Republik
Sapi Perah Ahmad Syafii Maarif ; Ketua Umum PP Muhammadiyah
1998-2005 |
KOMPAS,
27 Februari
2021
Masih terbayang dalam ingatan, artikel di
bagian akhir sebuah koran nasional, abad yang lalu, Artikel itu berjudul “RBI
(Republik Bocor Indonesia)” sebagai reaksi saya atas terjadinya transaksi
ilegal bahan bakar minyak (BBM) di perairan Natuna. Dari orang Indonesia
kepada pihak asing, demi meraup untung besar. Berapa besarnya keuntungan yang diraih itu
tidak dijelaskan. BBM dibocorkan kepada pihak asing oleh para pemain anak
bangsa yang hanya punya tujuan tunggal: merampok milik rakyat dengan menabrak
semau gue segala undang-undang (UU) dan peraturan yang ada. Inilah RSP (Republik Sapi Perah). Perbuatan
busuk dan jahat seperti ini telah berlangsung puluhan tahun di bawah berbagai
rezim. Negara seperti tidak berdaya. Dikibuli saja oleh kaum petualang yang
memang lihai bermain. Awal Februari 2021 ini saya mendapat
laporan dari orang yang sangat dapat dipercaya karena kepakarannya di dunia
BBM. Menurut laporan itu, ada anak perusahaan dari sebuah BUMN yang telah
berbuat keji dalam tempo lama. Mereka merekayasa anak perusahaan itu agar
terlihat legal, demi keuntungan pribadi atau kelompoknya. Kerugian negara mencapai angka ratusan
miliar dollar AS. Angka-angka itu tidak saya tulis di sini. Dokumen masih
tersimpan di ponsel saya. Itu baru satu anak perusahaan. Ratusan lainnya
mungkin sami mawon (sama saja). Jika judul artikel ini terasa keras dan
kejam, memang disengaja, karena fakta di lapangan jauh lebih keras dan kejam.
Laporan itu saya teruskan kepada komisaris utama perusahaan induk. Ini
jawabannya: ”Terlalu banyak permainan Pak.” Semakin sadarlah saya bahwa
negeri ini memang surga bagi penjahat. Aparat penegak hukum sering tumpul dan
mandul dibuatnya. Pelakunya manusia berkulit sawo matang, bukan si hidung
mancung era VOC akhir abad ke-18. VOC runtuh berantakan karena mega korupsi
si kulit putih. Sejak itu kekuasaan di Nusantara resmi diambil alih
pemerintah kolonial Belanda, sampai diusir pasukan Jepang tahun 1942. Warisan
korupsi Di antara warisan terbusuk VOC untuk
Indonesia merdeka adalah tindakan kriminal korupsi. Dua menteri Presiden
Jokowi yang dipecat karena korupsi adalah bukti teranyar yang baru ketahuan.
Satu kasus bantuan sosial (bansos), satu lagi kasus bibit lobster. Yang belum
ketahuan, semoga juga terbongkar. Korupsi sudah merambah ke semua lini
kehidupan bangsa. Dari desa yang tersuruk sampai pusat kekuasaan. Tidak ada
yang benar-benar bersih. Sekiranya letak geografis Indonesia di selatan
Sahara Afrika, bangsa dan negara ini sudah lama tenggelam. Kukut. Gagal
karena sebagian adalah cicit-cicit VOC. Puji Allah, lokasi negeri ribuan pulau ini
di sekitaran khatulistiwa yang kaya, baik darat mau pun lautannya. Sekalipun
sudah jadi sapi perah, bangsa ini masih bertahan dengan utang raksasa dan
napas yang terengah-engah. Di tengah serangan Covid-19 ini, sebagian rakyat
kita memang sudah kelimpungan, dan negara harus mengeluarkan dana ratusan
triliun rupiah untuk menolong mereka. Kebijakan ini adalah satu-satunya jalan
yang harus ditempuh dan negara telah melakukannya. Sangat menjijikkan, dana
pandemi ini pun menjadi sasaran korupsi. Untuk menyegarkan ingatan kolektif kita
tentang betapa bangsa dan negara ini telah berulang kali menjadi sapi perah,
kita catat saja secara acak sejak era awal 1970-an. Ingat ketika koran Indonesia Raya, pimpinan
Mochtar Lubis, membongkar mega korupsi 12 miliar dollar AS di tubuh
Pertamina. Indonesia heboh dan goncang. Sialnya, setelah Presiden Soeharto
mengambil alih persoalan, kehebohan ini berangsur sepi. Teriakan Mochtar Lubis senyap tanpa bekas.
Ke mana menyelinapnya kekayaan negara sejumlah itu, tidak pernah dijelaskan sampai
hari ini. Sebagai akibat krisis moneter tahun 1998,
Desember tahun itu —atas tekanan Dana Moneter Internasional (IMF)— Bank
Indonesia (BI) telah menyalurkan pinjaman BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia) Rp147,7 triliun kepada 48 bank yang bermasalah likuiditas. Masih
berlanjut Apa yang terjadi kemudian? Menurut temuan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), telah terjadi indikasi penyimpangan oleh para
bankir ini sebesar Rp138 triliun. Mereka dibantu, BI malah ditempeleng.
Sampai sekarang masalah BLBI ini belum tuntas juga, meski beberapa pejabat
inti BI telah dihukum. Selalu saja berlaku permainan siluman yang
tak pernah jera. Kultur sapi perah ini terus saja berlanjut. Kita catat
sekilas saja karena masih belum terlalu lama. Pada era Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) terjadi kasus Bank Century Rp 6,7 triliun. Sampai
sekarang belum jelas juga penyelesaiannya. Di era Presiden Jokowi, dari 2014 sampai
sekarang, merebak kasus Asuransi Bumiputera 1912 yang hampir bangkrut karena
kesalahan manajemen. Menyusul kasus Asuransi Jiwasraya yang gagal bayar klaim
polis. Sebenarnya proses pembusukan asuransi ini
sudah tercium sejak tahun 2000-an, tetapi ditutup-tutupi dengan cara
patgulipat. Yang terbaru, selain korupsi dana bansos senilai Rp17 triliun, di
atas ada lagi korupsi di BUMN PT Asabri (Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) yang berdiri sejak 1971. Angkanya menurut Kejaksaan Agung dan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencapai Rp18 triliun. Apa yang terjadi di DPR sebagai lembaga
tinggi negara yang kabarnya terkorup, tidak dibicarakan di sini. Kritik
publik kepada lembaga ini sudah terlalu sering. Aduh, mak, semakin dibongkar,
semakin melelahkan. Tidak jelas ujung pangkalnya. Sekali lagi, yang menyelamatkan Indonesia
dari kehancuran total adalah karena alam kita yang dermawan. Lokasinya,
Alhamdulillah, tidak di selatan Sahara Afrika. Diperas dan diperah, bumi
Nusantara ini masih saja sabar. Tetapi akan tahan sampai berapa lama? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar