Rabu, 03 Maret 2021

 

Setahun Pandemi Covid-19 dan Awal dari Akhir Pandemi

 Iqbal Mochtar ; Dokter dan Pengamat Masalah Kesehatan

                                                        KOMPAS, 02 Maret 2021

 

 

                                                           

Pandemi Covid-19 telah berlangsung setahun. Tanggal 11 Maret tahun lalu, Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Tedros Adhanom mengumumkan secara formal, dunia memasuki kondisi pandemi.

 

Pengumuman muncul setelah observasi tiga bulan terhadap sebuah ”penyakit baru” yang muncul di Wuhan, China. Penyakit tersebut merebak begitu cepat. Dalam tiga bulan pengamatan, ”penyakit baru” itu menginfeksi 120.000 orang, menyebar di lebih dari 100 negara dan menimbulkan lebih dari 4.000 kematian. Wajar apabila WHO mengeskalasikan kondisi saat itu sebagai pandemi.

 

Saat itu para ahli terpilah. Sebagian menganggap keputusan WHO terlalu dini, sementara sebagian lainnya menganggap terlalu lambat. Masyarakat bingung dan panik. Konsep pandemi saat itu belum dikenal luas. Pandemi terakhir yang dikenal, yaitu pandemi influenza, terjadi pada 1918. Pandemi tersebut berlangsung selama 15 bulan, menginfeksi 500 juta orang serta membunuh 50 juta orang.

 

Saat status Covid-19 diumumkan sebagai pandemi, tidak banyak yang memperkirakan efeknya sedahsyat ini. Pandemi ternyata bukan sebuah istilah epidemiologi sederhana; ia menggerogoti semua aspek kehidupan tanpa kecuali. Berdampak multidimensi. Maka, wajar apabila orang ingin tahu bagaimana keadaan setahun pasca-pandemi.

 

Titik terang

 

Perkembangan pandemi dapat dievaluasi dengan berbagai indikator epidemiologi. Setiap indikator memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena itu, meski indikator bermanfaat dan banyak digunakan dalam evaluasi, gambaran yang diberikan bersifat relatif dan tidak mutlak. Apalagi Covid-19 merupakan multifactor disease, yaitu penyakit yang memiliki begitu banyak determinan.

 

Di antara banyak indikator, yang biasa digunakan dalam mengevaluasi pandemi adalah tingkat kejadian penyakit dalam bentuk jumlah kasus baru dan positive rate serta tingkat kematian penyakit dalam bentuk case fatality rate (CFR).

 

Positive rate menunjukkan jumlah orang terkonfirmasi positif dibanding jumlah orang yang dites Covid-19. Figur ini menggambarkan tingkat penyebaran penyakit. Semakin tinggi positive rate, semakin tinggi penyebaran penyakit.

 

Adapun  CFR merujuk pada jumlah orang yang meninggal dibanding jumlah orang yang terkonfirmasi positif. Ini memberi gambaran kefatalan penyakit. Semakin tinggi CFR, semakin banyak orang meninggal akibat penyakit ini.

 

Yang menarik, dan sekaligus memberi harapan, saat ini tren ketiga indikator ini mulai terlihat menurun, baik pada tingkat global maupun di Indonesia.

 

Pada tingkat global, mulai terlihat adanya penurunan konsisten jumlah kasus baru per hari. Saat ini, jumlah kasus baru berkisar 315.000 per hari, jauh lebih rendah dibandingkan kasus baru pada Desember lalu yang mencapai 880.000 kasus per hari.

 

Tren penurunan ini juga terjadi di Indonesia, walau trennya belum solid dan konsisten. Jumlah kasus baru di Indonesia saat ini masih tinggi, yaitu berkisar 10.000 per hari. Namun angka ini sedikit lebih baik dari beberapa bulan lalu di mana jumlah kasus baru bervariasi, yaitu 11.000-14.000.

 

Fenomena senada juga terjadi pada positive rate. Saat ini positive rate di Indonesia masih tinggi, 27,6 persen. Namun, figur ini lebih baik dari figur puncak pada April 2020 yang melebihi 42 persen. Meski terdapat alasan bahwa jumlah kasus baru dan positive rate bukan indikator adekuat, perbaikan indikator ini paling tidak menunjukkan adanya titik terang dalam penanggulangan pandemi.

 

Pada tingkat global, juga terlihat adanya penurunan CFR. Saat kasus Covid-19 muncul Januari 2020, CFR global berkisar 3,1 persen. Angka ini meningkat tajam dan mencapai puncak pada April, yaitu 7,2 persen. Saat itu, CFR sejumlah negara bahkan mencapai 14,5 persen.

 

Setelah April, CFR global mulai menurun dan saat ini hanya berkisar 2,2 persen. Ini penurunan yang signifikan. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Puncak CFR terjadi April, yaitu 9,5 persen. Saat ini CFR telah menurun hingga 2,7 persen. Artinya, dari 100 orang yang terkonfirmasi positif, sekitar tiga orang yang meninggal.

 

Dari ketiga indikator itu, terlihat bahwa memang ada hasil positif penanggulangan pandemi. Tingkat kematian pada tingkat global dan Indonesia telah melewati puncak dan menurun. Tingkat kejadian penyakit pun terlihat mengalami penurunan pada tingkat global meski di Indonesia penurunan ini belum solid dan signifikan.

 

Vaksinasi Covid-19

 

Vaksinasi menjadi tema sentral pandemi dalam beberapa bulan terakhir ini. Hingga kini, terdapat 11 jenis vaksin Covid-19 yang telah disetujui dan digunakan di berbagai negara. Selain itu, 42 jenis vaksin juga berada dalam fase uji klinis, sepuluh di antaranya berpotensi mendapat persetujuan penggunaan dalam beberapa bulan mendatang. Artinya, pada semester II-2021 besar kemungkinan akan terdapat 20 jenis vaksin Covid-19 yang beredar dan digunakan.

 

Maraknya produksi vaksin ini memberikan harapan baik bagi penanggulangan pandemi. Apalagi vaksin-vaksin ini mulai digunakan luas. Hanya dalam 2-3 bulan setelah disetujui, 215 juta orang telah divaksin di berbagai negara. Artinya, 70 juta orang divaksin setiap bulan. Vaccination rate ini diperkirakan meningkat pada bulan-bulan mendatang.

 

Saat ini, sejumlah negara bahkan telah memvaksin sebagian besar penduduknya dan mencapai kekebalan kelompok (herd immunity). Di Israel, vaccination rate telah mencapai 87 persen, Uni Emirat Arab 57 persen, Inggris 27 persen, dan Amerika Serikat 19 persen.

 

Di Indonesia, jumlah yang telah divaksin berkisar 2 juta orang atau 1 persen dari target vaksin. Belum pernah terjadi sebelumnya, sebuah vaksin diberikan secara cepat dan luas seperti ini.

 

Menariknya lagi, saat ini telah mulai teridentifikasi adanya benang merah antara tingkat keampuhan vaksin saat uji coba (efficacy) dan saat digunakan di masyarakat (effectiveness). Pada saat uji coba, vaksin-vaksin Covid-19 dilaporkan memiliki tingkat keampuhan 50-93 persen. Dengan rate ini, orang yang diberi vaksin memiliki kemungkinan 3-19 kali lipat lebih rendah menderita Covid-19 dibanding orang yang tidak divaksin.

 

Kini, sejumlah studi di masyarakat mengonfirmasi tingkat keampuhan ini. Salah satu di antaranya dilakukan oleh Macabi, sebuah asuransi kesehatan di Israel. Perusahaan in melaporkan bahwa dari sekitar 523.000 kliennya yang diberikan vaksinasi, hanya terdapat 544 orang (0,1 persen) yang terinfeksi Covid-19, 15 orang (0,003 persen) yang harus dirawat di rumah sakit dan tidak ada yang meninggal.

 

Angka ini jauh berbeda dengan klien yang tak mendapat vaksin, di mana dari 628.000 klien, 18.000 orang menderita Covid-19 (2,8 persen). Artinya, tingkat effectiveness vaksin yang digunakan berkisar 93 persen, hampir sama dengan tingkat keampuhan saat uji coba (efficacy).

 

Kombinasi maraknya produksi vaksin, tingginya vaccination rate, serta terkonfirmasinya keampuhan vaksin pada tahap uji coba (efficacy) dan saat di masyarakat (effectiveness) menjadi alasan kuat bahwa vaksin Covid-19 akan menjadi senjata ampuh peredaman pandemi.

 

Upaya bersama

 

Adanya tren penurunan jumlah kasus baru, positive rate dan CFR serta makin marak dan efektifnya produksi dan penggunaan vaksin menjadi alasan bahwa pandemi dapat berakhir lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya.

 

Sepanjang tidak ada perubahan kondisi yang signifikan, banyak negara diperkirakan berhasil mengontrol pandemi pada 2021, ditandai dengan tercapainya herd immunity di negara tersebut. Sisanya masih membutuhkan waktu beberapa tahun lagi.

 

Untuk mempercepat proses pengontrolan pandemi, tiga hal penting patut diupayakan. Pertama, mempercepat upaya vaksinasi di masyarakat agar kekebalan kelompok dapat tercapai.

 

Saat ini, beberapa negara telah mencapai status kekebalan kelompok, seperti Gibraltar, Israel, dan Sisilia. Mereka telah memvaksin lebih dari 70 persen penduduknya. Di Indonesia, jumlah yang tervaksin hingga saat ini baru 2 juta orang dengan rerata vaksinasi 50.000-60.000 orang per hari. Kalau laju vaksinasi ini tak ditingkatkan, kekebalan kelompok baru tercapai setelah delapan tahun.

 

Pemerintah dan seluruh masyarakat harus berupaya maksimal untuk meningkatkan vaccination rate ini paling tidak dua kali lipat. Kenyataannya, banyak negara mampu memvaksinasi lebih dari 100.000 orang per hari. Di Israel, pemerintah memvaksin 120.000 orang per hari, Turki 183.000 orang per hari, dan Bangladesh 167.000 per hari. Artinya, faktor percepatan ini bisa dioptimalkan.

 

Kedua, pada tingkat global harus ada upaya kolektif untuk mencapai global herd immunity, yaitu tervaksinnya 60-70 persen penduduk dunia. Apabila level ini belum tercapai, efek pandemi masih belum reda. Istilah yang sering didengungkan oleh WHO adalah no one is safe until every one is safe.

 

Saat ini vaksin umumnya masih beredar di negara-negara maju dan menengah saja, sementara negara berkembang kekurangan akses. Sekitar 60 persen stok vaksin Covid-19 dikuasai oleh 16 persen negara tertentu. Ada ketimpangan. Dengan kemampuan daya belinya, negara-negara maju telah memesan dan memborong vaksin lebih dari yang mereka butuhkan atas alasan nasionalisme vaksin (vaccine nationalism).

 

WHO telah menginisiasi program global untuk menanggulangi hal ini, yaitu Covax. Lewat program ini, sejumlah negara bergabung dan mengalokasikan sebagian vaksinnya untuk negara berkembang. Upaya ini perlu didukung lebih serius dan konsisten.

 

Ketiga, sambil menunggu efek kekebalan kelompok yang dihasilkan oleh vaksinasi luas, masyarakat harus tetap menerapkan upaya 3M dan 3T. Upaya ini terbukti berkontribusi terhadap tren perbaikan morbiditas dan mortalitas Covid-19. Memang berat dan membosankan, tetapi tidak aja jalan lain kecuali melakukannya.

 

Penatalaksanaan Covid-19 selama ini jelas telah membuahkan sejumlah hasil positif. Dan vaksin akan menambah nilai positif ini, terutama dalam mengurangi tingkat penyebaran dan kematian Covid-19. Sejumlah negara telah berhasil mencapai kekebalan kelompok, tetapi sebagian besar lainnya masih berjuang ke arah sana.

 

Meski tidak mudah menyimpulkan bahwa Covid-19 akan tertanggulangi dalam beberapa tahun mendatang, tetapi titik terang ke arah itu mulai tampak. Perlu upaya semua pihak agar titik terang ini benar-benar menjadi lampu penanda bahwa pandemi akan segera berakhir. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar