Menyalakan
Imajinasi Politik Miraj, Mewujudkan Biopolitik Sehat Asep Salahudin ; Rektor IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya |
KOMPAS,
11 Maret
2021
Tanggal 27 Rajab yang bertepatan dengan 11
Maret 2021 mengingatkan tentang peristiwa alegoris perjalanan Kanjeng Nabi
yang mampu melipat ruang dan waktu. Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa,
kemudian menembus Sidratul Muntaha. Tiba kepada Tuhan. Melakukan dialog
transendental. Untuk kemudian kembali lagi ke bumi manusia dengan sukma yang
tercerahkan. Berulang kali kita rayakan peristiwa itu.
Kita ingat setiap fragmen hikayat yang menyertainya. Negara juga
menjadikannya sebagai hari libur nasional. Ada sekian banyak kitab sekaligus
karya sastra yang menimba spiritnya dari lelaku surealis Isra Miraj. Ribuan
puisi juga ditulis dengan semangat tema yang semakna. Dan, kita juga menyaksikan dalam banyak
peradaban manusia, serupa ”miraj” yang bermakna ”naik”, melambangkan tentang
keutamaan. Bahwa martabat seseorang dan atau sebuah bangsa hanya akan bisa
dicapai jiga bersedia melonjakkan kualitas dirinya menaik ke tingkat yang
lebih tinggi. ”Naik” menyimbolkan ihwal keluhuran marwah. Sebagaimana turun
yang menjadi antitesanya: metafor dari kerendahan, nestapa, dan status
terpuruk lainnya. Jalan
kepulangan Dalam konteks kebangsaan, Isra Miraj harus
dimaknai sebagai satu ritus keagamaan yang menginjeksikan pentingnya
kesadaran mengorbitkan spirit lapang dada pada setiap pemeluk agama dalam
menyikapi berbagai perbedaan. Sebagaimana Kanjeng Nabi yang menjejakkan
kakinya tidak saja di kota kelahirannya (Mekkah), tetapi juga melakukan
lawatan ke kota yang menjadi indeks kultural-teologis para Nabi terdahulu
(Masjidil Aqsa/Palestina). Nabi melakukan ”dialog antariman” secara ruhaniah
lewat situs yang ditinggalkan para pendahulunya. Tidak saja berhenti di sana, tetapi juga
kita temukan simbol-simbol penuh daya pikat ketika proses menaik itu
berlangsung. Bagaimana kesinambungan para Nabi yang menjadi mata air lahirnya
setiap agama dipertunjukkan dalam dialog kebaktian sembahyang. Surga dan neraka dihadirkan sebagi cara
dalam merumuskan moralitas yang dijangkarkan pada ingatan-ingatan
eskatologis. Racun dan madu dihidangkan sebagai bentuk lain bagaimana Tuhan
menawarkan etika kebebasan kepada manusia lengkap dengan tanggung jawab yang
melekat di dalamnya. Sebuah perjalanan yang mengingatkan saya
pada sebuah karya sastra bikinan Fariduddin Attar, ”Musyawarah Burung”.
Burung-burung yang bermusyawarah untuk menghentikan ragam masalah, sengketa,
konflik, virus yang mendera ekosistemnya. Musyawarah yang kemudian berujung
pada kesimpulan mufakat: jalan keluarnya hanya terletak pada kesediaan
melakukan perjalanan ke puncak Gunung Qaf menjumpai Maha Burung, Simurgh. Dalam perjalanan itu, tidak semuanya tiba
pada tujuan. Bahkan, kebanyakan terlempar ke jurang, mengalami disorientasi,
terpikat pesona nafsu, terjerembab rayuan kekuasaan dan tidak sedikit juga
yang tergoda ihwal sesuatu yang berjangka pendek. Yang selamat hanya tiga
puluh. Tiga puluh itu bahasa Persia-nya adalah simurgh. Simurgh menyimbolkan tentang daya kedirian.
Mengenai kewajiban kita lebih mengenal diri. Pulang kepada sesuatu yang
paling karib: diri sendiri. Dalam literasi sufisme diungkapkan, ”Siapa yang
mengenal dirinya, dia akan faham Tuhan-nya.” Imam Ali juga berkata, ”Puncak ilmu
terletak pada pengetahuan terhadap diri sendiri.” Bahkan, Immanuel Kant
memosisikan ”suara hati” sebagai sumber moral yang absolut dan melampaui prasangka
umum, landasan etika yang murni dan tidak ikut-ikutan. Hati indvidu yang
terhubung langsung dengan Tuhan yang mahamutlak. Konteks
kebangsaan Hari ini bangsa kita sering kali didera
banyak percakapan yang tergesa-gesa, tidak lengkap, saling curiga, dan
sisanya meruyaknya kebencian satu dengan lainnya. Dunia maya kian menebalkan
terjadi kondisi mengenaskan seperti itu. Algoritma sosial yang dicangkokan
pada serat kekuatan digital kian menancapkan terjadi percakapan-percakapan
yang tidak produktif. Di sisi lain, laju politik yang semestinya
semakin mempercepat mencuatnya ruang berkeadaban justru sebaliknya. Yang kita
saksikan adalah ruang publik politik yang hiruk-pikuk seputar perebutan
kekuasaan, transaksi jabatan, dan atau siasat melakukan pencurian terhadap
uang rakyat. Berita berulang tentang KPK yang melakukan
operasi tangkap tangan seolah tidak juga membawa efek jera, bahkan tragisnya
justru terjadi di tengah wabah pandemik yang belum ada kepastian ujungnya. Demokrasi yang kita rayakan tampaknya kian
menjauh dari khitahnya. Berputar sekitar elektoral. Dari pilkada yang
diselenggarakan penuh gempita hanya menghasilkan politik yang tunapeta,
hilang substansinya, dan selebihnya adalah para kepala daerah yang selama
memimpin terus berupaya menutupi utang-utangnya akibat politik yang berbiaya
tinggi atau hasrat kebablasan memperkaya diri. Hari ini ruang publik politik,
kultural-keagamaan kita seperti tidak menemukan jejak keteladanan. Politik
kehilangan otentisitas rujukan dan idealisasi apalagi ideologi tampaknya
sudah lama mati suri. Sebuah situasi teramat buram yang dibilang filsuf Eropa
Timur, Slavoj Zizek, sebagai efisiensi simbolik yang semakin dangkal tak
terarah (symbolic efficiency). Akibatnya, seperti ditafsirkan Robertus
Robet, kita hidup dalam budaya ”seolah-olah”: kita selalu mendapatkan lebih
dari segala yang kita bayarkan, tetapi kita bingung untuk keperluan apa harus
digunakan? Subyek tidak lagi tunduk di bawah hukum-hukum alamiah dan tradisi,
subyek menjadi ”subyek yang memilih”, tetapi dalam kebebasan memilih
meninggalkan jejak yang membahayakan diri dan orang banyak. Alhasil, lewat Isra Miraj, imajinasi
kebangsaan-keagamaan itu harus terus dinyalakan. Imajinasi untuk membangun
simbol-simbol baru, termasuk menciptaan simbol politik (political imaginary)
untuk menyambut terwujudnya biopolitik yang sehat, hadirnya lingkungan
politik yang tidak tercemar kepentingan sesaat dan menyesatkan. Isra Miraj
yang mampu menyelesaikan ketegangan antara virtu dan fortuna: pelampauan
terhadap tarikan kebendaan yang mencelakakan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar