Pertumbuhan
Ekonomi Menjelang Berakhirnya Pandemi Covid-19 Umar Juoro ; Senior Fellow The Habibie Center |
KOMPAS,
19 Maret
2021
Ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 2,1
persen pada 2020, tak terlalu buruk dibandingkan dengan negara lain.
Perkiraan berbagai pihak, pertumbuhan pada 2021 sekitar 4,3 persen, cukup
baik untuk masa pemulihan dari krisis. Tentu saja kita menginginkan pertumbuhan
lebih tinggi. Seberapa cepat dan kuat pemulihan ekonomi akan bergantung pada
kemampuan mengatasi pandemi Covid-19. Jika Covid-19 dapat diatasi lebih cepat
dan lebih baik, pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi. Dengan Indonesia sudah
memulai program vaksinasi yang berjalan cukup baik, prospek pengendalian
Covid-19 menjadi lebih baik. Di negara maju, pemerintahnya melakukan
stimulasi besar dengan menggelontorkan dana ratusan miliar dollar AS, bahkan
triliunan dollar AS, dengan penanganan Covid-19 bergantung pada keberhasilan
vaksinasi. AS menggelontorkan 1,9 triliun dollar AS.
Negara berkembang, termasuk Indonesia, juga mengalokasikan anggaran untuk
pemulihan ekonomi yang besar hingga puluhan miliar dollar AS. Indonesia
menganggarkan stimulasi ekonomi dan penanganan Covid-19 Rp 695 triliun. Pembiayaan stimulasi ini, baik di negara
maju maupun berkembang, terutama dengan utang, yaitu menerbitkan obligasi
pemerintah. Bahkan, obligasi dibeli oleh bank sentral di pasar primer
sehingga bunganya murah atau bahkan ditanggung bank sentral. Negara berkembang
yang melakukan ini praktis baru Indonesia dan Filipina. Membanjirnya
likuiditas Dengan besarnya likuiditas dan utang,
sementara pengendalian Covid-19 bergantung pada keberhasilan vaksinasi, maka
pemulihan ekonomi terkait erat dengannya. Superposisi antara kesehatan dan
ekonomi semakin kuat dengan vaksinasi. Superposisi ini akan makin kuat dengan
dijalankannya vaksin mandiri melalui partisipasi swasta yang bisa menjangkau
penduduk lebih banyak dan membantu mengurangi beban anggaran negara. Sementara itu, kekhawatiran terhadap
inflasi mulai terlihat dengan besarnya likuiditas di pasar dan indikasi
kenaikan harga pangan serta komoditas, khususnya minyak. Kekhawatiran inflasi
yang kemungkinan akan ditanggapi oleh bank sentral dengan menaikkan suku
bunga akan berakibat pada penambahan beban besar pembayaran utang. Membanjirnya likuiditas karena program
stimulasi dan juga konsumen yang masih belum membelanjakan dananya, sementara
kegiatan ekonomi masih tahap awal pemulihan, menyebabkan aliran likuiditas
yang besar ke pasar modal dan obligasi serta mengalir ke komoditas. Harga saham meningkat signifikan, begitu
juga obligasi. Bahkan, harga mata uang digital Bitcoin mengalami kenaikan
sangat tinggi mengantisipasi lemahnya mata uang sebagai sarana penyimpanan nilai
(stored of value). Optimistisnya adalah tanda-tanda pemulihan
ekonomi semakin kuat, dengan pertumbuhan ekonomi China yang sudah positif
diharapkan dapat mendorong pemulihan ekonomi global. Meningkatnya harga
komoditas menandakan kuatnya pemulihan ekonomi dan memberikan keuntungan bagi
negara pemasok komoditas, seperti Indonesia. Di Indonesia, indikator sektor manufaktur,
Purchasing Manager Index (PMI), membaik secara berarti ke angka 56, indeks
pasar modal meningkat, dan nilai tukar rupiah relatif stabil. Kepercayaan
konsumen meningkat sekalipun masih di bawah angka 100. Bagi Indonesia, likuiditas sebenarnya juga
melimpah, hanya belum teralokasikan ke sektor riil dengan memadai. Rendahnya
suku bunga kebijakan yang berada di titik terendah selama ini 3,5 persen,
dana pihak ketiga di perbankan yang tinggi yang belum dibelanjakan, ditambah
dengan aliran dana program stimulasi pemulihan ekonomi, membuat ketersediaan
dana yang besar. Namun, likuiditas ini belum dialirkan
secara signifikan sebagai kredit ke sektor riil. Pertumbuhan kredit masih
rendah setelah pada 2020 mengalami kontraksi. Bank masih melihat risiko yang
tinggi untuk mengalirkan kredit, sementara debitor yang baik masih menghadapi
ketidakpastian dalam melihat perkembangan ekonomi. Keterkaitan (entanglement)
antara bank dan sektor riil masih lemah. Perbaikan aliran kas di perusahaan
akan memperkuat keterkaitan ini. Kebijakan moneter dengan suku bunga
kebijakan yang rendah, kebijakan fiskal melalui insentif pajak, membantu
ekonomi dalam mengurangi beban resesi sehingga kontraksi ekonomi tidak
terlalu dalam, tetapi belum cukup kuat untuk menstimulasi pemulihan ekonomi
yang signifikan. Kekhawatiran terhadap Covid-19 masih
membayangi pelaku ekonomi di perusahaan dan rumah tangga. Program vaksinasi
diharapkan dapat mengatasi Covid-19 secara berarti dan meningkatkan
kepercayaan pelaku ekonomi. Sebagaimana di negara maju, aliran likuiditas
masih ke sektor keuangan, yaitu pasar modal dan obligasi pemerintah, belum
secara berarti ke sektor riil. Insentif mengenolkan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor dapat mendorong penjualan kendaraan
bermotor. Namun, membuat uang muka nol untuk kredit kendaraan bermotor dan
kepemilikan rumah kemungkinan pengaruhnya tidak terlalu besar dan dapat
menyebabkan moral hazard (penyalahgunaan). Insentif pajak pada konsumen sebenarnya
yang lebih efektif. Jika insentif pajak serupa juga diberikan pada pembelian
rumah, dorongan untuk memulihkan ekonomi akan kian besar. Bukan hanya
konsumen yang diuntungkan, melainkan juga produsen dan pengembang, dengan
perbaikan aliran kas mereka. Pandangan penentu kebijakan untuk fokus
pada pemulihan ekonomi dengan mendorong konsumsi masyarakat adalah tepat.
Tentunya untuk konsumsi yang sejalan dengan upaya mengatasi Covid-19, bukan
yang memperburuk. Memfasilitasi
investasi Bersamaan dengan upaya mendorong konsumsi
masyarakat, pemerintah juga memfasilitasi investasi. Pendekatan kebijakan
memfasilitasi konsumsi masyarakat dan investasi merupakan cara tepat untuk
memulihkan ekonomi. UU Cipta Kerja dengan 49 peraturan pelaksanaannya membuka
peluang besar untuk investasi. Tantangannya adalah di tingkat pelaksanaan
ketika hambatan birokrasi dan struktural, berkaitan dengan tanah dan pekerja,
tidaklah mudah untuk diatasi, sekalipun UU dan peraturan pelaksanaannya
mendukung. Memfasilitasi investasi yang memperkuat
pengembangan rantai pasokan global (global supply chain) adalah sinergi
pemulihan ekonomi domestik dan global. Pendekatan ini menyinergikan investasi
dan ekspor yang sangat dibutuhkan Indonesia di masa pemulihan. Siklus
besar komoditas Dalam enam bulan terakhir harga komoditas
minyak, gas, nikel, dan tembaga mengalami kenaikan 25-40 persen. Banyak
perkiraan kenaikan harga komoditas ini akan berlanjut. Bahkan, beberapa lembaga keuangan ternama
menyebutnya sebagai siklus besar komoditas (commodity super cycle). Kenaikan
harga komoditas ini memberikan keuntungan bagi negara produsen, seperti
Indonesia. Sayangnya, produksi minyak Indonesia menurun dan gas tidak mengalami
peningkatan berarti dengan minimnya investasi migas. Investasi pertambangan juga terbatas pada
investor yang bersedia untuk divestasi setelah 10 tahun beroperasi dan
membangun peleburan (smelter). Karena itu, praktis hanya investor China yang
tertarik berinvestasi di pertambangan dan pengolahannya. Kenaikan harga
komoditas utama Indonesia, seperti CPO dan batubara, tentu memberikan
keuntungan besar sekalipun harganya mulai terkoreksi dan persyaratan
kelestarian lingkungan kian ketat. Membiayai
defisit Program pemulihan ekonomi, termasuk untuk
kesehatan dan bantuan sosial, dibiayai oleh anggaran negara dengan
memperbesar defisit, 6,3 persen pada 2020 dan 5,7 persen pada 2021. Defisit
ini ditutup dengan utang melalui penjualan surat berharga negara (SBN), baik
kepada investor swasta maupun kepada Bank Indonesia yang diperbolehkan beli
di pasar primer. Sekalipun penambahan utang cukup tinggi,
rasio utang terhadap PDB masih terjaga baik di tingkatan sekitar 40 persen.
Tantangannya adalah menjaga manajemen utang yang baik supaya surat utang
tidak terhambat (cloging) di pembukuan pemerintah ataupun di BI, sebagai aset
yang tidak memberikan imbal hasil (unyielding assets). Bagi BI dengan suku bunga kebijakan yang
rendah dan kepemilikan SBN yang tinggi, sekitar 2 persen PDB, menjadi beban
berat dan pembatas terhadap efektivitas kebijakan moneter, termasuk
makroprudensial dan efektivitas pembelian obligasi (quantitative easing) itu
sendiri. Kapasitas utang pemerintah masih memadai.
Namun, semakin besar SBN yang dikeluarkan, semakin besar biayanya dengan
imbal hasil (yield) yang lebih tinggi atau harga yang lebih rendah. Apalagi
dengan prospek inflasi, tantangan manajemen utang kian berat. Defisit yang relatif besar masih dibutuhkan
untuk stimulasi pemulihan ekonomi dan membiayai program kesehatan berkaitan
dengan upaya mengatasi Covid-19, bantuan sosial, dan program penciptaan
kesempatan kerja. Karena itu, manajemen utang pemerintah yang baik menjadi
kunci bagi keberlanjutan dan keberhasilan dari upaya pemulihan ekonomi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar