Semangat
Ubuntu dan Tat Twam Asi di Masa Pandemi Robert Sitorus ; ASN Kementerian Sosial RI |
KOMPAS,
19 Maret
2021
“A
person with Ubuntu is open and available to others, affirming of others, does
not feel threatened that others are able and good, based from a proper
self-assurance that comes from knowing that he or she belongs in a greater
whole and is diminished when others are humiliated or diminished, when others
are tortured or oppressed.”
Kutipan di atas merupakan penjelasan Uskup
Agung Desmond Tutu tentang 'ubuntu' dalam bukunya yang berjudul No Future
Without Forgiveness. Kata ‘ubuntu’ merupakan kata yang berasal dari bahasa
asli Afrika Selatan yang berarti ‘saya karena kita’.
Konsep dan filosofi yang terkandung dalam
ubuntu sangat menekankan hubungan seseorang terhadap lingkungan sekitarnya
baik keluarga maupun masyarakat. Setiap orang bertanggung jawab terhadap
orang di sekitarnya. Keberadaan seseorang ditentukan oleh orang-orang di
sekitarnya.
Ubuntu merupakan prinsip dalam mencapai
solidaritas sosial dan upaya pemahaman akan keterhubungan sosial. Ubuntu
menegaskan bahwa dalam dunia ini manusia terhubung satu dengan yang lain
mulai dari cakupan keluarga, masyarakat, nasional, regional bahkan global.
Sehingga apa yang terjadi dengan orang lain tidak terlepas dari peran kita.
Ubuntu sangat terkenal karena sering digunakan oleh dua tokoh Afrika Selatan
peraih Nobel Perdamaian yaitu Nelson Mandela dan Desmon Tutu.
Bangsa Indonesia sendiri memiliki warisan
filosofi yang mempunyai makna sama dengan ubuntu yaitu ‘Tat Twam Asi’. Tat
Twam Asi berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kamu adalah aku dan aku
adalah kamu. Makna yang terkandung dalam semboyan ini adalah apa yang dirasakan
oleh orang lain juga kira rasakan dan apa yang kita rasakan juga dirasakan
oleh orang lain. Seluruh umat manusia saling terhubung satu dengan yang lain.
Sehingga apa yang kita lakukan terhadap orang lain pada dasarnya kita lakukan
terhadap diri sendiri. Semboyan ini mendorong kita untuk berbuat baik
terhadap sesama manusia.
Filosofi ubuntu dan tat twam asi merupakan
suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia, terlebih pada masa pandemi
Covid-19. Pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia, tidak memandang negara,
ras, agama. Seluruh umat manusia terdampak pandemi Covid-19. Untuk mencegah
penyebaran lebih luas Covid-19 maka pemerintah mengeluarkan aturan PSBB dan
PPKM. Kegiatan sehari-hari masyarakat dibatasi dan dilakukan sebisa mungkin
dari rumah baik bekerja, belajar maupun beribadah.
Pembatasan kegiatan masyarakat tersebut
mengakibatkan roda perekonomian melambat dan pertumbuhan ekonomi menurun.
Dampak langsung bagi masyarakat adalah menurunnya bahkan hilangnya
penghasilan. Sejak pandemi Covid-19, banyak pekerja yang dirumahkan bahkan
mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kementerian Ketenagakerjaan
menyatakan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia bertambah 2,6 juta orang
menjadi 9,7 juta orang pada tahun 2020.
Pekerja yang dirumahkan dan di PHK mengalami
daya beli yang melemah. Melemahnya daya beli masyarakat membuat angka
kemiskinan meningkat. Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa penduduk miskin
bertambah 2,7 juta jiwa menjadi 27,5 juta jiwa penduduk miskin pada tahun
2020. Kejadian ini tidak hanya di alami oleh Indonesia namun hampir seluruh
negara di dunia.
Dalam keadaan ini, kita diingatkan kembali
oleh prinsip ubuntu dan tat twam asi. Prinsip tersebut dinyatakan dengan
solidaritas sosial masyarakat untuk membantu sesama. Sejak pemerintah menyatakan
pandemi Covid-19 di Indonesia, sejak saat itu juga mulai muncul semangat
ubuntu dan tat twam asi.
Dimulai dari keprihatinan terhadap minimnya
Alat Pelindung Diri (APD) bagi para tenaga kesehatan, masyarakat
mengkoordinir bantuan APD kepada Satgas Covid-19. Satgas Covid-19 selanjutnya
menyalurkan ke rumah sakit yang kekurangan APD.
Semangat ubuntu dan tat twam asi juga
ditunjukkan masyarakat melalui pemberian nasi bungkus kepada pekerja sektor
informal khususnya tukang ojek. Beberapa organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan memberikan bantuan sembako kepada warga yang terdampak pandemi
Covid-19. Kita juga menyaksikan sifat kebersamaan masyarakat ketika ada warga
yang positif Covid-19 dan isolasi mandiri di rumah. Para tetangga tanpa
diminta membantu menyediakan kebutuhan pasien yang isolasi mandiri tersebut.
Ketika kekebalan kelompok ini dapat
tercapai maka kelompok masyarakat yang tidak dapat divaksin juga dapat
terlindungi. Jadi vaksinasi tidak bicara tentang diri sendiri tetapi juga
sesama kita yang nasibnya tergantung kepada kita yang bisa di vaksin.
Kesadaran tentang pentingnya vaksinasi
Covid-19 bagi terbentuknya kekebalan kelompok perlu intensif dilakukan.
Seperti makna ubuntu yang mengatakan bahwa aku karena kita maka dalam masa
Pandemi Covid-19 ini ubuntu bisa dimaknai ‘aku sehat karena kita divaksin’.
Demikian juga makna tat twam asi bisa dimaknai jika kita ingin melindungi
sesama kita maka kita harus mau divaksin.
Ketika program vaksinasi Covid-19 ini mulai
disosialisasikan, beberapa anggota masyarakat menyatakan penolakannya dengan
berbagai alasan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan, WHO dan UNICEF memperlihatkan bahwa sebanyak 64,8% responden
bersedia divaksin dan 7,6% responden menolak divaksin. Sedangkan yang masih
ragu-ragu sebanyak 27,6%. Dari responden yang menolak divaksin sebanyak 52%
alasannya adalah tidak yakin dengan keamanan dan kemanjurannya.
Mencapai kekebalan kelompok bukan hanya
tugas pemerintah tetapi juga tugas seluruh masyarakat Indonesia. Target
pemerintah untuk vaksinasi 181,5 juta penduduk atau sekitar 70% penduduk
Indonesia menjadi tanggung jawab setiap individu. Tidak tercapainya target
vaksinasi tersebut akan mengancam tercapainya kekebalan kelompok. Tanpa
kekebalan kelompok maka Indonesia tidak akan bergerak dari kondisi saat ini.
Cara yang dapat dilakukan setiap individu
adalah meyakinkan orang-orang terdekat bahwa vaksin Covid-19 adalah aman dan
halal. Kita juga menyadarkan orang-orang sekitar kita tentang betapa
berartinya kita divaksin bagi orang lain dan bagi masyarakat. Seperti
semboyan penggunaan masker mengatakan ‘Maskermu melindungi aku’ demikian juga
dengan vaksinasi menegaskan ‘vaksinasi kamu mengebalkan aku’.
Prinsip ubuntu dan tat twam asi juga
relevan dengan kenyataan bahwa negara-negara miskin kesulitan untuk
mendapatkan vaksin. Perlu disadari bahwa kekebalan kelompok secara global
tidak dapat tercapai jika ada negara yang tidak mendapatkan vaksin.
Kepala Ilmuwan WHO, Soumya Swaminathan,
mengatakan bahwa faktor yang menghambat kekebalan kelompok diantaranya adalah
terbatasnya akses vaksin Covid-19 bagi negara berkembang. Semangat ubuntu dan
tat twam asi mendorong negara-negara maju untuk membantu akses vaksin
Covid-19 kepada negara berkembang.
Secara nyata ubuntu dan tat twam asi
merupakan filosofi manusia dalam menjalani kehidupan sebagai bagian dari
lingkungannya. Pada tahun ini, filosofi ubuntu menjadi tema peringatan Hari
Pekerjaan Sosial Dunia (word social work day) pada tanggal 16 Maret. Semoga
filosofi ubuntu dan tat twam asi memberikan kesadaran kepada kita semua akan
tanggung jawab kita terhadap sesama. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar