Jumat, 12 Maret 2021

 

Menyalakan Imajinasi Politik Miraj, Mewujudkan Biopolitik Sehat

 Asep Salahudin  ; Rektor IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya

                                                        KOMPAS, 11 Maret 2021

 

 

                                                           

Tanggal 27 Rajab yang bertepatan dengan 11 Maret 2021 mengingatkan tentang peristiwa alegoris perjalanan Kanjeng Nabi yang mampu melipat ruang dan waktu. Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian menembus Sidratul Muntaha. Tiba kepada Tuhan. Melakukan dialog transendental. Untuk kemudian kembali lagi ke bumi manusia dengan sukma yang tercerahkan.

 

Berulang kali kita rayakan peristiwa itu. Kita ingat setiap fragmen hikayat yang menyertainya. Negara juga menjadikannya sebagai hari libur nasional. Ada sekian banyak kitab sekaligus karya sastra yang menimba spiritnya dari lelaku surealis Isra Miraj. Ribuan puisi juga ditulis dengan semangat tema yang semakna.

 

Dan, kita juga menyaksikan dalam banyak peradaban manusia, serupa ”miraj” yang bermakna ”naik”, melambangkan tentang keutamaan. Bahwa martabat seseorang dan atau sebuah bangsa hanya akan bisa dicapai jiga bersedia melonjakkan kualitas dirinya menaik ke tingkat yang lebih tinggi. ”Naik” menyimbolkan ihwal keluhuran marwah. Sebagaimana turun yang menjadi antitesanya: metafor dari kerendahan, nestapa, dan status terpuruk lainnya.

 

Jalan kepulangan

 

Dalam konteks kebangsaan, Isra Miraj harus dimaknai sebagai satu ritus keagamaan yang menginjeksikan pentingnya kesadaran mengorbitkan spirit lapang dada pada setiap pemeluk agama dalam menyikapi berbagai perbedaan.

 

Sebagaimana Kanjeng Nabi yang menjejakkan kakinya tidak saja di kota kelahirannya (Mekkah), tetapi juga melakukan lawatan ke kota yang menjadi indeks kultural-teologis para Nabi terdahulu (Masjidil Aqsa/Palestina). Nabi melakukan ”dialog antariman” secara ruhaniah lewat situs yang ditinggalkan para pendahulunya.

 

Tidak saja berhenti di sana, tetapi juga kita temukan simbol-simbol penuh daya pikat ketika proses menaik itu berlangsung. Bagaimana kesinambungan para Nabi yang menjadi mata air lahirnya setiap agama dipertunjukkan dalam dialog kebaktian sembahyang.

 

Surga dan neraka dihadirkan sebagi cara dalam merumuskan moralitas yang dijangkarkan pada ingatan-ingatan eskatologis. Racun dan madu dihidangkan sebagai bentuk lain bagaimana Tuhan menawarkan etika kebebasan kepada manusia lengkap dengan tanggung jawab yang melekat di dalamnya.

 

Sebuah perjalanan yang mengingatkan saya pada sebuah karya sastra bikinan Fariduddin Attar, ”Musyawarah Burung”. Burung-burung yang bermusyawarah untuk menghentikan ragam masalah, sengketa, konflik, virus yang mendera ekosistemnya. Musyawarah yang kemudian berujung pada kesimpulan mufakat: jalan keluarnya hanya terletak pada kesediaan melakukan perjalanan ke puncak Gunung Qaf menjumpai Maha Burung, Simurgh.

 

Dalam perjalanan itu, tidak semuanya tiba pada tujuan. Bahkan, kebanyakan terlempar ke jurang, mengalami disorientasi, terpikat pesona nafsu, terjerembab rayuan kekuasaan dan tidak sedikit juga yang tergoda ihwal sesuatu yang berjangka pendek. Yang selamat hanya tiga puluh. Tiga puluh itu bahasa Persia-nya adalah simurgh.

 

Simurgh menyimbolkan tentang daya kedirian. Mengenai kewajiban kita lebih mengenal diri. Pulang kepada sesuatu yang paling karib: diri sendiri. Dalam literasi sufisme diungkapkan, ”Siapa yang mengenal dirinya, dia akan faham Tuhan-nya.”

 

Imam Ali juga berkata, ”Puncak ilmu terletak pada pengetahuan terhadap diri sendiri.” Bahkan, Immanuel Kant memosisikan ”suara hati” sebagai sumber moral yang absolut dan melampaui prasangka umum, landasan etika yang murni dan tidak ikut-ikutan. Hati indvidu yang terhubung langsung dengan Tuhan yang mahamutlak.

 

Konteks kebangsaan

 

Hari ini bangsa kita sering kali didera banyak percakapan yang tergesa-gesa, tidak lengkap, saling curiga, dan sisanya meruyaknya kebencian satu dengan lainnya. Dunia maya kian menebalkan terjadi kondisi mengenaskan seperti itu. Algoritma sosial yang dicangkokan pada serat kekuatan digital kian menancapkan terjadi percakapan-percakapan yang tidak produktif.

 

Di sisi lain, laju politik yang semestinya semakin mempercepat mencuatnya ruang berkeadaban justru sebaliknya. Yang kita saksikan adalah ruang publik politik yang hiruk-pikuk seputar perebutan kekuasaan, transaksi jabatan, dan atau siasat melakukan pencurian terhadap uang rakyat.

 

Berita berulang tentang KPK yang melakukan operasi tangkap tangan seolah tidak juga membawa efek jera, bahkan tragisnya justru terjadi di tengah wabah pandemik yang belum ada kepastian ujungnya.

 

Demokrasi yang kita rayakan tampaknya kian menjauh dari khitahnya. Berputar sekitar elektoral. Dari pilkada yang diselenggarakan penuh gempita hanya menghasilkan politik yang tunapeta, hilang substansinya, dan selebihnya adalah para kepala daerah yang selama memimpin terus berupaya menutupi utang-utangnya akibat politik yang berbiaya tinggi atau hasrat kebablasan memperkaya diri.

 

Hari ini ruang publik politik, kultural-keagamaan kita seperti tidak menemukan jejak keteladanan. Politik kehilangan otentisitas rujukan dan idealisasi apalagi ideologi tampaknya sudah lama mati suri. Sebuah situasi teramat buram yang dibilang filsuf Eropa Timur, Slavoj Zizek, sebagai efisiensi simbolik yang semakin dangkal tak terarah (symbolic efficiency).

 

Akibatnya, seperti ditafsirkan Robertus Robet, kita hidup dalam budaya ”seolah-olah”: kita selalu mendapatkan lebih dari segala yang kita bayarkan, tetapi kita bingung untuk keperluan apa harus digunakan? Subyek tidak lagi tunduk di bawah hukum-hukum alamiah dan tradisi, subyek menjadi ”subyek yang memilih”, tetapi dalam kebebasan memilih meninggalkan jejak yang membahayakan diri dan orang banyak.

 

Alhasil, lewat Isra Miraj, imajinasi kebangsaan-keagamaan itu harus terus dinyalakan. Imajinasi untuk membangun simbol-simbol baru, termasuk menciptaan simbol politik (political imaginary) untuk menyambut terwujudnya biopolitik yang sehat, hadirnya lingkungan politik yang tidak tercemar kepentingan sesaat dan menyesatkan. Isra Miraj yang mampu menyelesaikan ketegangan antara virtu dan fortuna: pelampauan terhadap tarikan kebendaan yang mencelakakan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar