang rentan membuat
kita lebih rumit dalam berpikir. Dan berpikir rumit itu berat, karena itu tak
banyak orang suka. Saya tak hendak mengatakan bahwa tak banyak orang suka
nasi Padang, tentu itu keliru. Tapi kebanyakan orang yang makan nasi Padang
rasa-rasanya juga lebih memilih berpikir simpel saja, enggan yang
rumit-rumit. Itulah kenapa menu terlaris di warung Padang tetap rendang dan
rendang. "Prof, dalam agama, bagaimana hukumnya
Anu?" seseorang di antara jamaah pernah bertanya kepada profesor pakar
Alquran itu. Sang Profesor mengernyit sebentar, tampak
berpikir keras. Kemudian dia menjawab dengan pelan. "E e e, ada... lima
pendapat ulama terkait apa yang Anda tanyakan." Kemudian Pak Prof memaparkan satu demi satu
dari kelima pendapat itu. Detail, runtut, dan tergelar lengkap semuanya. Dia
tidak mengatakan bahwa hanya satu saja dari kelimanya yang harus diikuti.
Padahal dari kelima pendapat yang ia paparkan itu, ada dua menyatakan boleh,
ada dua lagi menyatakan wajib dihindari, ada satu mengatakan haram.
Selebihnya, dia menyerahkan keputusan kepada si penanya. Sang Profesor memulai jawaban dengan
mengernyit, dan akhirnya penanya yang mendengarnya lebih mengernyit. Dia
sepertinya juga dipaksa untuk berpikir, sebab ada banyak pilihan di
hadapannya. Jelas, kali ini pilihan itu lebih membingungkan, sebab urusannya
dengan agama, dengan Tuhan, bukan cuma dengan kolesterol. Saya membayangkan,
sampai ia meninggalkan forum, lalu pulang ke rumah, kernyitan di jidatnya itu
belum betul-betul hilang. Itu berbeda sekali dengan forum lainnya,
yang pernah saya simak di suatu sore menjelang buka puasa Ramadhan. "Ustazah, menurut Ustazah, kelompok X
itu bagaimana?" Tak perlu mengernyit dulu, Sang Ustazah
menggenggam mikrofon dengan mantap, lalu menjawab dengan nada yakin seratus
persen. "Kelompok X itu ka-firrr! Nabinya A, bukan Nabi Muhammad!
Hati-hati dengan tipu daya mereka!" Simpel. Enak. Tidak ada paparan
pilihan-pilihan dari beragam pendapat. Tidak perlu ada renungan, kontemplasi,
atau kernyitan-kernyitan di dahi saat memilah informasi-informasi. Si penanya
langsung manggut-manggut, tampak puas dengan jawaban yang ia dengar, lalu
duduk setelah mengucapkan terima kasih. Berpikir itu memang berat. Orang lebih suka
diarahkan, ditunjukkan dengan sesuatu yang serba jelas, tanpa peduli bahwa
sesungguhnya ada banyak wilayah abu-abu. Berpikir rumit bukan sesuatu yang
menyenangkan dan membawa kegembiraan. Semangat yang meledak-ledak rata-rata
muncul bukan karena aktivitas panjang dalam berpikir, melainkan karena kita
melihat bahwa yang hitam itu hitam, dan yang putih itu sepenuhnya putih. Maka, berteman dengan orang-orang yang
punya seribu satu jenis pikiran itu juga rumit dan berat. Kita harus
mendengar Si Bambang berpikiran A, Si Budi berpikiran B, Si Dewi berpikiran
C, Si Tuti berpikiran D. Kita sendiri punya pikiran E, tapi harus mau
mendengarkan semua pikiran kawan-kawan kita itu, atau minimal mengakui bahwa
mereka punya pikiran yang berbeda, dan pikiran E milik kita tidak sendirian
saja di dunia. Bukankah itu berat? Jauh lebih mudah kalau banyaknya pilihan
itu diabaikan, lalu pikiran E dipaksakan di atas pikiran-pikiran yang lain.
Atau kalau tidak bisa begitu, ya mending kita tidak bersentuhan sama sekali
dengan mereka yang punya pikiran ABCD, lalu berkumpul saja dengan orang-orang
yang sama-sama pikirannya cuma E dan E dan E. Itu jauh lebih enak. Lebih
nyaman. Dan sembari menikmati kenyamanan itu, lebih gampang bagi kita untuk
membayangkan bahwa semua pikiran selain E bukanlah pikiran yang layak hadir
di muka bumi. Dari situ, kita bisa tahu pula betapa
memusingkannya demokrasi, misalnya. Demokrasi adalah E yang mau tak mau harus
menghargai ABCD. Bahkan pada satu titik, demokrasi harus menghargai pikiran
lain yang ingin menghancurkan demokrasi itu sendiri, sampai tinggal jadi
puing-puing yang tak layak dikenang kembali. Bukankah berdemokrasi itu sangat
rumit jadinya? Hasilnya, bahkan bagi orang yang mengaku
menjunjung tinggi demokrasi pun, berpikir simpel tampak lebih menyenangkan.
Sama dengan segolongan orang yang berpikir bahwa siapa pun di luar
golongannya harus mati, ada pula segelintir "pelaku demokrasi dan
kebhinnekaan" yang juga berpikir bahwa tukang ngebom itu pasti
pakaiannya begitu dan begini, tak ada kemungkinan ciri yang lain lagi. Berpikir simpel dan simplistis memang
menenangkan dan menyenangkan. Berpikir panjang di hadapan banyak pilihan itu
rumit dan memusingkan. Ngomong-ngomong, saya kepingin tahu, kalau
mampir warung nasi Padang, para pengebom itu memilih menu apa ya? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar