Bangga Samuel Mulia ; Penulis Kolom “Parodi” Kompas
Minggu |
KOMPAS,
07 Maret
2021
Pernahkah Anda merasa bangga terhadap diri
sendiri? Meski IPK Anda hanya 1,9 atau karier Anda hanya begitu-begitu saja.
Tinggi tidak, rendah pun tidak. Atau, secara fisik Anda hanya akan mendapat
predikat B saja. Biasa, maksudnya. Atau, usaha Anda masuk dalam kategori maju
tidak, mundur pun tidak. Memiliki
segalanya Beberapa waktu lalu, saya makan siang dan
mendengar cerita salah satu keluarga terkaya di negeri ini. Sudah kayanya
pakai banget, sederhananya pun pakai banget. Selesai mendengar cerita itu,
saya sampai geleng kepala. Mereka lahir dengan IQ yang cemerlang,
punya anak-anak yang sama cemerlang dan tak membuat susah. Usaha semakin maju
di tangan anak-anaknya. Tabiat mereka jauh dari apa yang disebut orang dengan
sebutan songong. Kesehatan sekeluarga itu pun tak pernah dihantam penyakit
yang berat. Saya membayangkan betapa bahagianya
keluarga itu. Begitu banyak yang pantas mereka banggakan, bahkan mungkin
termasuk kemampuan mereka hidup dalam kesederhanaan di tengah kekayaan yang
tak terhitung jumlahnya. Saya sempat berpikir apakah sebetulnya mereka itu
kikir bukan sederhana sehingga mereka dapat menjadi sekaya raya itu. Namun,
saya menepis pikiran buruk yang belum tentu benar itu. Beberapa hari sebelum acara makan siang dan
mendengar cerita di atas, pada pagi hari setelah saya menyelesaikan ritual
kerohanian, saya melakukan perjalanan kembali mengunjungi masa lalu sekaligus
memperhatikan apa saja yang selama ini terjadi dalam hidup saya. Saya tak perlu berpanjang lebar karena,
setelah kunjungan ke masa lalu itu dan melihat apa yang saya hadapi sampai
sekarang ini, kesimpulannya singkat sekali. Perjalanan hidup saya sangat
bertolak belakang dengan cerita keluarga kaya raya di atas. Bertolak belakang dalam segala hal. Nah,
kalau demikian adanya, apa yang patut saya banggakan dengan diri saya? Dengan
apa yang saya miliki? Karena kalau yang namanya bertolak belakang, artinya
secara singkat tak ada yang bisa saya banggakan. Kekayaan tidak, IQ tidak,
kesehatan tidak, kesederhanaan pun tidak. Jadi, apa dong? Kemudian saya berusaha mencari-cari apa
yang masih dapat saya banggakan dari diri saya ini. Pencarian ini mungkin
hanya untuk menghibur diri semata supaya saya tak terlalu jatuh kecewa dan
merasa hidup ini tidak adil sama sekali. Kehilangan
segalanya Karena buat saya adil itu adalah kalau sana
kaya, yang sini juga kaya. Kalau sana kayanya pakai raya, yang sini harus
pakai raya juga. Kalau yang sana sehatnya pakai walafiat, ya... yang sini
juga sehat pakai walafiat yang sama. Demikian seterusnya, dan seterusnya.
Pokoknya, sama itu baru adil. Namun, ternyata kenyataannya tidaklah
demikian. Maka, setelah cukup lama mencari-cari, saya menemukan. Pada
awalnya, penemuan ini masih saya rasakan seperti mengada-ada agar saya tak
terlalu merasa tak berguna. Sejujurnya, saya itu tak pernah merasa kalau
membanggakan diri sendiri itu sesuatu yang pantas saya lakukan. Saya sudah lama berpikir bahwa bangga sama
diri sendiri itu tidak baik, tidak rendah hati. Seharusnya yang menilai saya
patut bangga itu orang lain, bukan saya. Sejak kecil, apa pun yang saya
kerjakan, mau itu bagus atau tidak, berhasil atau gagal, orangtua saya tak
pernah mengatakan ”kamu pasti bangga dengan apa yang sudah kamu lakukan”. Karena buat saya dan mungkin orangtua saya,
bangga itu adalah perilaku yang pantas dilakukan kalau kondisinya seperti
cerita keluarga kaya raya di atas. Gagal itu bukan sebuah kebanggaan, IPK
ecek-ecek itu bukan hal yang patut dibanggakan. Punya banyak penyakit,
apalagi. Pagi itu, saya merasa bahwa kalau saya tak
dapat membanggakan sesuatu yang bisa terlihat dan bisa diukur, mungkin saya
juga mulai harus belajar untuk berani bangga atas hal-hal yang berlawanan
dengan itu, yang tak dapat dilihat orang lain, tetapi dapat dirasakan dan
dilihat oleh kita sendiri. Saya bangga bahwa saya sangat tidak panik
bahkan tidak parno sama sekali menghadapi pandemi ini. Saya cukup berbangga
hati bahwa saya mampu mengelola pikiran dan emosi saya sehingga tahun lalu,
sebagai tahun yang memorak-porandakan usaha dan kesehatan saya, saya dapat
menghadapinya dengan dada yang lapang dan jiwa yang bersukacita. Itu mengapa saya mampu mengatakan bahwa
tahun terbaik yang pernah terjadi dalam hidup saya adalah tahun 2020. Saya boleh berbangga karena saya mampu
melepaskan kemelekatan saya kepada barang-barang nostalgia yang awalnya tak
bisa saya lepaskan. Saya mampu melepaskan kemelekatan untuk mencintai
kehidupan duniawi. Karena itu, sekarang saya tak takut akan kehilangan. Saya bangga mampu melepaskan keterikatan
dan merelakan segala sesuatu terjadi. Saya bangga, saya mampu merasa bahagia
dan bersyukur dengan sepenuh hati di tengah kehilangan segalanya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar