Moderasi
Beragama Ahmad Najib Burhani ; Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
dan Profesor Riset di LIPI |
KOMPAS,
13 Maret
2021
Kasus jilbab di SMKN 2 Padang beberapa
waktu lalu mengindikasikan, masih ada sebagian dari masyarakat beragama kita
yang ingin memaksakan keyakinan keagamaannya kepada mereka yang berbeda.
Tragisnya, pemaksaan seperti itu justru dipandang oleh mereka sebagai
religious virtue (kebajikan keagamaan) dan bukan sebagai pelanggaran, baik
terhadap agama maupun konstitusi. Kasus jilbab ini adalah satu dari sekian
kasus berkaitan dengan kebebasan beragama di Sumatera Barat dalam beberapa
tahun terakhir. Sebelumnya, seperti didata dan disampaikan
oleh Zulfan Taufik dalam diskusi di IAIN Bukittinggi (3/3/2021), ada beberapa
kasus lain di provinsi ini: 1) pelarangan perayaan Natal di Nagari Sikabau
dan Nagari Sungai Tambang Kabupaten Dharmasraya, 2) penangkapan aktivis
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) karena advokasinya dalam kasus
larangan perayaan Natal tersebut, dan 3) tuntutan penghapusan aplikasi Injil
berbahasa Minang oleh sebagian masyarakat dan didukung oleh pemerintah
provinsi. Selain kasus itu, beberapa tokoh di Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Sumatera Barat juga dinilai getol melakukan penentangan dan penyesatan
terhadap Islam Nusantara. Tentu saja kasus-kasus yang terkait dengan
kebebasan beragama dan berkeyakinan di atas menjadi tantangan tersendiri bagi
program moderasi beragama yang terus digarap oleh Kementerian Agama, selain
persoalan radikalisme dan terorisme. Untuk dua masalah terakhir ini, tentu
kita berharap banyak pada profesionalisme Densus 88 dan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sementara yang terkait dengan kultur
keagamaan, moderasi beragama memerlukan edukasi terus-menerus dan penanaman
kesadaran, agar ia bisa menjadi habitus baru di masyarakat. Seperti ditulis di buku panduan yang
dikeluarkan Kementerian Agama, Moderasi Beragama (2019), makna dari moderasi
beragama itu bukanlah melakukan ”moderasi terhadap agama”, tetapi memoderasi
pemahaman dan pengamalan umat beragama dari sikap ekstrem (tatharruf,
berlebihan) (hlm 48 dan 132). Dalam buku Khitthah Nahdliyyah (2005, 62), KH
Ahmad Siddiq menyebut bahwa moderat (al-tawassut) itu harus disandingkan
dengan al-i‘tidal (bersikap adil) dan al-tawazun (seimbang). Tentu saja moderasi beragama itu tidak
hanya terkait dengan sikap terhadap mereka yang berbeda agama, tapi juga
kepada mereka yang seagama, tetapi beda aliran. Dalam penelitian tentang
”Potret Moderasi Beragama di Kalangan Mahasiswa Muslim”, Pusat Pengkajian
Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melihat sikap keagamaan mahasiswa di
UIN Jakarta, UIN Bandung, dan UIN Yogyakarta dengan tiga indikator: komitmen
kebangsaan, toleransi, dan antikekerasan. Menurut hasil yang diluncurkan akhir bulan
lalu (25/2/2021), ”empati internal” mereka rupanya lebih buruk daripada
”empati eksternal”. Sikap mereka terhadap sesama Muslim dari aliran berbeda,
seperti Syiah dan Ahmadiyah, itu lebih mengkhawatirkan daripada sikap mereka
terhadap non-Muslim. Sikap tatharruf begitu kentara ketika
terjadi kontestasi politik, seperti Pemilihan Presiden 2019 dan Pilkada DKI
Jakarta 2017. Inilah yang melahirkan polarisasi tajam, terutama di media
sosial. Saling menafikan, mengafirkan, dan narasi cosmic war dengan
dalil-dalil agama bertebaran dalam hajatan politik itu. Seperti yang dilakukan Ma Ba Tha, kelompok
fundamentalis Buddha di Myanmar, yang membawa ekstremisme beragama ke ranah
politik, kebencian terhadap agama yang berbeda yang dimulai sejak 2013 di
negara itu tak mudah dihentikan, bahkan sampai kini (Kyaw 2019). Hal serupa
terjadi dalam beberapa kasus di Indonesia. Sebagaimana budaya demokrasi, moderasi
beragama perlu terus dipupuk agar bisa tumbuh subur. Dulu, sikap ini
merupakan misi yang secara konsisten ditebarkan oleh Gus Dur dan Nurcholish
Madjid, baik melalui penafsiran teks-teks keagamaan maupun melalui teladan
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Demikian pula yang dilakukan NU dan
Muhammadiyah yang merupakan dua sayap moderatisme Islam di Indonesia. Khusus Muhammadiyah, ”Keberagamaan yang
Moderat” merupakan rekomendasi pertama (terkait isu-isu keumatan) dari
Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 2015. Disebut pada rekomendasi itu,
”Di kalangan umat Islam terdapat kelompok yang suka menghakimi, menanamkan
kebencian, dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan
tuduhan sesat, kafir, dan liberal. Kecenderungan takfiri bertentangan dengan
watak Islam yang menekankan kasih sayang, kesantunan, tawasuth, dan
toleransi” (Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47, 2015, 112). Selain persoalan internal umat Islam,
Muktamar itu juga melahirkan keputusan penting sebagai respons terhadap
keinginan sekelompok orang yang terus-menerus mendorong pendirian khilafah,
menolak demokrasi, dan mengusulkan kembalinya Piagam Jakarta. Keputusan yang
berjudul ”Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdy wa al-Syahadah” (Negara
Pancasila sebagai Rumah Perjanjian dan Persaksian) adalah upaya memutus
utopia negara Islam dan khilafah. Jika umat Kristen atau Katolik kadang
mendapat tuduhan separatis atau antek asing, seperti dalam kasus Papua,
Maluku, dan Timor Leste, umat Islam kadang mendapat tuduhan teroris, kurang
nasionalis, dan kurang patriotis. Keputusan Muktamar itu adalah respons
terhadap tuduhan seperti ini. Mengapa keputusan penting seperti itu
dirumuskan dan ”baru dilahirkan” pada 2015? Apakah sebelumnya tidak ada?
Nasionalisme dan patriotisme bukanlah bersifat statis, tetapi dinamis. Dengan
berbagai tantangan baru, pemaknaan keduanya tak selalu sama dengan tahun
1945. Sejak 2000-an, kebangkitan keagamaan di
Indonesia mengarah kepada apa yang disebut Martin van Bruinessen (2013)
sebagai conservative turn dengan lahirnya, misalnya, berbagai peraturan
daerah berlandaskan agama tertentu dan diskriminasi terhadap kelompok
minoritas agama. Setelah conservative turn itu lantas
disusul dengan gelombang yang disebut illiberal democracy. Ini, misalnya,
ditandai dengan merebaknya gagasan NKRI Bersyariah, Wasathiyyah Demokrasi,
dan Pancasila Bertauhid. Inilah di antaranya mengapa konsep dan keputusan
seperti itu dilahirkan kembali tahun 2015, sebagai upaya memoderasi keagamaan
kita. Tentu saja penerimaan terhadap Pancasila
dan NKRI sudah terjadi sejak republik ini berdiri. Namun, tetap saja
sepanjang sejarah selalu ada upaya untuk keluar dari kesepakatan bersama
(’ahd) dan tendensi untuk tathorruf (berlebihan) dalam beragama. Karena itulah, komitmen kebangsaan dan
keindonesian, dan juga moderatisme beragama perlu terus-menerus disegarkan
dan menjadi habitus di setiap generasi. Kadang, karena tantangan zaman yang
berbeda, moderasi beragama menjadi tidak sesederhana konsep umumnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar