Perempuan
yang Merokok Impian Nopitasari ; Penulis cerita berbahasa Indonesia
dan Jawa, tinggal di Solo |
DETIKNEWS,
07 Maret
2021
Akhir Januari lalu saya membagikan tulisan
dari web perempuanmembaca.com berjudul Bunyai dan Kretek yang ditulis oleh
Farah Firyal. Saya membagikan tulisan tersebut ke dinding Facebook saya, dan
saya tambahi narasi tentang pengalaman saya bersinggungan dengan perempuan
dan rokok. Unggahan saya tadi mendapat banyak respons dari teman-teman
Facebook saya. Rata-rata mereka bercerita pengalamannya masing-masing tentang
hubungan perempuan dan rokok. Sebenarnya tidak ada masalah dengan komentar
mereka sampai ada seseorang yang menghubungi saya via pesan pribadi. Dia mengaku kecewa dengan saya karena
menurutnya saya membagikan info yang sesat dan mengajak perempuan untuk
melakukan perbuatan yang tidak benar, yaitu merokok. Katanya mau jadi apa
perempuan kalau diberi legitimasi untuk merokok. Ia juga menduga kalau saya
membagikan tulisan itu karena saya adalah teman seorang seleb Facebook yang
terkenal dengan aktivitas merokoknya. Eh, lhadalah kok jadi ke mana-mana!
Saya pun menjelaskan pelan-pelan. Persinggungan saya dengan rokok dimulai
dari ibu saya yang suka menyetok kertas papir atau di tempat kami disebut
seg. Kertas papir ini selain digunakan untuk menjatah para pekerja di sawah
yang suka merokok tingwe (linting dhewe, melinting sendiri) juga untuk
memberi catatan untuk murid-murid ibu saya. Ibu saya dulunya guru Taman
Kanak-Kanak. Seg itu biasanya digunakan untuk mencatat biaya SPP yang belum
dibayarkan murid-muridnya. Catatan itu yang diberikan kepada muridnya untuk
disampaikan kepada orangtuanya. Ibu saya sering bingung karena seg-nya
hilang. Tentu saja pelakunya adalah saya. Saya suka mengambil seg itu untuk
saya emut karena rasanya manis. Kertas papir yang paling saya sukai adalah
yang bercap Nanas. Entahlah, manisnya pas menurut lidah saya. Kertas papir
merek ini juga yang dibuat kocokan arisan ibu-ibu di desa saya. Bapak saya perokok. Sepanjang yang saya
ingat dia suka merokok merek Bentoel, Tuton, dan yang terakhir yang lebih
sering adalah Senior. Ini mungkin akan menjadi perdebatan sekarang soal bad
parenting ya, tapi sejak kecil saya sering disuruh bapak saya membeli rokok.
Biasanya saya minta upah jajan chiki-chiki atau kalau di desa saya
menyebutnya busbus bermerek Gulai Ayam. Saya juga sering ditugaskan ibu atau simbah
putri saya menyiapkan rokok di gelas kalau ada acara slametan di rumah atau
digunakan sebagai pelengkap pancen (semacam sesaji untuk leluhur). Saya jadi
terbiasa dengan bau tembakau meski orangtua saya kurang suka menanam tembakau
karena malas ribet dan lebih suka menanam tanaman pangan. Latar belakang saya
yang besar di lingkungan nahdliyin itulah yang membuat saya tidak kaget
ketika membaca tulisan dari Farah Firyal tentang hubungan perempuan dan
kretek. Di sebagian besar masyarakat kita rokok
masih mempunyai jenis kelamin, seolah-olah hanya laki-laki yang boleh
merokok. Perempuan yang merokok akan dicap sebagai perempuan urakan dan
nakal. Padahal banyak teman-teman saya, perempuan yang merokok ini berasal
dari kalangan pesantren atau orang biasa namun perangainya sungguh lemah
lembut, girly, anak rumahan lagi. Asli, kalau soal cuwawakan, pulang malam,
campur baur antara laki-laki dan perempuan, saya lebih juara daripada mereka.
Dan saya tidak merokok. Stereotip perempuan merokok yang nakal dan cuwawakan
jadi tidak valid. Saya punya beberapa teman baik, perempuan
berjilbab dan bahkan bercadar yang merokok. Kebanyakan mereka lulusan pondok
pesantren dan bahkan beberapa di antaranya adalah para Ning (sebutan untuk
putri kiai di Jawa). Pernah suatu saat ada acara burdahan di rumah seorang
teman. Setelah acara selesai, beberapa perempuan teman saya ini ke balkon
belakang rumah untuk ngopi dan merokok. Saya melihat Sampoerna Mild dan LA
biru di sana. Saya sempat mewawancarai mereka. "Njenengan napa mboten wantun ngeses
teng ngajeng, Ning?" tanya saya kepada seorang teman. Saya bertanya
kenapa ia tidak berani merokok di depan publik. "Wah mangke geger, Mbak Impian. Mpun,
ngudud ngge piyambak mawon," teman saya menjawab nanti bisa jadi ribut,
jadi merokok untuk pribadi saja. Dan ini diamini oleh teman-teman lain yang
ada di situ. Saya maklum, mereka paham kalau merokok
masih identik dengan laki-laki atau perempuan yang tidak baik, jadi lebih
baik merokok buat diri sendiri saja. Mereka bercerita kalau sebenarnya di
pesantren NU hal itu biasa. Beberapa Bunyai (istri kiai) juga merokok. Saya
teringat cerita teman saya, seorang Gus, yang dulu sering didhawuhi ibunya
untuk membeli rokok. Bunyai ibunya Gus ini suka merokok merek Surya 16. Kalau teman-teman saya yang dari kalangan
pesantren ini memilih menyembunyikan kebiasaannya, ada teman saya lagi yang
memilih terang-terangan. Ia teman satu almamater saya yang sekarang sudah
menjadi penyair yang cukup dikenal dan mendapatkan suami seorang penyair
juga. Ia perempuan berjilbab dan berasal dari keluarga Muhammadiyah. Menurut
saya unik, karena kalau Nahdlatul Ulama lebih luwes menghukumi rokok, tidak
dengan Muhammadiyah. Jadi teman saya ini jadi triple minority; sudah
perempuan, berjilbab, dari keluarga Muhammadiyah pula. Ia senang sekali ketika saya membagikan
tulisan Farah Firyal yang ada kutipan dari Kitab Hasyiatul Bajuri karangan
Syekh Al Bajuri. Syekh Al Bajuri dhawuh bahwa jika seorang suami memiliki
istri yang punya kebiasaan meminum kopi dan merokok, maka suami wajib
menyediakan nafkah tersebut. Begini kutipan yang saya dapat, "Wajib juga
untuk istri (bagi suami) buah-buahan yang banyak dijumpai di masa itu...juga
kopi dan rokok jika istri terbiasa meminum kopi dan merokok." Teman saya senang sekali karena katanya
suaminya adalah suami yang pengertian dengan tidak lupa untuk memberi nafkah
rokok buatnya. Di luar ranah kesehatan, perempuan memang punya hak untuk
merokok. Cerita lain soal rokok saya dapatkan dari
teman-teman Facebook saya. Seorang teman bercerita kalau kebiasaan merokok
sebenarnya berasal dari kebiasaan nginang (menguyah sirih dan pinang) oleh
mbah-mbahnya terdahulu. Mulai generasi ibunya, kebiasaan nginang ini
ditinggalkan. Alasannya waktu itu ibunya sudah sekolah ke luar kota. Jadi
wagu dong, di kota kok masih nyusur (susur ini tembakau rajang kering yang
dibentuk bulat-bulat yang biasa untuk membersihkan mulut setelah nginang). Apalagi nginang ini kan dipandang jorok
karena ludahnya berwarna merah. Jadi ibu teman saya ini memilih merokok
sebagai pengganti nginang, yang diteruskan oleh teman saya walau sekarang ia
berhenti. Saya juga ingat pengasuh sepupu saya dulu juga merokok. Ia biasa
dijatah rokok oleh Pakdhe saya. Tentu saja ia tidak boleh merokok di depan
anaknya yang masih bayi. Walau saya bukan perokok, tapi saya memang
punya ketertarikan kepada tembakau dan rokok, terutama kretek. Saya mengagumi
tokoh Rara Mendut yang dikenal dengan ludahnya yang manis. Kekaguman yang
sama ketika membaca novel Gadis Kretek dengan tokoh Dasiyah atau Jeng Yah
ciptaan Ratih Kumala. Jeng Yah ini adalah Rara Mendut versinya. Gadis yang
terkenal karena ludahnya yang manis. Saya juga membaca buku tentang Pak
Djamhari penemu kretek, dan saya lanjutkan dengan membaca novel Sang Raja
karya Iksaka Banu tentang kisah hidup pendiri pabrik rokok Bal Tiga di Kudus,
Pak Nitisemito. Bahkan saya minta tolong teman saya di
Kudus untuk menemani saya ziarah ke makam Pak Nitisemito sekaligus napak
tilas latar novel tersebut. Sungguh menyenangkan berkeliling kota Kudus
karena bau tembakau senantiasa semriwing. Saya sering diledek teman saya
karena pernah jatuh cinta dengan seseorang yang bau keringatnya mirip bau
rokok almarhum bapak saya. Tentu saja teman saya meledek karena kisah cinta
saya berakhir ngenes. Teman Facebook yang memprotes saya lewat
pesan pribadi tadi masih keukeuh dengan argumennya tentang sesatnya tulisan
yang saya bagikan. Ia bercerita tentang menyebalkannya orang yang merokok
sambil berkendara. Dengan nada yang marah ia bercerita kalau roknya bolong
terkena percikan api dari perokok di jalan. Lho, jangan salah, saya memang
tidak anti-rokok, tapi kalau saya jadi dirinya pun juga akan misuh-misuh
kalau melihat orang merokok sambil berkendara. Saya juga akan marah dengan orang yang
merokok di depan bayi dan perempuan yang sedang mengandung atau orang merokok
di ruangan ber-AC, misalnya. Mereka jelas melanggar peraturan, mau laki-laki
atau perempuan ya sama saja. Jelas saja mereka melanggar aturan berkendara
dan membahayakan orang lain, tapi soal rokok itu urusan lain. Agak lama ia tidak membalas sampai saya
berkesimpulan kalau ia sudah mengakhiri obrolan kami. Ketika saya mau
mematikan handphone untuk di-charge, ia membalas pesan saya lagi. Mbak Impian
ini kok dari tadi membela perokok, mendukung perempuan untuk merokok.
Jangan-jangan aslinya sampeyan ini perokok juga kan? Saya menepuk jidat. Halah, wis angel,
angel. Angel tenan tuturanmu! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar