Komunikasi
Kritik, Kualitas Demokrasi, dan Kemajuan Bangsa Widodo Muktiyo ; Dirjen IKP Kominfo dan Guru Besar
Ilmu Komunikasi UNS Solo |
KOMPAS,
06 Maret
2021
Belum lama ini, istilah kritik ramai
diperbincangkan. Seolah-olah apa yang disampaikan Presiden Jokowi bahwa
pemerintah membutuhkan kritik dan pemerintah perlu dikritik merupakan
paradoks dan penuh kontradiksi. Di satu sisi, pernyataan itu diapresiasi
karena memang begitulah demokrasi, tetapi di sisi lain, ada yang meragukan. Pertanyaannya adalah bagaimana menguraikan
anggapan paradoks-paradoks dan kontradiksi-kontradiksi itu? Semiotika,
retorika, etika Ada tiga masalah penting, kenapa komunikasi
yang dipandang sebagai kritik, tetapi oleh orang lain dipandang sebagai
ujaran kebencian atau provokasi. Pertama adalah masalah semiotika. Pilihan
diksi dalam komunikasi menentukan indikasi makna yang dirujuk. Dengan
perkataan lain, setiap komunikasi memiliki makna yang dituju, satu sisi bagi
penyampai, pada saat yang bersamaan, makna bagi penerima komunikasi. Celahnya ada pada terbukanya kemungkinan
perbedaan makna yang dimaksudkan dari penyampai, dengan mereka yang menangkap
komunikasi. Perbedaan budaya, nilai rasa kata, dan kepentingan dapat
memperlebar jarak bagi titik temu makna yang sama. Misalnya kata bobrok bagi penyampai
komunikasi dimaksudkan untuk memberi ketegasan dan agar mendapat perhatian
serta dukungan, sedangkan bagi penerima komunikasi kata bobrok dipandang
sebagai hal yang tidak patut dan tendensius. Masalah semiotika tidak terbatas pada makna
indikatif dari diksi yang dipilih. Namun, hubungan antar-ujaran dalam
perkataan membuka peluang bagi terbentuknya makna baru. Hubungan kata dengan kata, dan hubungan
kalimat dengan kalimat, harus menjadi satu kesatuan utuh dalam memahami
ujaran, yang kemudian dapat kita tentukan apakah ujaran itu merupakan bentuk
komunikasi kritik atau sebaliknya, sebagai komunikasi provokatif. Dengan lain
perkataan, konteks menjadi hal penting bagi pemaknaan. Masalah kedua yang menjadi sumber
kontradiksi dan paradoks adalah masalah retorika. Dalam konteks hubungan
pemerintah dan masyarakat, lazimnya dalam praktik komunikasi politik,
komunikasi retorika merupakan keniscayaan. Ada hubungan timbal balik yang menarik dan
dinamis, yang dapat kita cermati dari relasi itu. Sebab, komunikasi retoris
bercirikan argumentasi, kelogisan, dan persuasi yang tujuannya sama-sama
ingin memengaruhi dalam proses-proses pengambilan keputusan dan kebijakan terhadap
kepentingan publik. Dalam situasi komunikasi yang penuh
argumentasi, kelogisan dan persuasi itu, penerimaan atau penolakan terhadap
ujaran-ujaran memunculkan opini, dan tidak setiap opini harus menjadi opini
publik. Ia dapat menjelma dan justru menimbulkan kontestasi dan pro-kontra.
Dalam bentuk-bentuk yang tidak terkendali, hal ini akan menimbulkan keriuhan
dan kegaduhan. Apalagi praktik-praktik dari dimensi
semotika dan retorika itu yang tidak bijak, komunikasi akan menjadi
komplikasi, ketika saat terjadi, tujuan menghalalkan segala cara. Aspek
penting opini dari suatu pendapat adalah apakah ia memiliki nilai bagi
pemerintah dan bangsa yang bermanfaat. Masalah ketiga adalah persoalan etika.
Meskipun berkomunikasi adalah hak setiap orang dan kemerdekaan berpendapat
adalah bagian dari demokrasi, komunikasi kritik harusnya konstruktif. Tuntutan kritik konstruktif bukan apologia.
Memang begitu seharusnya. Kritik mesti mempertimbangkan kepatutan dan
kepantasan. Sebab, di dalam kemerdekaan berkomunikasi, ada hak-hak orang lain
juga yang harus dihargai dan dihormati. Mengacu
ke solusi Kritik yang konstruktif itu haruslah
mengacu pada tiga solusi yang menjadi masalah itu sendiri. Adalah komunikasi
yang mempertimbangkan keberagamaan makna yang timbul dari penggunaannya. Ia
harus logis tanpa mengeksploitasi sisi emosi dan sensitivitas negatif dalam
memersuasi dan sekaligus mempertimbangkan segi kepatutan dan ketulusan. Jadi, kritik itu berguna. Dalam demokrasi
pun, ada prinsip yang menyatakan bahwa tidak ada yang kebal dari kritik.
Dalam demokrasi yang berkualitas, semestinya tidak ada anasir-anasir yang
antikritik dan sebaliknya, juga tidak perlu merasa takut untuk melakukan
kritik. Sekeras apa pun kritik, tidak ditujukan kepada pribadi, tetapi
ditujukan kepada pikiran, gagasan, dan kebijakan. Sinyalemen Presiden bahwa pemerintah
membutuhkan kritik dan jika ada pasal karet dari peraturan yang menghambat
kemerdekaan berpendapat yang konstruktif mesti direvisi, terang-terang
merupakan pandangan yang visioner. Ini cerminan sikap Presiden yang matang,
yang mengkhawatirkan kualitas demokrasi dan kemajuan bangsa. Bangsa yang maju bukan bangsa yang hanya
dihiasi oleh pujian-pujian yang berasal dari dalam diri kita sendiri, tetapi
bersamaan dengan itu, koreksi-koreksi dan perbaikan-perbaikan yang sifatnya
reflektif dari internal dan eksternallah yang akan memacu kemajuan itu
sendiri. Di dunia ini tidak ada yang sempurna. Namun, kita mesti memiliki kematangan dan
bersikap bahwa ketidaksempurnaan itu mesti ada upaya untuk memperbaikinya.
Salah satunya dengan cara mendengarkan dan menerima kritik. Boleh jadi, kritik itu sebagai sesuatu yang
tidak kita sukai, tetapi memberi manfaat bagi kita. Dan boleh jadi, kita
menyukai pujian-pujian dari orang-orang yang suka memuji, tetapi tidak
memberi kebaikan kepada kita. Di antara kritik dan pujian itu tersembunyi
motif dan tujuan. Karena itu, dalam kerahasiaan dan
ketersembunyian motif itu, marilah kita luruskan niat kita dalam
berkomunikasi kritik yang konstruktif, yang semata-mata kita tujukan untuk
kemajuan bangsa. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar