Ketika
”Cap Go Meh” Melintas di Kanvas Agus Dermawan T ; Kritikus, Penulis Buku Budaya dan
Seni |
KOMPAS,
27 Februari
2021
Pada Jumat, 26 Februari 2021, masyarakat
Tionghoa merayakan Cap Go Meh. Perayaan khas ini dimaknai sebagai ”hari
puncak gembira” yang ditetapkan pada hari ke-15 Tahun Baru Imlek, yang
terjadi pada 12 Februari lalu. Memang, dalam etimologinya, cap go (bahasa
Hokian) artinya bilangan ke-15. Hikayat selalu menuturkan bahwa pada saat
Cap Go Meh, bulan diperhitungkan hadir bundar dan bersinar penuh. Bunga-bunga
konon dipercaya mekar diam-diam di malam hari. Satwa di laut dan sungai
berpesta dalam air yang dipendari cahaya. Sementara orang-orang di rumah menandai
hari ini dengan kudapan kreasi peranakan Tionghoa spesial. Khusus di
Indonesia, dan kemudian menjalar ke Asia Tenggara, kudapan itu bernama
lontong cap go meh. Kuliner halal ini mengomposisikan lontong
dengan sayur bersantan yang mengimbuhkan 15 elemen lauk, seperti sambal
goreng jeroan, telur dan tahu kecap, ayam opor, sayur labu. Walaupun pada
realitasnya jumlah lauk hanya berkisar 5 sampai 7 saja. Tak apa. Yang
penting, ritualnya dapat dan rasanya tetap nikmat. Dalam sejarah sosial bangsa Indonesia,
perayaan Cap Go Meh adalah peristiwa unik. Keunikan kemudian diangkat ke
ruang publik, di antaranya dalam bentuk pawai budaya dan seni yang biasanya
dengan kemeriahan luar biasa. Sebelum pandemi Covid-19 melanda, banyak
kota memanfaatkan perayaan ini untuk ikon pariwisata. Seperti yang dilakukan
oleh Kota Bogor dan Singkawang sehingga masyarakat Indonesia (dan dunia)
tahu, Bogor dan Singkawang kini adalah ”Negeri Cap Go Meh” yang tiada
taranya. Bahkan, dengan mengandalkan festival Cap Go
Meh itu, Wali Kota Bogor (Bima Arya) dan Wali Kota Singkawang (Tjhai Chui
Mie) ternobatkan sebagai wali kota penerima Anugerah Kebudayaan tahun 2021
oleh Persatuan Wartawan Indonesia Pusat. Cap
Gho Meh dalam Seni Rupa Cap Go Meh adalah perayaan yang juga
inspiratif untuk seni rupa. Oleh karena itu, tak sedikit perupa Indonesia
yang mengabadikannya. Ingat karya pematung Amrus Natalsya, pegrafis Mansyur
Masud, pelukis Basoeki Abdullah, Lee Man Fong, Hardi, Harlim, Lim Hui Yung,
dan seterusnya. Mereka menangkap perayaan Cap Go Meh dalam
berbagai sudut pandang. Dari yang realistis, extravaganza, sampai yang
hiperbolis. Bahkan juga parodis, seperti lukisan ”Cap Go Meh Mona Lisa” karya
Robby Lulianto, yang menggambarkan Mona Lisa (figur lukisan masyhur Leonardo
da Vinci) tiba-tiba muncul dalam pakaian ciongsam di tengah perayaan, dan
bersoja ria kepada siapa saja. Pada umumnya para perupa mengambil momentum
Cap Go Meh ketika arak-arakan barongsai dan liong sedang beraksi di jalanan,
dengan disaksikan ribuan orang. Menarik, dalam karya-karya itu para seniman
tidak lupa menyisipkan perlambang. Dalam pakemnya, barongsai memiliki tiga
warna perlambang. Warna emas (lambang kesukacitaan), hijau (lambang
pertemanan dan persaudaraan), dan merah (lambang keberanian, dalam menghalau
makhluk jahat). Sedangkan liong (Mandarin: lung) atau naga adalah lambang
kebenaran, kebaikan, kekuatan, keberuntungan, dan kemakmuran yang
terus-menerus. Juluran panjang tubuh liong adalah simbolisasi hoki yang tak
pernah putus. Itu sebabnya tak sedikit pawai liong yang
memperagakan naga yang tubuhnya menjulur jauh. Pada 2014 Kota Semarang
menggelar ular naga yang panjangnya bukan kepalang, dan menjalar-jalar kian
kemari: 128,5 meter, sehingga dicatat sebagai pemecah rekor oleh Muri (Museum
Rekor Indonesia). Yang bikin semakin memesona, liong itu
sebagian besar elemennya dibuat dari kain batik. Walaupun prestasi ini
akhirnya dikalahkan oleh Kota Singkawang, yang pada perayaan Cap Go Meh 2017
menjelojorkan liong sepanjang 175 meter! Dan masuk rekor Muri pula. Sangat banyak seni rupa Cap Go Meh nan
menarik hati. Namun, karya seni rupa Cap Go Meh yang paling terkenal adalah
ciptaan S Sudjojono, ”Cap Go Meh”, 1940. Dalam lukisan berukuran 73 x 51 cm ini
Sudjojono (1913-1986) menghadirkan gaya komikal, yang dengan sengaja tidak
mengindahkan anatomi, dan menghilangkan penggambaran realistik yang sering
menjadi kekuatan visualnya. Yang muncul di kanvas adalah susunan figur-figur
dengan bentuk mengacu kepada kartun, bahkan pipih seperti wayang kulit. Karya ini oleh masyarakat kesenian
dipandang sebagai lukisan modern Indonesia pertama yang merefleksikan rasa
toleransi antarsuku, ras, kepercayaan, dan adat. Lebih dari itu, lukisan ini
dianggap sebagai kritik sosial (terutama) bagi orang-orang tua yang selalu
”kebanyakan gaya” ketika menyongsong peradaban. Sementara sebagai lukisan naratif, karya
ini acap dibahas dalam aspek tematik serta presentasi wujud visualnya. Namun,
belum pernah diungkap tuntas makna tradisional yang tersembunyi di dalamnya.
Maka, mari kita ungkap makna tradisional itu. Komik
Si Tua Keladi Syahdan dalam purnama Cap Go Meh anak-anak
muda keluar rumah dan ramai-ramai mencari jodoh. Untuk menekankan rasa
kehati-hatian moralitas kepada anak-anak muda, lantas dimunculkan pepatah
klasik sebagai rambu: ”hao ni pu yu chuen – hao nan pu khan ten” (perempuan
yang baik tidak pelesiran di musim semi – lelaki yang baik tidak terpesona
lampion). Musim semi adalah gambaran Cap Go Meh dan
lampion adalah perumpamaan bagi sosok wanita yang muncul ada pesta hura-hura
Cap Go Meh. Pada 1940-an perayaan Cap Go Meh
diselenggarakan di sejumlah daerah. ”Saya tahu, yang paling meriah
menyelenggarakan perayaan Cap Go Meh kurun itu adalah warga Pontianak,
Semarang, Tangerang. Tapi Batavia atau Jakarta tidak kurang antusiasnya. Ini
karena warga Tionghoa di Jakarta cukup banyak, dengan kebudayaan yang diberi
peluang hidup dan berkembang,” kata Sudjojono. Dalam acara itu Sudjojono melihat
remaja-remaja perempuan berangkat dari rumah setelah merias diri secantik-cantiknya.
Dan para pemuda bergegas memacak diri segagah-gagahnya. Mereka berbondong
menuju ke halaman kelenteng untuk menonton pertunjukan wayang potehi, erhu
(musik gesek bersenar dua), atau keroncong. Atau ke sehamparan alun-alun yang
biasanya menggelar pertunjukan gambang keromong. Di sela-sela pertunjukan wayang potehi,
keroncong, atau gambang keromong, pemuda dan pemudi saling melirik memilih
jodoh yang cocok. Tak sedikit pemudi membordir pakaiannya dengan gambar bunga
azalea, yang dipercaya sebagai simbol kecantikan luar-dalam. Atau gambar dua
bebek mandarin yang dipakai sebagai simbol kebahagiaan sebuah perkawinan. Yang mengundang perhatian, dalam momentum
ini tidak hanya warga Tionghoa yang berpesta, tapi juga warga bumiputra.
”Tionghoa, Betawi, Jawa, Batak, Sunda, Ambon, Madura, Manado berbaur menjadi
satu!” ujar Sudjojono. ”Cap Go Meh” karya Sudjojono tidak cuma
merekam seremoni, tetapi juga melukiskan apa yang ada di balik itu. Simak,
yang tampak di arena jodoh ternyata bukan para pemuda dan pemudi jomblo,
tetapi lelaki dan perempuan yang sudah memiliki istri atau suami. Lalu
terlihatlah figur utama lukisan: seorang lelaki baya yang menyembunyikan
wajahnya di balik topeng sedang menari bersama wanita setengah umur. Alhasil, dalam lukisan pesta muda-mudi ini
Sudjojono justru memunculkan gambaran anak-anak muda hanya sekelebatan.
Lukisan justru mengekspos bapak-bapak yang seru berjoget sambil mengempit
buku rumus: bagaimana menyerobot masa depan anak-anak muda. Berdekatan dengan si bapak tampak seorang
lelaki memegang biola. Lelaki itu berkepala buaya, yang oleh pelukisnya tak
cuma diibaratkan sebagai buaya-keroncong, tetapi juga buaya darat yang suka
melahap apa saja yang hidup. Padahal, dalam kosmologi China, seorang
lelaki tua semestinya tinggal di rumah sambil menghayati saputangan bergambar
Dewi Magu sedang membawa buah persik. Itu lambang pensiun dan rasa syukur
bagi para warga lanjut usia. Ya, lukisan ”Cap Go Meh” Sudjojono adalah
potret perilaku orang tua Indonesia dalam sebuah zaman, yang mungkin terus
berulang entah sampai kapan. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah
apabila pada 1940 keriuhan dan kompleksitas sosial Cap Go Meh berhasil
direkam, adakah kesenyapan Cap Go Meh di era pandemi Covid-19 juga akan
tergambarkan? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar