Vaksin
Ampuh untuk Covid-19 Atika Walujani Moedjiono ; Wartawan Kompas |
KOMPAS,
02 Maret
2021
Vaksinasi yang dimulai akhir tahun lalu
berhasil menurunkan kasus Covid-19 di sejumlah negara, bahkan di Indonesia. Bukan berarti
upaya mengatasi pandemi Covid-19 berjalan mulus. Seperti halnya HIV dan virus influenza,
SARS-CoV-2 terus bermutasi. Hasil pengurutan kode genetik ribuan sampel virus
dari pasien Covid-19 di basis data genetik virus (GISAID), sejauh ini ada
sekitar 12.000 mutasi. Pada umumnya mutasi SARS-CoV-2 tidak
menimbulkan masalah, tetapi hasil mutasi virus galur Inggris ( B.1.1.7),
galur Afrika Selatan (B.1.351), dan galur Brasil (P.1) menyedot perhatian
karena berpotensi mengurangi efikasi (kemanjuran) vaksin yang ada. Pengujian tim Moderna pada sampel darah
delapan orang yang telah divaksinasi serta dua primata terkait respons
antibodi terhadap varian baru dibandingkan dengan versi sebelumnya mendapati
galur Inggris tidak memengaruhi kadar antibodi. Sementara galur Afrika
Selatan menurunkan kadar antibodi hingga enam kali lipat dibandingkan varian
lama. Namun, antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Dua suntikan dengan dosis
100 µg diharapkan dapat melindungi terhadap galur baru. Dalam siaran pers, 25 Januari 2021, Moderna
sedang menguji dosis tambahan vaksin penguat yang ada (mRNA-1273) serta
memformulasi ulang vaksin penguat (mRNA-1273.351). Keduanya diharapkan dapat
meningkatkan kadar antibodi untuk menetralkan virus mutan. Penelitian Xuping Xie dan kolega dari
Universitas Texas, Amerika Serikat (AS), di Nature Medicine, 8 Februari 2021,
menguji 20 sampel darah orang yang disuntik dua dosis vaksin Pfizer-BioNTech
(BNT162b2) terhadap virus yang mengandung mutasi protein paku galur Inggris
dan Afrika Selatan. Hasilnya, titer antibodi rata-rata terhadap virus mutan
adalah 0,81-1,46 kali lipat dibandingkan titer antibodi terhadap virus asal.
Artinya, antibodi yang ditimbulkan vaksin BNT162b2 mampu mengatasi mutasi. Kalau mutasinya banyak, dengan teknologi
yang ada, menurut Pfizer-BioNTech, hanya perlu sekitar enam minggu untuk
mengganti informasi genetik antigen virus saat ini dengan antigen virus
mutan. Hal senada dikemukakan Antony Fauci,
Direktur Institut Nasional untuk Alergi dan Penyakit Menular (NIAID), AS.
”Platform mRNA sangat fleksibel,” katanya seperti dikutip Time, 7 Januari
2021. Bagaimana dengan pengembang vaksin lain?
Peneliti dari Universitas Oxford dan para mitra di Inggris, Afrika Selatan,
dan Brasil, dalam laporan yang diunggah 1 Februari 2021 dan belum ditinjau
sejawat, menyajikan data uji klinis tahap 3 vaksin Oxford-AstraZeneca
(ChAdOx1 nCoV-19) di Inggris dan Brasil. Juga uji klinis tahap 1/2 di Inggris
dan Afrika Selatan. Terkait infeksi galur Afrika Selatan, para
peneliti dari Universitas Witwatersrand dan universitas lain di Afrika
Selatan serta Oxford mendapatkan vaksin mereka tidak dapat mencegah penyakit
ringan hingga sedang, tetapi mampu mencegah Covid-19 parah. Sarah Gilbert,
Guru Besar Vaksinasi di laman Universitas Oxford, 7 Februari 2021,
menyatakan, pihaknya kini mengembangkan generasi baru vaksin yang efektif
melawan galur baru. Novavax, 28 Januari 2021, mengumumkan,
kandidat vaksin Covid-19 (NVX-CoV2373) menunjukkan kemanjuran 89,3 persen dalam
uji klinis tahap 3 di Inggris. Adapun hasil uji klinis tahap 2b di Afrika
Selatan mendapatkan efikasi 60 persen. Novavax juga mengembangkan konstruksi baru
dan berencana memulai uji klinis vaksin baru pada kuartal kedua tahun ini. Pada 29 Januari 2021, Johnson & Johnson
melaporkan kemanjuran vaksin, 28 hari pasca-vaksinasi, sebesar 72 persen di
AS, 66 persen di Amerika Latin, dan 57 persen di Afrika Selatan. Kandidat
vaksin dosis tunggal berbasis vektor adenovirus itu diuji pada berbagai kelompok
usia, termasuk di atas 60 tahun. Vaksin
universal Sebagian besar vaksin Covid-19 saat ini
dibuat dengan teknik mRNA yang mengemas kode genetik protein paku SARS-CoV-2
dalam nanopartikel ataupun menggunakan vektor adenovirus yang dilemahkan.
Idenya menginstruksikan sel tubuh untuk menghasilkan protein paku virus
korona sehingga memicu respons imun. Tubuh memproduksi antibodi untuk
menonaktifkan protein paku tersebut. Dibandingkan metode tradisional, teknologi
mRNA dinilai lebih aman karena tidak menyebabkan efek samping parah. Vaksin
juga bisa sangat cepat dimodifikasi asalkan ada urutan genom virus mutasi dan
protein target yang jelas. Kelemahannya, karena hanya menarget satu protein
virus, yakni protein paku, maka efikasi vaksin rentan terpengaruh mutasi
protein itu. Sebagaimana diketahui, SARS-CoV-2 memiliki
empat kelompok protein utama, yakni protein paku (protein S), nukleokapsid
(protein N), membran (protein M), dan protein amplop (protein E). Idealnya,
vaksin mampu memicu respons imun terhadap beberapa atau semua protein itu. Teknik pembuatan vaksin tradisional dengan
virus utuh yang dinonaktifkan dinilai menguntungkan. Dengan memaparkan sel
tubuh pada virus utuh, maka vaksin akan memicu respons imun terhadap semua
protein virus. Kalaupun protein S bermutasi, antibodi masih mengenali protein
lain. Sinovac yang membuat vaksin dari virus yang
dinonaktifkan, menurut Fortune, 20 Februari 2021, mengklaim vaksinnya efektif
melawan galur Afrika Selatan. Tapi belum menerbitkan data untuk mendukung klaim
itu. Agar mampu mengatasi mutasi virus di masa
depan, dipandang perlu pengembangan vaksin Covid-19 universal. Yakni, vaksin
yang mampu memicu sistem imun merespons semua kemungkinan epitop (bagian
protein virus). Setidaknya menemukan epitop yang penting dalam siklus hidup
virus, menimbulkan respons imun kuat dan menghambat replikasi virus. Perusahaan rintisan Belgia, MyNeo,
menggunakan mesin pintar untuk memprediksi epitop virus yang mampu memicu
respons imun terkuat. Secara teoritis, ada epitop yang sama di
semua galur SARS-CoV-2 bahkan di seluruh virus korona, termasuk penyebab SARS
dan MERS, serta pada cerpelai dan kelelawar. Epitop itu terkonservasi baik
dan tidak banyak berubah karena penting untuk kelangsungan hidup virus. Yang kini dieksplorasi adalah protein N
yang membungkus kode genetik virus. Diperkirakan, protein N yang mirip di
semua virus korona berperan penting dalam replikasi virus. Antibodi mampu
mengenali protein N dalam sel, memecahnya, dan menjadikan penanda agar sel
yang terinfeksi dihancurkan oleh sel T tubuh. Menurut Sarah Caddy, ahli
imunologi dari Universitas Cambridge, Inggris, protein ini cukup stabil dan
tidak sering bermutasi. Osivax dari Perancis mengembangkan kandidat
vaksin dari nanopartikel yang membawa salinan antigen nukleokapsid. Karena
tingkat mutasinya rendah, respons sel T terhadap antigen ini mampu melindungi
terhadap galur Covid-19 saat ini ataupun di masa depan. Hal serupa dilakukan
eTheRNA dari Belgia yang membuat vaksin yang menginstruksikan sel tubuh
mengenali protein S maupun protein N virus. Pengembangan vaksin dengan berbagai
teknologi dan target protein virus akan memberikan lebih banyak pilihan serta
meningkatkan perlindungan terhadap virus korona baru yang mungkin akan terus
bermutasi seperti virus influenza. Percepat
vaksinasi Meski mengurangi risiko sakit dan kematian,
vaksin masih memungkinkan orang tertular ataupun menularkan virus penyebab
Covid-19. Virus masih bisa bereplikasi dan bermutasi dalam tubuh orang yang
telah divaksinasi. Bahkan mutasi yang terjadi memungkinkan virus lolos dari
hadangan antibodi. Untuk mencegah mutasi, perlu menekan laju
penularan virus. Richard Kuhn, Guru Besar Ilmu Biologi Universitas Purdue,
Indiana, AS, menulis di The Conversation, 2 Februari 2021, penurunan tingkat
penularan menjadi kunci. Lebih sedikit infeksi berarti lebih sedikit
replikasi virus sehingga lebih sedikit peluang bagi virus untuk bermutasi. Selain penerapan protokol kesehatan juga
perlu vaksinasi orang sebanyak dan secepat mungkin. Vaksinasi yang lambat
dikhawatirkan memberi waktu bagi virus untuk mengubah protein paku dan lolos
dari vaksin. Saat ini di Indonesia berlangsung vaksinasi
massal. Dimulai dari tenaga kesehatan sejak pertengahan Januari, kini giliran
petugas layanan publik serta orang lanjut usia (lansia). Untuk meningkatkan
cakupan, vaksinasi dilaksanakan dengan menggandeng banyak pihak dan di banyak
tempat. Yang dilakukan Pemerintah India bisa
dipertimbangkan untuk mempercepat vaksinasi. Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, yang pernah menjadi Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) Regional Asia Tenggara 2015-2020 mengatakan, target vaksinasi
India adalah 300 juta orang hingga Agustus 2021. Rinciannya, 30 juta tenaga
kesehatan dan petugas pelayanan publik serta 270 juta orang lansia (60 tahun
ke atas) dan kelompok usia 45-59 tahun dengan penyakit penyerta. Vaksinasi dimulai 16 Januari 2021
menggunakan Covishield dari Serum Institute of India dan Covaxin dari Bharat
Biotech International. Hingga 28 Februari sudah divaksinasi 14,3 juta orang. Mulai 1 Maret, vaksinasi digenjot dengan
melibatkan fasilitas kesehatan swasta di samping fasilitas pemerintah. Warga
bisa memilih tempat terdekat, langsung datang dengan menunjukkan kartu
identitas. Jika vaksinasi di fasilitas pemerintah gratis, di fasilitas swasta
warga membayar 250 rupee (sekitar Rp 50.000). Dengan mengambil pelajaran dari negara
lain, bukan tidak mungkin vaksinasi di Indonesia bisa berlangsung lebih
cepat. Setidaknya sesuai target, satu tahun. Tjandra, yang juga anggota Independent
Allocation of Vaccine Group (IAVG) dari Covid-19 Vaccine Global Access
(Covax), koalisi lembaga internasional untuk mempercepat pengembangan vaksin Covid-19
serta memastikan akses vaksin yang adil dan merata di dunia, Sabtu
(27/2/2021), menyatakan, Covax akan mengirimkan vaksin ke negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, akhir Februari-awal Maret ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar