Rabu, 03 Maret 2021

 

Banjir, Tata Ruang, Tata Air, dan Tata Uang di Jakarta

 Windoro Adi ; Wartawan Kompas

                                                        KOMPAS, 02 Maret 2021

 

 

                                                           

Dari tahun ke tahun, daya dukung lingkungan Jakarta dan daerah penyangga (Jabodetabek) memburuk, terutama menghadapi banjir (dan longsor) pada musim hujan. Dari rezim ke rezim DKI, pengelolaan tata kota, tata air, dan tata uang untuk membiayai perbaikan dan merawat kota nyaris tidak pernah direncanakan serius. Kini, tak ada pilihan lain bagi Pemprov DKI selain memperbaiki tata kota, tata air, dan tata uang menyangkut alokasi dana bersama pemerintah pusat dan daerah.

 

Setiap tahun, permukaan tanah di Jakarta, menurut sejumlah sumber, rata-rata turun sekitar 10 sentimeter. Di Jakarta Barat, permukaan tanah bahkan turun 15 sentimeter setiap tahun dan permukaan tanah di Jakarta Timur turun 10 sentimeter setiap tahun. Penurunan permukaan tanah mulai terjadi tahun 1975, ketika penggunaan air tanah mulai berlangsung masif seiring tumbuhnya kawasan permukiman, hotel, mal, rumah susun, dan apartemen yang puncaknya terjadi di awal tahun 1990-an.

 

Di sisi lain, kemampuan tanah menyerap air, terutama tanah di daerah aliran sungai, semakin merosot karena perubahan peruntukan lahan. Daya serap tanah terhadap air hujan di Jakarta saat ini, menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Andi Eka Sakya, tinggal 20 persen. Itu artinya, setiap seliter air hujan yang jatuh ke tanah, hanya 0,2 liter yang terserap tanah.

 

Resapan air

 

Awal tahun 1990-an, pembangunan kawasan perumahan kelas menengah dan kelas atas di Jabodetabek marak. Di Jakarta, sejumlah kawasan resapan air disulap menjadi kawasan terintegrasi untuk permukiman, mal, ruko, dan apartemen. Karena menentang perubahan tata ruang yang mengorbankan sejumlah daerah resapan air penting, terutama di Jakarta Utara oleh pemerintah pusat kala itu, Gubernur DKI Soerjadi Soedirdja (1992-1997) akhirnya tidak ingin dipilih lagi sebagai gubernur pada periode berikutnya.

 

Walhasil, sepeninggal Soerjadi, kawasan resapan air di Jakarta terus menyusut. Sebagai penggantinya, Jakarta, seperti disampaikan mantan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, Ricki M Mulia, membutuhkan 1,8 juta sumur resapan air. Penentuan jumlah sumur ini, menurut dia, dilihat dari neraca air dan pendekatan data empiris saat terjadi genangan di sejumlah lokasi di Jakarta.

 

Tahun lalu, realisasi pembangunan sumur resapan, menurut Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Juaini Jusuf, baru mencapai 2.974 lokasi. Padahal menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2017-2022, target pembangunan sumur resapan adalah 1,8 juta lokasi yang mulai dibuat pada 2020.

 

Meluasnya pembangunan permukiman dan sentra perdagangan di Jakarta sejak awal tahun 1990-an tidak diiringi rencana dan pengelolaan tata air yang matang, terutama soal resapan dan saluran pembuangan air hujan. Setiap tindakan dilakukan tambal sulam sebagai reaksi sesaat.

 

Tak pernah jelas air pembuangan sejak awal mengalir tiba di mana. Lalu, saat hujan tiba, air sudah menggenang di mana-mana. Sebagian air hujan diam, tidak mengalir.

 

Idealnya, sejak air pembuangan mengalir, arus air bisa dilacak ke mana air itu pergi. Pemerintah daerah tampaknya hanya merasa bertanggung jawab sebatas merawat gorong-gorong besar dan mengeruk sungai. Di sisi lain, pengelola permukiman abai dan menganggap seluruh sistem pembuangan air adalah tanggung jawab pemerintah.

 

Fakta di lapangan lebih menyedihkan. Sebagian gorong-gorong rusak, tersumbat, bahkan tidak berfungsi karena tertutup, sampah, lapak pedagang, atau bangunan lain. Sungai mendangkal. Di bantaran sungai, tumbuh permukiman liar. Endapan lumpur yang menjadi lahan baru dijadikan tempat bercocok tanam atau arena bermain. Di beberapa bagian, sungai justru dijadikan tempat pembuangan sampah.

 

Saat membangun, hampir seluruh kalangan pengembang cuma mengandalkan peninggian lahan agar kawasan yang mereka bangun tidak banjir. Saluran-saluran pembuangan yang mereka bangun umumnya hanya sekadar ”pemantas”. Mereka tidak peduli apakah luapan air dari kawasan mereka membuat kawasan permukiman yang lama, banjir.

 

Pembangunan setiap kawasan baru dipastikan lebih tinggi dibandingkan kawasan permukiman baru yang sudah lebih dulu dihuni. Demikian seterusnya sehingga kawasan permukiman yang dibangun pengembang lebih dulu, lebih rendah permukaan tanahnya dibandingkan kawasan permukiman yang baru selesai dibangun. Yang paling menderita tentu saja kawasan permukiman penduduk lama. Itulah yang, antara lain, terjadi di pinggiran kota Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

 

Banjir di Jakarta tidak hanya melulu soal ruwetnya sistem drainase kota, tetapi juga soal ”banjir kiriman”. Di titik ini terjadi konflik dan miskoordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Konflik menyangkut pilihan kebijakan naturalisasi sungai yang mengandalkan kemampuan tanah menyerap air hujan dan normalisasi sungai yang memprioritaskan gelontoran air menuju laut. Konflik dan miskoordinasi antara kewajiban pembebasan tanah oleh pemerintah daerah dan pembangunan sistem drainase serta sungai yang menjadi kewajiban pemerintah pusat.

 

Alokasi dana

 

Perbedaan persepsi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat akhirnya berdampak pada alokasi anggaran mereka terkait usaha mengatasi banjir. Alokasi dana untuk normalisasi sungai tentu berbeda dengan alokasi dana untuk naturalisasi sungai.

 

Normalisasi sungai memprioritaskan pembangunan dan perawatan infrastruktur yang mendorong air hujan cepat menuju laut. Perlu alokasi dana pemindahan penduduk di bantaran kali, penertiban bangunan di atas drainase, dan pembangunan tanggul (sheet pile) sungai. Naturalisasi, antara lain, lebih memprioritaskan sarana dan prasarana resapan air. Oleh karena itu, butuh alokasi dana untuk membangun sumur-sumur resapan air.

 

Biaya ikutan yang muncul karena banjir pun perlu dialokasikan, antara lain, untuk kegiatan penyelamatan, pengungsian, pemindahan penduduk, dan pembersihan kota dari sampah dan lumpur. Di luar pilihan kebijakan tersebut, pemerintah daerah masih harus mengeruk, merawat sungai, serta memelihara prasarana dan sarana penanggulangan banjir di antaranya pompa-pompa air.

 

Jika antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak tercapai kata sepakat dalam kebijakan bersama menanggulangi banjir, penanggulangan banjir di Jakarta (juga daerah lain) tidak akan selesai, terutama menyangkut pembiayaan. Peristiwa dan drama banjir akan terus berulang dan menjadi tayangan favorit media massa.

 

Zaman Belanda

 

Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) Jan Pieterszoon Coen membangun kota Batavia seluas 105 hektar di awal abad ke-17. Ketika itu, dia, seperti halnya para gubernur jendral VOC maupun gubernur jenderal Hindia Belanda lainnya, selalu memprioritaskan kemanfaatan air bagi lingkungan sekitar dan kegiatan usaha, termasuk bagaimana menghadapi ancaman banjir.

 

Di tengah kota yang dirancang Simon Stevius, dibangun Kalibesar yang membelah Batavia menjadi kota kembar. Kalibesar tak lain adalah pelebaran dari Kali Ciliwung. Di Kalibesar inilah air Sungai Ciliwung dan air Sungai Krukut bertemu.

 

Kehadiran Kalibesar membuat kapal-kapal besar bisa bongkar muat di depan gudang-gudang dan kantor pusat konglomerat perdagangan VOC. Agar perjalanan air Sungai Ciliwung lebih singkat dan lurus sehingga lebih mudah dilewati alat transportasi air, pada 1648 Coen memerintahkan Kapitan China Phoa Beng Gam membuat sodetan Sungai Ciliwung yang diberi nama Kali Molenvliet yang kini diapit Jalan Molenvliet West (Jalan Gajahmada) dan Molenvliet Oost (Jalan Hayamwuruk).

 

Kali segera penuh perahu dan rakit para pedagang dan petani. Sirkulasi perekonomian di Batavia kian kencang, sementara wabah malaria menghilang karena air rawa mengalir ke kali.

 

Sampai saat ini, masih tampak warisan Phoa Beng Gam berupa pintu-pintu air di tepian Molenvliet. Pintu-pintu air ini dulu mengalirkan air pembuangan dari deretan bangunan di kompleks bisnis, baik yang berada di Jalan Gajahmada maupun di Jalan Hayamwuruk. Kini, pintu-pintu air ini tidak berfungsi karena saluran pembuangan yang dikontrol pintu-pintu air tersebut tertimbun tanah dan bangunan.

 

Fungsi Kali Molenvliet mencegah banjir di kawasan ini pun hilang. Saat musim hujan tiba, kawasan ini terendam air, sementara Kali Molenvliet meluap ke jalan karena arus air terputus di kawasan bisnis Lindeteves Trade Centre hingga Glodok Plaza.

 

Bendung Katulampa

 

Meskipun di masa Coen, Batavia relatif aman dari banjir dengan hadirnya sistem kanal yang rapi dan terawat, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1808-1811) tidak puas. Ia merasa kualitas hidup di lingkungan kantor pusat pemerintahan mulai merosot.

 

Daendels lalu menggeser pusat pemerintahan ke selatan. Kantor gubernur jenderal pun (kini gedung kementerian keuangan di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat) ia bangun pada tahun 1810. Sementara menunggu bangunan jadi, Daendels memilih tinggal dan berkantor di Istana Bogor yang dibangun Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750).

 

Tempat peristirahatan bagi para gubernur jenderal Hindia Belanda ini membuat para gubernur jenderal ini peduli dengan masalah ”banjir kiriman”. Lebih-lebih setelah kawasan Harmoni, Batavia, terendam banjir luapan Sungai Ciliwung, tahun 1872.

 

Peristiwa tersebut disusul pembangunan Bendung Katulampa, di Bogor, Jawa Barat, yang diresmikan Gubernur Jenderal Hindia Belanda AW Frederik Idenburg (1909-1916). Pembangunan bendung ini menunjukkan langkah Pemerintah Hindia Belanda yang terintegrasi dan tidak sekadar tambal sulam.

 

Ironisnya, sampai sekarang baru pada tahun 2004 bendung ini baru sekali direnovasi oleh Pemprov Jawa Barat. Tak ada bantuan dana dan pendampingan teknis dari Pemprov DKI ataupun pemerintah pusat.

 

Kepedulian dan kerja sama

 

Cerita tentang Batavia menunjukkan, justru pada masa pemerintahan VOC dan Hindia Belanda, pengelolaan tata kota, tata air, dan tata uang direncanakan dan dilaksanakan secara matang dan konsisten, terutama menyangkut perawatan rutin seluruh prasarana dan sarana tata air.

 

Di masa itu, dengan mudah warga bisa menyusur dari mana datang dan perginya air pembuangan. Di masa itu, warga masih sering melihat para penjaga pintu air, baik pintu air skala kecil maupun yang berskala besar, mengontrol debit air secara rutin. Karena sistem pengelolaan yang jelas, pemerintah dengan cepat bisa menunjuk hidung, siapa yang bertanggung jawab ketika terjadi banjir.

 

Ironisnya, setelah mereka kembali ke negerinya yang terletak di bawah permukaan laut, pemerintah dan warga DKI justru merusak sebagian sistem kanal yang mereka bangun, tanpa kemampuan membangun kembali sistem kanal atau drainase baru yang lebih baik.

 

Untuk memperbaiki keadaan, tidak ada jalan lain selain membangun kepedulian bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Antara pemerintah dan warga. Konflik kepentingan di antara mereka sudah waktunya diredam dan melangkah bersama dengan dasar kompetensi atas tata ruang, tata air, dan tata uang.

 

Bukan atas dasar selera atau atas dasar siapa yang paling berkuasa, apalagi atas dasar nilai proyek yang bisa masuk kantong pribadi, tetapi sekali lagi, atas dasar kompetensi. Dan tentu saja, semua usaha menanggulangi banjir dilakukan sebelum musim hujan tiba.

 

Saat infrastruktur selesai dibangun, pekerjaan rumah berikutnya adalah alokasi dana yang layak untuk perawatan seperti yang dilakukan orang-orang Belanda ketika merawat Batavia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar