DISABILITAS
Difabel dan Benar Berpolitik
Oleh : MUHAMMAD KHAMBALI
KOMPAS, 26 Desember 2019
Tahun ini, peringatan Hari Disabilitas Internasional
bertema “Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul”.
Tema tersebut tidak jauh berbeda dari tahun lalu,
“Indonesia Inklusi dan Ramah Disabilitas”, hanya mengganti kata “ramah” menjadi
“unggul”.
Lebih dari itu, pemilihan tema-tema tersebut menjadi
cerminan cara pandang terhadap isu disabilitas. Sejauh ini, istilah disabilitas
dan difabel menggantikan “cacat” sebagai bentuk eufimisme atau penghalusan.
Sebelumnya, kata “cacat” mengandaikan seseorang yang memiliki keterbatasan
fisik layaknya barang rusak.
Kata cacat berasosiasi dengan tragedi, penyandangnya
menderita penyakit atau mengalami musibah. Mereka butuh ditolong dan
dikasihani. Sementara istilah disabilitas memakai model kacamata sosial, yang
melihat penyandangnya sebagai korban dari konstruksi sosial yang menindas dan
tidak setara (Barnes, 2003). Kacamata model sosial ini dianggap lebih tepat
ketimbang kacamata medis dan nasib belaka.
Selain penggantian istilah, “inklusi” seakan menjadi kata
wajib yang mesti dihadirkan dalam setiap tema peringatan Hari Disabilitas.
Kampanye inklusivitas ini seiring kesadaran mengenai kesetaraan, sehingga
difabel menjadi bagian dari keberagaman.
Dalam pendidikan, kita mulai mendapati sekolah inklusi.
Sekolah-sekolah reguler didukung untuk menerima murid difabel atau berkebutuhan
khusus. Di level olahraga, tahun lalu kita menyelenggarakan Asian Para Games
untuk atlet-atlet difabel. Belum lama ini, seleksi calon pegawai negeri sipil
juga menyertakan formasi khusus untuk difabel.
Benar
berpolitik
Semangat inklusivitas ini dapat kita lihat sebagai bentuk
political correctness atau benar dalam berpolitik, terhadap isu disabilitas.
Sikap mental yang tidak bias, tidak rasis, tidak benci, atau merendahkan
(Utami, 2016).
Benar berpolitik ini bekerja di wilayah bahasa, laku, dan
kebijakan. Upaya-upaya untuk benar berpolitik diharapkan dapat memutus
lingkaran setan bernama diskriminasi, yang melekat—lebih tepatnya
dilekatkan—kepada difabel.
Dalam praktik, tentu saja kita masih menjumpai
persoalan-persoalan dalam nuansa kultural dan sikap mental yang masih
menganggap difabel sebagai liyan—yang berbeda. Misalnya, kehadiran murid
difabel di sekolah reguler ternyata memunculkan bentuk perundungan baru,
seperti memanggil murid difabel sebagai “anak inklusi.”
Keterlibatan murid difabel dalam pembelajaran juga masih
dianggap sulit, karena kurikulum pendidikan kita masih berbasis kompetensi dan
standarisasi.
Dalam kurikulum semacam itu, murid difabel akan
tertidakmampukan (dibuat tidak mampu) dan terperangkap jebakan kurikulum.
Mereka dianggap “tidak kompeten” dan “tidak mencapai standar” pembelajaran
seperti murid lain.
Untuk dapat belajar di sekolah inklusi, murid difabel
butuh pembaruan kurikulum yang mengakomodasi keberagaman kemampuan dan keunikan
individu. Sebuah pembelajaran yang memakai pendekatan individual, bukan
klasikal (penyeragaman).
Usaha untuk benar berpolitik juga butuh dibarengi
ketersediaan akses atau aksesibilitas untuk memudahkan belajar. di antaranya,
sekolah inklusi perlu menyediakan akses literasi berupa buku-buku braille atau
buku dalam bentuk suara (audio book) bagi murid difabel yang tidak dapat
melihat. Sementara murid difabel yang tidak dapat mendengar butuh informasi
berbentuk gambar atau visualisasi, serta situasi sosial-kultural yang terbiasa
dengan bahasa isyarat.
Dari segi arsitektur, sekolah perlu menyediakan jalan
pemandu (guiding block) dan jalur trailing untuk murid difabel netra, juga ramp
atau tangga landai untuk murid difabel fisik.
Aksesibilitas dan kesetaraan bagi kelompok difabel adalah
menerima mereka jadi bagian dari keberagaman, bukan melebih-lebihkan (Thohari,
2018). Bahkan, dalam kesadaran yang didorong oleh semangat benar berpolitik sekalipun,
kita memang harus mengakui beberapa hal tanpa bermaksud melecehkan. Misalnya,
difabel netra memang memiliki keterbatasan penglihatan. Begitu pula difabel
fisik memiliki keterbatasan dalam mobilitas. Itu adalah karakteristik faktual
yang tidak perlu dimungkiri. Tetapi ketidakmampuan mereka untuk belajar, untuk
menikmati fasilitas publik, untuk bekerja dan berdaya, bukan lantaran dari
keterbatasan fisik pada diri mereka, melainkan lingkungan sosial, kultural, dan
politik yang tidak aksesibel.
Di sisi lain, benar berpolitik juga bukan dengan
glorifikasi dan fabrikasi narasi. Misalnya, pengoreksian bahasa “cacat” dan
”tuna” menjadi “anak luar biasa”, lalu menjadi “anak berkebutuhan khusus” atau
“difabel”, tidak boleh berhenti pada eufemisme atau sekadar sopan santun
berbahasa. Bukan juga demi kepatutan dan kecondongan belas kasihan. Alih-alih
menyemai inklusivitas, jadinya malah eksklusivitas dalam kemasan baru.
Kesadaran
kemanusiaan
Istilah baru, tetapi pengecapan terus terjadi, seperti
ramai-ramai memanggil “anak inklusi” dan “anak khusus”. Politik kesetaraan
memang dapat bermula dari bahasa. Tetapi pengoreksian bahasa atau istilah bagi
difabel butuh diikuti kesadaran egalitarian dan kemanusiaan yang utuh. Tidak
berongga dan masih menyimpan benih-benih rasial.
Di sinilah, sikap rasial yang paling jahat justru bukan
apa yang nampak di permukaan, melainkan yang terus disembunyikan dan
dikomodifikasi. Kita masih senantiasa menjumpai narasi mengenai kelompok
difabel sebagai objek inspirasi dan tontonan heroisme. Narasi semacam itu
justru memosisikan difabel tidak setara.
Slogan-slogan seperti disabilitas unggul, tangguh, atau
inspiratif, bila dirunut justru berakar dari cara pandang yang menganggap
difabel itu lemah dan tidak mampu. Sehingga ketika difabel dapat melakukan hal
yang biasa dilakukan nondifabel, mereka dianggap luar biasa. Pandangan semacam
itu perlu diruntuhkan.
Bila tak juga berubah, kita perlu merenung lagi, ada apa
dengan kemanusiaan kita.
Muhammad
Khambali, Peminat kajian Disabilitas dan Pengajar di SLB Rawinala, Jakarta
BalasHapusayo tes keberuntungan kamu di agen365*com :D
WA : +85587781483
cuma di sini agen jud! online dengan proses yang sangat cepat :)
BalasHapusayo segera daftarkan diri anda di agen365 :)
WA : +85587781483
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny
Izin promo ya Admin^^
BalasHapusBosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa
- Telkomsel
- XL axiata
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.CC ....:)