Jumat, 05 Maret 2021

 

Meruwat Daulat Rakyat

 J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS

                                                        KOMPAS, 04 Maret 2021

 

 

                                                           

Beberapa tahun terakhir ini, sebagian warga dunia galau karena daulat rakyat sebagai tata kelola kekuasaan negara yang menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan mengalami ancaman eksistensial. Pemilu atau biasa disebut pesta demokrasi, sebagai sarana rakyat memilih pemimpin yang mengabdi rakyat, menjadi rute pemakaman daulat rakyat karena dapat disulap menghasilkan tirani. Martabatnya merosot jadi sekadar perabot politik yang sangat instrumental, melampiaskan nafsu kuasa para pemburu kekuasaan. Demokrasi membunuh demokrasi; manajemen kekuasaan yang dapat membangun peradaban lumpuh menghadapi sakratulmaut.

 

Banyak penyebabnya, tetapi yang dominan adalah merebaknya paham populisme, pasca-kebenaran, serta pesatnya kemajuan teknologi digital. Adonan ketiga unsur tersebut menghasilkan demokrasi semu karena jurus memperoleh dukungan publik dengan hasutan, provokasi, dan kebohongan membuat pemilu seakan arena sah mengonsolidasi dukungan dengan kebohongan (demagoguery).

 

Benarkah daulat rakyat sekarat? Kegalauan tidak perlu terlalu berlebihan. Pertama, secara historis keraguan terhadap kelestarian kedaulatan rakyat telah berlangsung ratusan tahun. Negara yang menganggap dirinya pendekar demokrasi, Amerika Serikat, salah satu pendirinya yang menjadi presiden kedua (1797-1801), John Adams, mengingatkan demokrasi itu boros, melelahkan, dan tidak pernah berlangsung lama. Ia menegaskan belum pernah ada demokrasi yang tidak bunuh diri.

 

Yuval Noah Harari tidak kurang sengitnya. Ia berpendapat kemampuan artificial intelligence mampu mendeteksi aspirasi, emosi, ambisi, dan pikiran yang dapat diproses dan dikendalikan algoritma. Dengan begitu, lembaga-lembaga politik, seperti pemilu, parpol, dan parlemen, menjadi kedaluwarsa. Demokrasi akan pudar bahkan punah (Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, 2017).

 

Bahkan, di negara asal demokrasi, Yunani, Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi adalah sistem pemerintahan paling buruk karena penguasanya adalah segerombolan orang yang tidak cakap memerintah (mobocracy). Namun, keraguan serta ramalan kepunahan justru menghasilkan umpan balik yang mampu mendorong upaya mengoreksi demokrasi. Demokrasi tetap dianggap sebagai pilihan yang paling kurang buruk dibanding dengan tatanan kekuasaan lain yang tanpa roh kemanusiaan.

 

Kekenyalan demokrasi bersumber dari natur manusia yang mendambakan kebebasan, keadilan, serta kesetaraan. Tantangannya terletak pada kecenderungan gerak jiwa dan insting nafsu serakah yang dilakukan dengan membabi buta serta menghalalkan segala cara. Paradoks tersebut menyebabkan demokrasi bukan fenomena yang berhenti, tetapi ia sistem yang terus bergerak dan berada dalam tarik menarik antara dua tegangan tersebut.

 

Sejarah mencatat, diperlukan kerja ekstrakeras dan waktu yang lama untuk menyelamatkan kedaulatan rakyat. Banyak yang berhasil meskipun tidak sedikit pula yang gagal atau belum mencapai standar demokrasi yang disertai roh nilai-nilai kemanusiaan.

 

Namun, selama tersedia ruang dan semangat kebebasan, sekecil apa pun porsinya, demokrasi selalu dapat mengoreksi kesalahannya sendiri. Keleluasaan merupakan wahana mewacanakan gagasan yang rasional, kritik konstruktif, serta kesempatan mengorganisasi kekuatan masyarakat sipil membentuk kelompok penekan, kelompok kepentingan, dan dapat menjadi kekuatan alternatif melawan kekuasaan yang lalim.

 

Publik dewasa ini mengalami kegalauan karena rencana pemerintah dan parpol pendukung pemerintah membatalkan rencana revisi UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua UU 1/2015 tentang PP pengganti UU 1/2014 tentang Pilkada. Padahal, masyarakat sangat berharap revisi kedua UU tersebut dapat meningkatkan kualitas pemilu.

 

Ekspektasi itu, antara lain, tecermin dalam jajak pendapat Kompas. Sekitar 60 persen responden menghendaki revisi agar pemilu lebih berkualitas (15/2/2021). Harapan tersebut sejalan dengan kajian akademik serta wacana publik yang mengembangkan gagasan tentang pemilu konkuren dan desentralisasi asimetrik sebagai rekayasa politik mewujudkan pemerintahan yang efektif serta demokratis.

 

Bahkan, Keputusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 telah menawarkan beberapa opsi, antara lain menyebutkan pemilu serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial dilakukan dengan memilih anggota DPR, DPD, presiden/wapres, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD dan kepala daerah.

 

Secara tersamar, alasan pembatalan karena negara memerlukan stabilitas politik agar dapat segera menyelamatkan rakyat dari pandemi Covid-19. Argumen tersebut dapat dipahami karena narasi besarnya memerangi pandemi adalah upaya menyelamatkan rakyat; perbaikan UU pemilu dan pilkada juga mengamankan kedaulatan rakyat. Kedua agenda tersebut tidak mempunyai jarak spiritual. Keduanya bertujuan menghindarkan rakyat dari ancaman berhala yang mampu melumpuhkan bangsa dan negara.

 

Agar kegalauan masyarakat tidak merembet menjadi kontroversi yang tidak produktif, diharapkan pemerintah dan parlemen memberikan sinyal niat kuat serta jadwal yang jelas terkait agenda penyempurnaan tatanan politik yang komprehensif. Dikhawatirkan, tanpa penjelasan program legislasi yang jelas, pembatalan revisi dapat dituduh sebagai melakukan persekusi politik serta menggerogoti semangat konstitusional.

 

Mengingat berhala bersumber pada dualitas kodrat manusia, upaya menghindarinya perlu dilakukan dengan laku spiritual, ruwatan. Intinya, perjuangan dilakukan lahir-batin disertai optimisme dan sikap berharap. Kedua hal itu saling melengkapi. Optimis dasarnya rasionalitas, jika belum berhasil merasa gagal dan menjadi pesimis. Sikap berharap landasannya keyakinan kredo politik bangsa, kuasa Pancasila; jika belum berhasil tidak putus asa, tetap gigih berjuang sampai cita-cita diwujudkan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar