Menyalakan
Imajinasi Politik Miraj, Mewujudkan Biopolitik Sehat Riant Nugroho ; Pengajar FISIP Universitas Achmad Yani; Direktur Institute
for Policy Reform |
KOMPAS,
11 Maret
2021
Kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh
Kementerian Agama adalah moderasi kehidupan beragama. Khas dalam dimensi
keunikan suatu bangsa, dan dalam dimensi waktu, yaitu waktu sekarang ini. Kebijakan moderasi dapat dipahami sebagai
bentuk kegelisahan bangsa akan arah perjalanan keberagamaan di masa depan.
Sangat serius, karena kita telah sepakat menjadikan seluruh warganegara
Indonesia sebagai warganegara yang beragama. Di tengah kemajemukannya,
kehidupan beragama perlu mendapatkan fondasi kebijakan yang sesuai. Budaya
bawaan Setiap agama tampaknya memiliki ”budaya
khas”. Uniknya lagi, ada yang dibawa dari tempat di mana agama tersebut
diwahyukan pertama kali, ada pula dari tempat di mana penyebaran agama
tersebut dimulai. Hindu, yang masuk Indonesia sekitar abad
ke-4, diwarnai budaya India. Buddha, yang masuk abad ke-5, diwarnai budaya
Tiongkok (China). Islam, yang memiliki empat teori kedatangan dan asal, Arab
(abad ke-7), China (abad ke-9), Gujarat (abad ke-13), Persia (abad ke-13),
tampaknya membawa budaya Timur Tengah, khususnya Arab. Meski demikianh, setelah berada di
Nusantara selama berabad-abad, terjadi penyelarasan budaya dengan budaya
setempat. Ada yang memang menjadi ekstrem hingga terbentuk sinkretisme agama,
ada yang berhenti di kehidupan beragamanya. Namun, ada yang tetap
mempertahankan kemurnian budaya bawaannya meski tidak menjadi dominan. Penyelarasan budaya dapat dinilai sebagai
kunci keberhasilan para pendiri bangsa membentuk Republik Indonesia, dan
berlanjut hingga saat ini. Namun, proses alamiah yang tidak pernah disadari
adalah bahwa Indonesia hadir sebagai sebuah sistem yang terbuka. Interaksi antarbangsa terjadi sejak
interaksi perdagangan hingga interaksi kebijakan politik antarnegara.
Interaksi itu membawa perubahan di dalam negeri yang sepertinya diabaikan
oleh pembuat kebijakan. Agama
sebagai peradaban Tidak jelas, apakah buku Samuel Huntington
The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996) yang
merupakah lanjutan tulisannya di jurnal Foreign Affairs (1993) merupakan
premis atas kondisi dunia saat ini, atau preview dari kondisi dunia akan
datang, atau justru dunia yang akan diciptakan melalui kebijakan suatu negara
tertentu. Dunia yang dibagi antara kekuatan peradaban
Kristen/Katolik, Islam, India (Hindu), dan Tiongkok (Buddha). Selain
pemilahan tersebut, hal yang spesial adalah karena agama dikriteriakan
sebagai peradaban. Gerakan pemurnian agama yang berbasis di
Timur Tengah tampaknya semakin mengkristal sejak tahun-tahun tersebut. Di
Indonesia, dimulai dari munculnya gerakan klandestin hingga kemudian
terbentuk semacam aliansi cendekiawan dalam naung keagamaan tertentu. Gerakan yang dipromotori oleh elite politik
dan birokrat (plus teknokrat) tersebut menjadi gerakan yang menentukan hingga
seleksi mereka yang dapat masuk ”elite” atau tidak. Pascareformasi, kebebasan berpolitik
memberi ruang kepada gerakan-gerakan massa dengan gagasan pemurnian agama,
untuk membentuk kekuatan politik peserta pemilu. Kemenangan koalisinya memberi hasil
kedudukan elite pemerintahan, dan secara efektif menjadi instrumen
pengembangan jaringan yang solid, meluas, dan sah. Lagi, kebijakan publik
membuat ruang yang lebar bagi immoderasi kehidupan beragama. Elite membawa sebuah fakta baru: peradaban
bangsa berpola pemurnian kehidupan beragama dalam bentuk membawa peradaban
asal agama dalam model kehidupan beragamanya. Peradaban adalah bentuk matang
dari suatu budaya karena sudah termasuk di dalamnya perilaku fisik hingga
perilaku kejiwaan. Tanpa proses penyelarasan, yang terjadi adalah
interaksi budaya yang frontal di bawah doktrin keyakinan agama. Dalam posisi
sosial, budaya lokal mungkin menang. Namun, dengan cerdas, pendekatan
man-to-man dan group-to-group, memenangkan budaya pendatang berupa peradaban
pemurnian tersebut. Itulah yang menjadi kerisauan yang bermuara kepada
munculnya kebijakan moderasi kehidupan beragama. Kebijakan
yang efektif ”Di atas kertas”, kondisinya memang agak
pesimistik. Kebijakan-kebijakan sejak tahun 1990-an telanjur mendistorsi
kehidupan beragama yang dimaksud: toleransi antarpemeluk agama. Sebagian kebijakan yang berusaha dibangun
berkesan seperti ”melodrama”, yaitu pergelaran dengan lakon yang sangat
sentimental, mendebarkan, dan mengharukan, yang lebih mengutamakan ketegangan
daripada kebenaran. Sebagian kebijakan yang ada pada hari ini pun menyumbang
distorsi tersebut secara sistemik. Sementara itu, buku-buku teks masa depan
dari George Friedman (The Next 100 Years, 2009; The Next Decade, 2010)
menyebut ”Indonesia” dalam konteks yang tidak begitu penting. Novel Ghost
Fleet (2015) dari dua pakar militer inernasional, P. W. Singer dan August
Cole, sepintas menyebut ”bekas Republik Indonesia” yang punah karena ada
semacam radikalitas yang menciptakan civil war bernama ”perang Timor II”. Jadi, bagaimana membangun kebijakan
moderasi yang efektif? Pertama, ketahui dulu, apa yang diperlukan bangsa ini.
Kedua, pilih wording yang melekat di telinga bangsa, tidak perlu wording baru
yang perlu rebranding yang lama dan mahal. Ketiga, bangun dalam pola sistemik
dan sistematik—tidak bisa secara sporadis dan proyek. Kebutuhan bangsa kita adalah kehidupan
beragama antarumat berbeda agama yang saling menghormati, menjaga, dan
mengasihi. Kata atau brand yang sudah akrab di telinga bangsa kita adalah
toleransi. Moderasi mungkin brand yang baru dan lebih
milenial, namun masalah kita bukan masalah itu. Kebijakan yang sistemik
berupa kebijakan toleransi keberagamaan di setiap sektor, mulai pendidikan
hingga keuangan. Sistematik berarti ibarat reaksi fusi: satu menembak dua,
dua menembak empat, empat menembak enam belas, dan seterusnya. Ini adalah tantangan kebijakan. Agenda
Menteri baru, seberapa hebat, canggih, dan efektif mengarusutamakannya di
dalam setiap kebijakan di setiap sektor dan daerah di Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar