Jumat, 12 Maret 2021

 

Menyalakan Imajinasi Politik Miraj, Mewujudkan Biopolitik Sehat

 Riant Nugroho  ; Pengajar FISIP Universitas Achmad Yani; Direktur Institute for Policy Reform

                                                        KOMPAS, 11 Maret 2021

 

 

                                                           

Kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama adalah moderasi kehidupan beragama. Khas dalam dimensi keunikan suatu bangsa, dan dalam dimensi waktu, yaitu waktu sekarang ini.

 

Kebijakan moderasi dapat dipahami sebagai bentuk kegelisahan bangsa akan arah perjalanan keberagamaan di masa depan. Sangat serius, karena kita telah sepakat menjadikan seluruh warganegara Indonesia sebagai warganegara yang beragama. Di tengah kemajemukannya, kehidupan beragama perlu mendapatkan fondasi kebijakan yang sesuai.

 

Budaya bawaan

 

Setiap agama tampaknya memiliki ”budaya khas”. Uniknya lagi, ada yang dibawa dari tempat di mana agama tersebut diwahyukan pertama kali, ada pula dari tempat di mana penyebaran agama tersebut dimulai.

 

Hindu, yang masuk Indonesia sekitar abad ke-4, diwarnai budaya India. Buddha, yang masuk abad ke-5, diwarnai budaya Tiongkok (China). Islam, yang memiliki empat teori kedatangan dan asal, Arab (abad ke-7), China (abad ke-9), Gujarat (abad ke-13), Persia (abad ke-13), tampaknya membawa budaya Timur Tengah, khususnya Arab.

 

Meski demikianh, setelah berada di Nusantara selama berabad-abad, terjadi penyelarasan budaya dengan budaya setempat. Ada yang memang menjadi ekstrem hingga terbentuk sinkretisme agama, ada yang berhenti di kehidupan beragamanya. Namun, ada yang tetap mempertahankan kemurnian budaya bawaannya meski tidak menjadi dominan.

 

Penyelarasan budaya dapat dinilai sebagai kunci keberhasilan para pendiri bangsa membentuk Republik Indonesia, dan berlanjut hingga saat ini. Namun, proses alamiah yang tidak pernah disadari adalah bahwa Indonesia hadir sebagai sebuah sistem yang terbuka.

Interaksi antarbangsa terjadi sejak interaksi perdagangan hingga interaksi kebijakan politik antarnegara. Interaksi itu membawa perubahan di dalam negeri yang sepertinya diabaikan oleh pembuat kebijakan.

 

Agama sebagai peradaban

 

Tidak jelas, apakah buku Samuel Huntington The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996) yang merupakah lanjutan tulisannya di jurnal Foreign Affairs (1993) merupakan premis atas kondisi dunia saat ini, atau preview dari kondisi dunia akan datang, atau justru dunia yang akan diciptakan melalui kebijakan suatu negara tertentu.

 

Dunia yang dibagi antara kekuatan peradaban Kristen/Katolik, Islam, India (Hindu), dan Tiongkok (Buddha). Selain pemilahan tersebut, hal yang spesial adalah karena agama dikriteriakan sebagai peradaban.

 

Gerakan pemurnian agama yang berbasis di Timur Tengah tampaknya semakin mengkristal sejak tahun-tahun tersebut. Di Indonesia, dimulai dari munculnya gerakan klandestin hingga kemudian terbentuk semacam aliansi cendekiawan dalam naung keagamaan tertentu.

 

Gerakan yang dipromotori oleh elite politik dan birokrat (plus teknokrat) tersebut menjadi gerakan yang menentukan hingga seleksi mereka yang dapat masuk ”elite” atau tidak.

 

Pascareformasi, kebebasan berpolitik memberi ruang kepada gerakan-gerakan massa dengan gagasan pemurnian agama, untuk membentuk kekuatan politik peserta pemilu.

 

Kemenangan koalisinya memberi hasil kedudukan elite pemerintahan, dan secara efektif menjadi instrumen pengembangan jaringan yang solid, meluas, dan sah. Lagi, kebijakan publik membuat ruang yang lebar bagi immoderasi kehidupan beragama.

 

Elite membawa sebuah fakta baru: peradaban bangsa berpola pemurnian kehidupan beragama dalam bentuk membawa peradaban asal agama dalam model kehidupan beragamanya. Peradaban adalah bentuk matang dari suatu budaya karena sudah termasuk di dalamnya perilaku fisik hingga perilaku kejiwaan.

 

Tanpa proses penyelarasan, yang terjadi adalah interaksi budaya yang frontal di bawah doktrin keyakinan agama. Dalam posisi sosial, budaya lokal mungkin menang. Namun, dengan cerdas, pendekatan man-to-man dan group-to-group, memenangkan budaya pendatang berupa peradaban pemurnian tersebut. Itulah yang menjadi kerisauan yang bermuara kepada munculnya kebijakan moderasi kehidupan beragama.

 

Kebijakan yang efektif

 

”Di atas kertas”, kondisinya memang agak pesimistik. Kebijakan-kebijakan sejak tahun 1990-an telanjur mendistorsi kehidupan beragama yang dimaksud: toleransi antarpemeluk agama.

 

Sebagian kebijakan yang berusaha dibangun berkesan seperti ”melodrama”, yaitu pergelaran dengan lakon yang sangat sentimental, mendebarkan, dan mengharukan, yang lebih mengutamakan ketegangan daripada kebenaran. Sebagian kebijakan yang ada pada hari ini pun menyumbang distorsi tersebut secara sistemik.

 

Sementara itu, buku-buku teks masa depan dari George Friedman (The Next 100 Years, 2009; The Next Decade, 2010) menyebut ”Indonesia” dalam konteks yang tidak begitu penting. Novel Ghost Fleet (2015) dari dua pakar militer inernasional, P. W. Singer dan August Cole, sepintas menyebut ”bekas Republik Indonesia” yang punah karena ada semacam radikalitas yang menciptakan civil war bernama ”perang Timor II”.

 

Jadi, bagaimana membangun kebijakan moderasi yang efektif? Pertama, ketahui dulu, apa yang diperlukan bangsa ini. Kedua, pilih wording yang melekat di telinga bangsa, tidak perlu wording baru yang perlu rebranding yang lama dan mahal. Ketiga, bangun dalam pola sistemik dan sistematik—tidak bisa secara sporadis dan proyek.

 

Kebutuhan bangsa kita adalah kehidupan beragama antarumat berbeda agama yang saling menghormati, menjaga, dan mengasihi. Kata atau brand yang sudah akrab di telinga bangsa kita adalah toleransi.

 

Moderasi mungkin brand yang baru dan lebih milenial, namun masalah kita bukan masalah itu. Kebijakan yang sistemik berupa kebijakan toleransi keberagamaan di setiap sektor, mulai pendidikan hingga keuangan. Sistematik berarti ibarat reaksi fusi: satu menembak dua, dua menembak empat, empat menembak enam belas, dan seterusnya.

 

Ini adalah tantangan kebijakan. Agenda Menteri baru, seberapa hebat, canggih, dan efektif mengarusutamakannya di dalam setiap kebijakan di setiap sektor dan daerah di Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar