Minggu, 14 Maret 2021

Moderasi Beragama

 Ahmad Najib Burhani  ; Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah dan Profesor Riset di LIPI

                                                        KOMPAS, 13 Maret 2021

 

 

                                                           

Kasus jilbab di SMKN 2 Padang beberapa waktu lalu mengindikasikan, masih ada sebagian dari masyarakat beragama kita yang ingin memaksakan keyakinan keagamaannya kepada mereka yang berbeda. Tragisnya, pemaksaan seperti itu justru dipandang oleh mereka sebagai religious virtue (kebajikan keagamaan) dan bukan sebagai pelanggaran, baik terhadap agama maupun konstitusi. Kasus jilbab ini adalah satu dari sekian kasus berkaitan dengan kebebasan beragama di Sumatera Barat dalam beberapa tahun terakhir.

 

Sebelumnya, seperti didata dan disampaikan oleh Zulfan Taufik dalam diskusi di IAIN Bukittinggi (3/3/2021), ada beberapa kasus lain di provinsi ini: 1) pelarangan perayaan Natal di Nagari Sikabau dan Nagari Sungai Tambang Kabupaten Dharmasraya, 2) penangkapan aktivis Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) karena advokasinya dalam kasus larangan perayaan Natal tersebut, dan 3) tuntutan penghapusan aplikasi Injil berbahasa Minang oleh sebagian masyarakat dan didukung oleh pemerintah provinsi. Selain kasus itu, beberapa tokoh di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat juga dinilai getol melakukan penentangan dan penyesatan terhadap Islam Nusantara.

 

Tentu saja kasus-kasus yang terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan di atas menjadi tantangan tersendiri bagi program moderasi beragama yang terus digarap oleh Kementerian Agama, selain persoalan radikalisme dan terorisme. Untuk dua masalah terakhir ini, tentu kita berharap banyak pada profesionalisme Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sementara yang terkait dengan kultur keagamaan, moderasi beragama memerlukan edukasi terus-menerus dan penanaman kesadaran, agar ia bisa menjadi habitus baru di masyarakat.

 

Seperti ditulis di buku panduan yang dikeluarkan Kementerian Agama, Moderasi Beragama (2019), makna dari moderasi beragama itu bukanlah melakukan ”moderasi terhadap agama”, tetapi memoderasi pemahaman dan pengamalan umat beragama dari sikap ekstrem (tatharruf, berlebihan) (hlm 48 dan 132). Dalam buku Khitthah Nahdliyyah (2005, 62), KH Ahmad Siddiq menyebut bahwa moderat (al-tawassut) itu harus disandingkan dengan al-i‘tidal (bersikap adil) dan al-tawazun (seimbang).

 

Tentu saja moderasi beragama itu tidak hanya terkait dengan sikap terhadap mereka yang berbeda agama, tapi juga kepada mereka yang seagama, tetapi beda aliran. Dalam penelitian tentang ”Potret Moderasi Beragama di Kalangan Mahasiswa Muslim”, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melihat sikap keagamaan mahasiswa di UIN Jakarta, UIN Bandung, dan UIN Yogyakarta dengan tiga indikator: komitmen kebangsaan, toleransi, dan antikekerasan.

 

Menurut hasil yang diluncurkan akhir bulan lalu (25/2/2021), ”empati internal” mereka rupanya lebih buruk daripada ”empati eksternal”. Sikap mereka terhadap sesama Muslim dari aliran berbeda, seperti Syiah dan Ahmadiyah, itu lebih mengkhawatirkan daripada sikap mereka terhadap non-Muslim.

 

Sikap tatharruf begitu kentara ketika terjadi kontestasi politik, seperti Pemilihan Presiden 2019 dan Pilkada DKI Jakarta 2017. Inilah yang melahirkan polarisasi tajam, terutama di media sosial. Saling menafikan, mengafirkan, dan narasi cosmic war dengan dalil-dalil agama bertebaran dalam hajatan politik itu.

 

Seperti yang dilakukan Ma Ba Tha, kelompok fundamentalis Buddha di Myanmar, yang membawa ekstremisme beragama ke ranah politik, kebencian terhadap agama yang berbeda yang dimulai sejak 2013 di negara itu tak mudah dihentikan, bahkan sampai kini (Kyaw 2019). Hal serupa terjadi dalam beberapa kasus di Indonesia.

 

Sebagaimana budaya demokrasi, moderasi beragama perlu terus dipupuk agar bisa tumbuh subur. Dulu, sikap ini merupakan misi yang secara konsisten ditebarkan oleh Gus Dur dan Nurcholish Madjid, baik melalui penafsiran teks-teks keagamaan maupun melalui teladan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Demikian pula yang dilakukan NU dan Muhammadiyah yang merupakan dua sayap moderatisme Islam di Indonesia.

 

Khusus Muhammadiyah, ”Keberagamaan yang Moderat” merupakan rekomendasi pertama (terkait isu-isu keumatan) dari Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 2015. Disebut pada rekomendasi itu, ”Di kalangan umat Islam terdapat kelompok yang suka menghakimi, menanamkan kebencian, dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan tuduhan sesat, kafir, dan liberal. Kecenderungan takfiri bertentangan dengan watak Islam yang menekankan kasih sayang, kesantunan, tawasuth, dan toleransi” (Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47, 2015, 112).

 

Selain persoalan internal umat Islam, Muktamar itu juga melahirkan keputusan penting sebagai respons terhadap keinginan sekelompok orang yang terus-menerus mendorong pendirian khilafah, menolak demokrasi, dan mengusulkan kembalinya Piagam Jakarta. Keputusan yang berjudul ”Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdy wa al-Syahadah” (Negara Pancasila sebagai Rumah Perjanjian dan Persaksian) adalah upaya memutus utopia negara Islam dan khilafah.

 

Jika umat Kristen atau Katolik kadang mendapat tuduhan separatis atau antek asing, seperti dalam kasus Papua, Maluku, dan Timor Leste, umat Islam kadang mendapat tuduhan teroris, kurang nasionalis, dan kurang patriotis. Keputusan Muktamar itu adalah respons terhadap tuduhan seperti ini.

 

Mengapa keputusan penting seperti itu dirumuskan dan ”baru dilahirkan” pada 2015? Apakah sebelumnya tidak ada? Nasionalisme dan patriotisme bukanlah bersifat statis, tetapi dinamis. Dengan berbagai tantangan baru, pemaknaan keduanya tak selalu sama dengan tahun 1945.

 

Sejak 2000-an, kebangkitan keagamaan di Indonesia mengarah kepada apa yang disebut Martin van Bruinessen (2013) sebagai conservative turn dengan lahirnya, misalnya, berbagai peraturan daerah berlandaskan agama tertentu dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama.

 

Setelah conservative turn itu lantas disusul dengan gelombang yang disebut illiberal democracy. Ini, misalnya, ditandai dengan merebaknya gagasan NKRI Bersyariah, Wasathiyyah Demokrasi, dan Pancasila Bertauhid. Inilah di antaranya mengapa konsep dan keputusan seperti itu dilahirkan kembali tahun 2015, sebagai upaya memoderasi keagamaan kita.

 

Tentu saja penerimaan terhadap Pancasila dan NKRI sudah terjadi sejak republik ini berdiri. Namun, tetap saja sepanjang sejarah selalu ada upaya untuk keluar dari kesepakatan bersama (’ahd) dan tendensi untuk tathorruf (berlebihan) dalam beragama.

 

Karena itulah, komitmen kebangsaan dan keindonesian, dan juga moderatisme beragama perlu terus-menerus disegarkan dan menjadi habitus di setiap generasi. Kadang, karena tantangan zaman yang berbeda, moderasi beragama menjadi tidak sesederhana konsep umumnya. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar