Senin, 01 Maret 2021

 

Ketika ”Cap Go Meh” Melintas di Kanvas

 Agus Dermawan T  ;  Kritikus, Penulis Buku Budaya dan Seni

                                                     KOMPAS, 27 Februari 2021

 

 

                                                           

Pada Jumat, 26 Februari 2021, masyarakat Tionghoa merayakan Cap Go Meh. Perayaan khas ini dimaknai sebagai ”hari puncak gembira” yang ditetapkan pada hari ke-15 Tahun Baru Imlek, yang terjadi pada 12 Februari lalu. Memang, dalam etimologinya, cap go (bahasa Hokian) artinya bilangan ke-15.

 

Hikayat selalu menuturkan bahwa pada saat Cap Go Meh, bulan diperhitungkan hadir bundar dan bersinar penuh. Bunga-bunga konon dipercaya mekar diam-diam di malam hari. Satwa di laut dan sungai berpesta dalam air yang dipendari cahaya.

 

Sementara orang-orang di rumah menandai hari ini dengan kudapan kreasi peranakan Tionghoa spesial. Khusus di Indonesia, dan kemudian menjalar ke Asia Tenggara, kudapan itu bernama lontong cap go meh.

 

Kuliner halal ini mengomposisikan lontong dengan sayur bersantan yang mengimbuhkan 15 elemen lauk, seperti sambal goreng jeroan, telur dan tahu kecap, ayam opor, sayur labu. Walaupun pada realitasnya jumlah lauk hanya berkisar 5 sampai 7 saja. Tak apa. Yang penting, ritualnya dapat dan rasanya tetap nikmat.

 

Dalam sejarah sosial bangsa Indonesia, perayaan Cap Go Meh adalah peristiwa unik. Keunikan kemudian diangkat ke ruang publik, di antaranya dalam bentuk pawai budaya dan seni yang biasanya dengan kemeriahan luar biasa.

 

Sebelum pandemi Covid-19 melanda, banyak kota memanfaatkan perayaan ini untuk ikon pariwisata. Seperti yang dilakukan oleh Kota Bogor dan Singkawang sehingga masyarakat Indonesia (dan dunia) tahu, Bogor dan Singkawang kini adalah ”Negeri Cap Go Meh” yang tiada taranya.

 

Bahkan, dengan mengandalkan festival Cap Go Meh itu, Wali Kota Bogor (Bima Arya) dan Wali Kota Singkawang (Tjhai Chui Mie) ternobatkan sebagai wali kota penerima Anugerah Kebudayaan tahun 2021 oleh Persatuan Wartawan Indonesia Pusat.

 

Cap Gho Meh dalam Seni Rupa

 

Cap Go Meh adalah perayaan yang juga inspiratif untuk seni rupa. Oleh karena itu, tak sedikit perupa Indonesia yang mengabadikannya. Ingat karya pematung Amrus Natalsya, pegrafis Mansyur Masud, pelukis Basoeki Abdullah, Lee Man Fong, Hardi, Harlim, Lim Hui Yung, dan seterusnya.

 

Mereka menangkap perayaan Cap Go Meh dalam berbagai sudut pandang. Dari yang realistis, extravaganza, sampai yang hiperbolis. Bahkan juga parodis, seperti lukisan ”Cap Go Meh Mona Lisa” karya Robby Lulianto, yang menggambarkan Mona Lisa (figur lukisan masyhur Leonardo da Vinci) tiba-tiba muncul dalam pakaian ciongsam di tengah perayaan, dan bersoja ria kepada siapa saja.

 

Pada umumnya para perupa mengambil momentum Cap Go Meh ketika arak-arakan barongsai dan liong sedang beraksi di jalanan, dengan disaksikan ribuan orang. Menarik, dalam karya-karya itu para seniman tidak lupa menyisipkan perlambang.

 

Dalam pakemnya, barongsai memiliki tiga warna perlambang. Warna emas (lambang kesukacitaan), hijau (lambang pertemanan dan persaudaraan), dan merah (lambang keberanian, dalam menghalau makhluk jahat). Sedangkan liong (Mandarin: lung) atau naga adalah lambang kebenaran, kebaikan, kekuatan, keberuntungan, dan kemakmuran yang terus-menerus. Juluran panjang tubuh liong adalah simbolisasi hoki yang tak pernah putus.

 

Itu sebabnya tak sedikit pawai liong yang memperagakan naga yang tubuhnya menjulur jauh. Pada 2014 Kota Semarang menggelar ular naga yang panjangnya bukan kepalang, dan menjalar-jalar kian kemari: 128,5 meter, sehingga dicatat sebagai pemecah rekor oleh Muri (Museum Rekor Indonesia).

 

Yang bikin semakin memesona, liong itu sebagian besar elemennya dibuat dari kain batik. Walaupun prestasi ini akhirnya dikalahkan oleh Kota Singkawang, yang pada perayaan Cap Go Meh 2017 menjelojorkan liong sepanjang 175 meter! Dan masuk rekor Muri pula.

 

Sangat banyak seni rupa Cap Go Meh nan menarik hati. Namun, karya seni rupa Cap Go Meh yang paling terkenal adalah ciptaan S Sudjojono, ”Cap Go Meh”, 1940.

 

Dalam lukisan berukuran 73 x 51 cm ini Sudjojono (1913-1986) menghadirkan gaya komikal, yang dengan sengaja tidak mengindahkan anatomi, dan menghilangkan penggambaran realistik yang sering menjadi kekuatan visualnya. Yang muncul di kanvas adalah susunan figur-figur dengan bentuk mengacu kepada kartun, bahkan pipih seperti wayang kulit.

 

Karya ini oleh masyarakat kesenian dipandang sebagai lukisan modern Indonesia pertama yang merefleksikan rasa toleransi antarsuku, ras, kepercayaan, dan adat. Lebih dari itu, lukisan ini dianggap sebagai kritik sosial (terutama) bagi orang-orang tua yang selalu ”kebanyakan gaya” ketika menyongsong peradaban.

 

Sementara sebagai lukisan naratif, karya ini acap dibahas dalam aspek tematik serta presentasi wujud visualnya. Namun, belum pernah diungkap tuntas makna tradisional yang tersembunyi di dalamnya. Maka, mari kita ungkap makna tradisional itu.

 

Komik Si Tua Keladi

 

Syahdan dalam purnama Cap Go Meh anak-anak muda keluar rumah dan ramai-ramai mencari jodoh. Untuk menekankan rasa kehati-hatian moralitas kepada anak-anak muda, lantas dimunculkan pepatah klasik sebagai rambu: ”hao ni pu yu chuen – hao nan pu khan ten” (perempuan yang baik tidak pelesiran di musim semi – lelaki yang baik tidak terpesona lampion).

 

Musim semi adalah gambaran Cap Go Meh dan lampion adalah perumpamaan bagi sosok wanita yang muncul ada pesta hura-hura Cap Go Meh.

 

Pada 1940-an perayaan Cap Go Meh diselenggarakan di sejumlah daerah. ”Saya tahu, yang paling meriah menyelenggarakan perayaan Cap Go Meh kurun itu adalah warga Pontianak, Semarang, Tangerang. Tapi Batavia atau Jakarta tidak kurang antusiasnya. Ini karena warga Tionghoa di Jakarta cukup banyak, dengan kebudayaan yang diberi peluang hidup dan berkembang,” kata Sudjojono.

 

Dalam acara itu Sudjojono melihat remaja-remaja perempuan berangkat dari rumah setelah merias diri secantik-cantiknya. Dan para pemuda bergegas memacak diri segagah-gagahnya. Mereka berbondong menuju ke halaman kelenteng untuk menonton pertunjukan wayang potehi, erhu (musik gesek bersenar dua), atau keroncong. Atau ke sehamparan alun-alun yang biasanya menggelar pertunjukan gambang keromong.

 

Di sela-sela pertunjukan wayang potehi, keroncong, atau gambang keromong, pemuda dan pemudi saling melirik memilih jodoh yang cocok. Tak sedikit pemudi membordir pakaiannya dengan gambar bunga azalea, yang dipercaya sebagai simbol kecantikan luar-dalam. Atau gambar dua bebek mandarin yang dipakai sebagai simbol kebahagiaan sebuah perkawinan.

 

Yang mengundang perhatian, dalam momentum ini tidak hanya warga Tionghoa yang berpesta, tapi juga warga bumiputra. ”Tionghoa, Betawi, Jawa, Batak, Sunda, Ambon, Madura, Manado berbaur menjadi satu!” ujar Sudjojono.

 

”Cap Go Meh” karya Sudjojono tidak cuma merekam seremoni, tetapi juga melukiskan apa yang ada di balik itu. Simak, yang tampak di arena jodoh ternyata bukan para pemuda dan pemudi jomblo, tetapi lelaki dan perempuan yang sudah memiliki istri atau suami. Lalu terlihatlah figur utama lukisan: seorang lelaki baya yang menyembunyikan wajahnya di balik topeng sedang menari bersama wanita setengah umur.

 

Alhasil, dalam lukisan pesta muda-mudi ini Sudjojono justru memunculkan gambaran anak-anak muda hanya sekelebatan. Lukisan justru mengekspos bapak-bapak yang seru berjoget sambil mengempit buku rumus: bagaimana menyerobot masa depan anak-anak muda.

 

Berdekatan dengan si bapak tampak seorang lelaki memegang biola. Lelaki itu berkepala buaya, yang oleh pelukisnya tak cuma diibaratkan sebagai buaya-keroncong, tetapi juga buaya darat yang suka melahap apa saja yang hidup.

 

Padahal, dalam kosmologi China, seorang lelaki tua semestinya tinggal di rumah sambil menghayati saputangan bergambar Dewi Magu sedang membawa buah persik. Itu lambang pensiun dan rasa syukur bagi para warga lanjut usia.

 

Ya, lukisan ”Cap Go Meh” Sudjojono adalah potret perilaku orang tua Indonesia dalam sebuah zaman, yang mungkin terus berulang entah sampai kapan.

 

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah apabila pada 1940 keriuhan dan kompleksitas sosial Cap Go Meh berhasil direkam, adakah kesenyapan Cap Go Meh di era pandemi Covid-19 juga akan tergambarkan? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar