Terbitnya
Supersemar dan Peralihan Kekuasaan di Tubuh AURI Muhammad Fakhriansyah ; Wartawan Tirto |
TIRTO,
11 Maret
2021
Tanggal 11 Maret 1966, tepat hari ini 55
tahun lalu, Supersemar terbit. Surat ini berisi perintah Presiden Sukarno
kepada Soeharto selaku Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib), untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna
mengawal jalannya pemerintahan. Kala itu, demonstrasi besar-besaran terjadi
sebagai reaksi atas kekacauan politik dan ekonomi pasca G30S. Para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan
Rakyat (Tritura) kepada pemerintah yang isinya: bubarkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan
harga. Presiden Sukarno menghadapi situasi sulit.
Ia akhirnya mengajak demonstran berdialog di Istana Negara pada 15 Januari
1966, dan melakukan reshuffle kabinet pada 21 Februari 1966. Namun, alih-alih
memuaskan masyarakat, kebijakan itu justru menambah kekecewaan dan amarah
demonstran. Dialog justru membuat keadaan semakin panas. Sedangkan reshuffle
kabinet tidak sepenuhnya memenuhi Tritura, sebab presiden tetap
mempertahankan menteri-menteri yang dinilai terafiliasi dengan PKI. Secara
bersamaan, kondisi ekonomi pun kian memburuk hingga menambah rumit keadaan. Akibatnya, pada 23 Februari 1966,
demonstrasi besar-besaran kembali terjadi di depan Istana Negara hingga
menimbulkan bentrokan. Seorang demonstran dari Universitas Indonesia, Arif
Rahman Hakim, tewas tertembak. “Kali ini demonstran tidak diterima dengan
pidato tetapi disambut peluru dan bayonet. Hari itu sembilan orang ditembak
dan dibayonet. Banyak di antara mereka telah ditembak dari belakang oleh
Tjakrabirawa (Pasukan pengawal presiden). […] Mereka (mahasiswa) marah sekali
karena demonstrasi tak bersenjata telah ditembaki secara kejam,” tulis Soe
Hok Gie dalam Zaman Peralihan (2005). Setelah peristiwa itu, para demonstran yang
didominasi mahasiswa merencanakan kembali aksi besar-besaran di depan istana
bertepatan dengan agenda rapat kabinet. Pada tanggal yang ditetapkan, sejak pagi
mereka telah memenuhi jalanan ibu kota. Dan hari itu juga, saat Presiden
Sukarno memimpin rapat, tiba-tiba ia mendapat informasi dari ajudannya--Brigjen
Sabur--bahwa terdapat kelompok tak dikenal di tengah-tengah demonstran,
bahkan kabarnya sudah masuk ke lingkungan istana. Laporan tersebut berbeda dengan informasi
yang diterima presiden dari Amir Machmud, penanggung jawab keamanan ibu kota,
bahwa keadaan dijamin aman. Presiden Sukarno pun segera meninggalkan ruang
sidang dan pergi ke Istana Bogor menggunakan helikopter. Tak lama sejak Presiden Sukarno sampai di
Istana Bogor, tiga orang perwira menghadap kepadanya: M. Jusuf, Amir Machmud,
dan Basuki Rahmat. Mereka datang menyampaikan pesan dari Soeharto bahwa ia
bersedia untuk melaksanakan tugas mengendalikan situasi. Mendengar pesan itu, presiden menyetujui
kesediaan Soeharto. Bersama wakil perdana menteri (waperdam) dan tiga perwira
tersebut, presiden kemudian merumuskan konsep surat perintah. Setelah
berdiskusi dan kemudian diketik, Sukarno akhirnya menandatanganinya. Sejarawan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia
Modern (2008: 568) menyebutkan bahwa dengan memperoleh Supersemar, “Soeharto
dan para pedukungnya kini menghancurkan sisa-sisa demokrasi terpimpin di
hadapan Sukarno yang marah tapi tak mampu berbuat apa-apa.” Berawal dari sini, pembersihan dilakukan
terhadap anggota dan simpatisan PKI, juga orang-orang yang dituduh terlibat dan
sejumlah lembaga negara. Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), menjadi
salah satu sasaran pembersihan. Kisruh
di Tubuh AURI Setelah G30S, AURI berada di posisi sulit.
Institusi yang disebut Rickfles sebagai, “angkatan yang setia kepada Presiden
Soekarno ketika hari-hari terakhirnya,” menjadi sorotan karena diduga
mendukung tragedi berdarah itu. Pamor AURI yang sebelumnya berada di titik
tertinggi langsung menurun drastis. Lubang Buaya, tempat ditimbunnya para
jenderal di sumur maut, tak jauh dari Bandara Halim Perdanakusumah, markas
AURI. Marsekal Madya Omar Dhani selaku Menteri/Panglima Angkatan Udara
(Men/Pangau), juga dituduh terlibat dalam gerakan tersebut. Presiden Sukarno, seperti dikutip dalam
Kronik’65 (2017), meluruskan tudingan itu dengan mengatakan bahwa AURI tidak
ada sangkut pautnya dengan gerakan G30S. Ia juga berpesan agar tidak mengadu
domba antara AURI dengan AD. Beberapa penelitian juga menyebut AURI
tidak terlibat dalam peristiwa itu, salah satunya seperti yang diungkapkan
sejarawan John Rossa. Dalam Dalih Pembunuhan Massal (2006: 64), Rossa
menyebutkan, walaupun pimpinan G30S berpangkalan di Halim, tetapi tidak ada
bukti mereka bekerja dengan orang lain dari AURI selain Mayor Soejono.
Penggunaan fasilitas AURI hanya inisiatif Mayor Soejono. Meski demikian, bantahan-bantahan itu tak
mampu menolong AURI dari pembersihan. Bahkan sebelumnya, yakni pada November
1965, Omar Dhani digantikan oleh Sri Mulyono Herlambang. Dan Sri Mulyono
Herlambang pun hanya menjabat selama empat bulan karena ikut disingkirkan.
Penggantinya adalah Rusmin Nuryadin. Menurut Sejarawan Humaidi dalam tesisnya
yang berjudul “Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia dalam
Pemerintahan Sukarno tahun 1962-1967” (2008), penggantian Men/Pangau Omar
Dhani dan Sri Mulyono Herlambang tidak lepas dari kedekatan kedua tokoh itu
dengan Sukarno. Salah satu momen dalam internal AURI
setelah supersemar yang menunjukkan pembersihan atau netralisasi adalah
Peristiwa Tanah Abang Bukit pada 28 Maret 1966. Seperti dipaparkan Humaidi,
kala itu Sri Mulyono Herlambang yang masih menjadi Men/Pangau mengadakan
rapat di Mabes AURI yang terletak di Tanah Abang Bukit. Rapat itu oleh Rusmin
Nuryadin (Ketua Dewan AURI) dicurigai sebagai tindakan penggalangan Sri
Mulyono untuk mempertahankan jabatan Men/Pangau yang posisinya terancam. Komodor Suyitno Sukirno, perwira di kubu
Rusmin, kemudian meminta bantuan Kostrad hingga datanglah enam panser
Angkatan Darat yang mengepung Mabes AURI. Situasi semakin memanas ketika
Komodor Suyitno masuk ke dalam ruangan rapat dan mengajak Laksdya Sri Mulyono
Herlambang berduel sambil mengeluarkan pistol. Untungnya situasi buruk itu
sempat diredakan oleh Komodor Andoko. “Tindakan Suyitno yang mengandalkan
kekerasan, justru menunjukkan sikap yang tidak demokratis dalam menyelesaikan
masalah. Padahal, sebagai sesama perwira AURI terdapat forum musyawarah untuk
menyelesaikan permasalahan bersama. Di samping itu, tindakan Komodor Suyitno
tidak sesuai sapta marga dalam menghargai seorang atasan dan perwira yang
berpangkat lebih tinggi,” tulis Humaidi (hlm. 110) Pada 31 Maret 1966, Rusmin Nuryadin menjadi
Men/Pangau. Hal ini menjadi babak baru dalam dinamika internal AURI. Ia
dikenal sebagai perwira yang dekat dengan Angkatan Darat sehingga banyak yang
mengaitkan kenaikan jabatan Rusmin sebagai perpanjangan tangan Angkatan Darat
di tubuh AURI. Apalagi sebelumnya, pengangkatan Rusmin didasarkan bukan atas
kehendak Sukarno, melainkan berdasarkan diskusi para Dewan AURI yang
mayoritas adalah perwira pendukung Angkatan Darat. Jika sebelumnya terlihat indikasi mendukung
Sukarno, maka setelah supersemar dan ditunjuknya Rusmin menjadi Men/Pangau,
AURI justru mendukung upaya peralihan kekuasaan. Sejak itulah terjadi
perubahan di tubuh AURI. Padahal saat itu AURI adalah salah satu kekuatan
militer udara terkuat di belahan dunia selatan, dan sangat mungkin untuk
membela serta mempertahankan panglima tertingginya (Presiden Sukarno) ketika
kekuasaannya sedang digerogoti. Namun, tulis Humaidi, "apabila AURI
bertindak membela Presiden Sukarno dengan kekuatan bersenjata, maka akan
menimbulkan perang saudara sesama angkatan bersenjata, sehingga AURI memilih
mempraktikkan doktrin 'Swa Bhuana Phaksa' dengan memilih keutuhan AURI, ABRI,
dan NKRI.” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar