PEMBANGUNAN EKONOMI
Menghindari
Perlambatan Ekonomi
Oleh : A PRASETYANTOKO
KOMPAS, 26 Desember 2019
Beberapa bulan lalu, Larry Summer, mantan menteri
keuangan AS, menyebut tahun ini sebagai tahun paling berbahaya di sektor
keuangan setelah krisis 2008. Komentar ini muncul di tengah kekuatiran terjadinya
resesi global di 2020.
Meski risiko resesi meningkat, gejala imbal hasil negatif
yang pernah menghantui pasar keuangan AS sudah mulai reda. Bahkan perkembangan
terakhir sudah mulai positif, artinya imbal hasil surat utang jangka pendek
lebih rendah dibandingkan jangka panjang.
Jika tekanan di pasar keuangan mereda, tidak begitu di
sektor riil. Angka Purchasing Manager Index (PMI) global sebagai indikator
sektor riil sudah berada di bawah 50, menandai terjadinya perlambatan ekonomi.
Kalaupun tak terjadi resesi pada 2020, situasi perekonomian global mengalami
fase perlambatan akut. Masalahnya, stimulus tak lagi bisa diberikan mengingat
sudah hampir semua amunisi dikeluarkan.
Suku bunga tak bisa diturunkan lagi karena sudah terlalu
rendah, sementara insentif fiskal sudah tak bisa diberikan karena utang
pemerintah sudah terlalu tinggi. Suku bunga di beberapa negara sudah negatif,
seperti di Swedia minus 0,25 persen, Denmark dan Swiss minus 0,75 persen, Jepang
minus 0,1 persen, serta suku bunga Bank Sentral Eropa (ECB) minus 0,5 persen.
Sementara, rasio utang pemerintah terhadap perekonomian (PDB) di negara maju
sudah sangat tinggi, misalnya Jepang sudah mencapai 238 persen, Yunani 181
persen, Italia 134 persen dan AS 106 persen.
Bahkan ketika suku bunga sudah negatif sekalipun,
perekonomian masih saja stagnan. Pada fase ini, stagnasi akan melumpuhkan sisi
penawaran (supply side crisis), sementara dampak krisis 2008 yang meruntuhkan
sisi permintaan belum sepenuhnya teratasi. Akibatnya, perlambatan ekonomi
global akan berlangsung panjang dan masa depan akan diwarnai ketidakpastian.
Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF)
Kristalina Georgieva dalam pidato pelantikannya pada 1 Oktober 2019 menyebut
perekonomian global tengah mengalami perlambatan secara menyeluruh
(synchronized slowdown). Dampaknya akan menjalar ke seluruh negara, tanpa ada
yang bisa menghindarinya.
Dua
disrupsi
Mengapa perekonomian global macet parah dan nyaris tak
bergerak? Perang dagang China-AS sering disebut sebagai pangkal persoalan yang
menimbulkan implikasi di berbagai aspek. Mulai dari penurunan arus perdagangan,
merosotnya investasi, perlambatan produksi, hingga pertumbuhan global yang
terkoreksi. Sikap proteksionis Presiden AS Trump ternyata bukan anomali,
sebaliknya merupakan fenomena baru yang terjadi di banyak negara.
Kemenangan kubu Boris Jonhson dalam pemilu Inggris akan
mempercepat Brexit. Berkembangnya politik anti-globalisasi memperumit pemulihan
ekonomi global, karena tak lagi bisa dilakukan koordinasi. Kebijakan ekonomi
tak mampu mengatasi stagnasi, karena masalahnya berpangkal dari situasi
politik.
Sejak krisis 2008, dunia menghadapi dua disrupsi besar.
Pertama, disrupsi politik di mana aliran ultra-nasional terus menjalar di
banyak negara, khususnya Eropa dan Amerika Latin. Krisis telah membuat
kesadaran masyarakat tentang globalisasi berubah drastis, sehingga muncul
gejala deglobalisasi.
Kedua, disrupsi teknologi yang mengakselerasi inovasi dan
melahirkan revolusi industri 4.0. Di negara maju, krisis terjadi dalam situasi
penurunan produktivitas ekonomi akibat merosotnya produktivitas tenaga kerja
akibat penduduk yang semakin menua.
Mengingat faktor produksi tenaga kerja dan juga modal
sudah tak bisa dimaksimalkan lagi, maka teknologi sangat diandalkan. Akibat
krisis, masyarakat negara maju juga cenderung tak memercayai perbankan dan
lembaga keuangan, sehingga jenis teknologi yang berkembang bersifat
anti-intermediasi (peer-to-peer).
Dua disrupsi ini membuat arah perekonomian global berubah
drastis, dan pola globalisasi ke depan mengalami reposisi. Pertama, globalisasi
ke depan akan diiringi perlambatan ekonomi. Majalah The Economist (24/1/2019)
menyebut gejala ini sebagai Slowbalisation. Kedua, globalisasi ke depan akan
diwarnai berbagai perkembangan teknologi, khususnya robotika. Richard Baldwin
dalam bukunya The Globotics Upheaval (2019) menyebut globalisasi dan robotika
akan semakin intensif ke depan.
Menghadapi perlambatan ekonomi, teknologi sering
diandalkan guna mengatasi persoalan jangka pendek ini. Padahal, peran teknologi
sebagai salah satu faktor produksi hanya akan maksimal jika ekosistem
inovasinya memadai, sehingga bisa mendongkrak produktivitas. Di negara maju,
adopsi teknologi tak mampu menambah luaran produksi nasional. Teknologi lebih
banyak meningkatkan kualitas hidup, namun tidak menambah output produksi.
Bagaimana dampaknya di negara berkembang? Buku The
Innovation Paradox terbitan Bank Dunia (2017) menjelaskan, seharusnya teknologi
bisa berdampak lebih besar di negara berkembang melalui peningkatan produktivitas
yang bermuara pada kenaikan output produksi. Namun faktanya, di negara
berkembang peran teknologi cenderung tak maksimal, karena terbatasnya tenaga
kerja terampil, regulasi yang tak mendukung serta lingkungan yang kurang
kompetitif. Akibatnya, peran teknologi di negara berkembang terlihat
paradoksal.
Jika kita melihat situasi perekonomian domestik,
nampaknya keraguan peran teknologi mendorong pertumbuhan ekonomi juga terjadi.
Dalam Laporan Daya Saing Global 2019, Indonesia berada di peringkat ke-50 dari
141 negara atau turun lima peringkat dari posisi ke-45 pada 2018 lalu. Terkait
dengan adopsi teknologi informasi Indonesia berada di peringkat ke-72,
sementara kapasitas inovasi berada di peringkat ke-74. Terlihat belum tercipta
ekosistem yang memadai, sehingga teknologi tak bisa berperan maksimal mendorong
produktivitas domestik.
Mengantisipasi
dampak
Gejala perlambatan global mulai berimbas pada
perekonomian domestik. Pertumbuhan kuartal III-2019 kembali melorot menjadi
5,02 persen, angka pertumbuhan kuartal ketiga terendah sejak 2016. Karena
tekanan ini, pertumbuhan sepanjang tahun ini diperkirakan tak akan mencapai 5,1
persen. Sudah lebih dari lima tahun pertumbuhan ekonomi stagnan pada kisaran 5
persen saja. Akibat meningkatnya tekanan global, pertumbuhan 2020 diperkirakan
terus merosot. Moody’s memperkirakan pertumbuhan 2020 hanya 4,7 persen dan 2021
sebesar 4,8 persen.
Menghadapi situasi ini, agenda terpenting kebijakan
adalah menghindari siklus perlambatan ekonomi. Perlu ada mitigasi agar
pertumbuhan tetap di atas 5 persen. Untungnya, ruang melakukan manuver
kebijakan masih relatif lebar. Suku bunga acuan Bank Indonesia 5 persen dan
rasio utang pemerintah terhadap PDB sekitar 30 persen, sementara defisit
anggaran masih di bawah 2 persen terhadap PDB. Dengan demikian, baik kebijakan
moneter maupun fiskal masih bisa diberdayakan memompa perekonomian agar tumbuh
maksimal.
Meski begitu, kunci sebenarnya berada di sektor riil.
Keberhasilan di sektor riil bisa dilihat dari semakin meningkatnya output
perekonomian dengan menggunakan input produksi yang sama. Dengan kata lain
terjadi peningkatan produktivitas. Kebijakan fiskal dan moneter hanya
memfasilitasi agar produktivitas ekonomi meningkat.
Peningkatan produktivitas ekonomi ditentukan oleh faktor
produksinya, yaitu modal, tenaga kerja dan teknologi. Sehingga pertanyaannya,
bagaimana kebijakan nasional diarahkan untuk menaikkan pasokan modal yang
disertai peningkatan keterampilan tenaga kerja serta akselerasi adopsi
teknologi.
Rencana pemerintah mengeluarkan Omnibus Law di bidang
perpajakan dan penciptaan lapangan kerja sejatinya merupakan strategi menarik
investor asing masuk. Masuknya investor asing akan membawa serta faktor
produksi, seperti tambahan modal dalam jumlah signifikan, keterampilan
manajerial serta teknologi tinggi. Ketiganya diharapkan menciptakan dinamika
yang mendorong peningkatan produktivitas nasional.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan
realisasi investasi kuartal III-2019 mencapai Rp 205,7 triliun atau naik 15,4
persen dibandingkan tahun lalu. Realisasi Investasi Asing (PMA) naik menjadi Rp
105 triliun atau 17,8 persen dari tahun sebelumnya. Sementara realisasi
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) naik Rp 100,7 triliun atau 18,9 persen dari
tahun sebelumnya. Diharapkan, dengan berlakunya Omnibus Law bisa meningkatkan
lebih banyak investasi, baik PMA maupun PMDN.
Keduanya harus mendapat perhatian yang sama untuk terus
meningkatkan kontribusinya pada perekonomian domestik. Pada kuartal III tahun
ini, kontribusi investasi pada PDB sebesar 32 persen dengan tingkat pertumbuhan
4,2 persen. Sebagai perbandingan, konsumsi kontribusinya 56,52 persen dengan
tingkat pertumbuhan sebesar 5,1 persen.
Sebenarnya, peran investasi pada perekonomian sudah
relatif besar. Sebagai perbandingan rasio investasi terhadap PDB Thailand terus
merosot dari 27 persen Januari 2019 menjadi 21 persen September. Sementara
Vietnam yang dikenal sangat agresif menarik investasi asing, rasio investasi
terhadap perekonomian di akhir 2018 sekitar 26 persen.
Ada dua kelemahan mendasar dalam perekonomian kita.
Pertama, rendahnya daya saing produk nasional yang tercermin dari angka defisit
neraca perdagangan. Neraca perdagangan November kembali defisit sebesar 1,33
miliar dollar AS atau defisit terburuk sejak April 2019. Kedua, ketergantungan
pada modal asing, sehingga peningkatan peran investasi diiringi dengan lonjakan
kewajiban pada pihak eksternal dalam bentuk pembayaran dividen, bunga dan biaya
jasa. Defisit neraca transaksi berjalan menjadi bukti kelemahan itu.
Tak ada cara cepat mengatasi kelemahan tersebut, selain
meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional. Masalahnya, mengatasi dua
persoalan ini sama sekali tak mudah, serta memerlukan waktu panjang. Sementara
ancaman jangka menengah-pendek ini begitu nyata. Kuncinya, memainkan instrumen kebijakan moneter, fiskal
dan sektor riil secara proporsional.
Kita bisa melihat orkestrasi kebijakan moneter dan fiskal
telah dimainkan relatif baik. Namun kebijakan di sektor riil belum terasa
dinamikanya. Terlihat ada ironi besar di mana Presiden Jokowi banyak berbicara
soal pengembangan sektor riil, namun kementerian terkait sektor riil justru
lebih banyak diisi oleh para politisi. Bisa jadi, keberhasilan kebijakan
ekonomi harus dimulai dengan perombakan kabinet yang menangani sektor riil ini.
A
Prasetyantoko, Rektor Unika Atma Jaya
ayo daftarkan diri anda di 4g3n365*c0m :D
BalasHapusWA : +85587781483
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny
Di RIKA ANDERSON LOAN COMPANY, kami menawarkan semua jenis bantuan kewangan kepada semua individu, kadar faedah kami adalah 2% setiap tahun. Kami juga memberikan nasihat dan bantuan kewangan kepada kami pelanggan dan pemohon Sekiranya anda mempunyai projek yang baik atau ingin memulakan perniagaan dan memerlukan pinjaman untuk membiayai dengan segera, kami dapat membincangkannya, menandatangani kontrak, dan kemudian membiayai projek atau perniagaan anda untuk anda bersama-sama dengan Bank Dunia dan Bank Industri.
BalasHapusKategori Perniagaan
Perniagaan Merchandising.
Perniagaan pembuatan
Perniagaan Hibrid.
Perniagaan tunggal
Perkongsian.
Syarikat.
Syarikat terhad.
pinjaman peribadi.
pinjaman pelaburan.
Pinjaman Pinjaman.
Kredit pemilikan rumah.
HUBUNGAN SYARIKAT PINJAMAN:
Laman web: rikaandersonloancompany.webs.com
E-mel: rikaandersonloancompany@gmail.com
Panggilan Pelanggan: +1 (323) 689-3663
Sembang Whatsapp: + 1-323-689-3663
Facebook: Rika Anderson Alfreda
Instagram: Rikaandersonloancompany.alfred
Twitter: @LoanRika
Ibu pejabat: 228 Park Ave S, New York, NY 10003-1502, Amerika Syarikat
Cukai / CAC /: 1095/0730/2028
Mahkamah Agung Daerah New York, NY9016 34001