Faust Ragu di 2019
Oleh : RADHAR PANCA DAHANA
KOMPAS, 24 Desember 2019 06:05 WIB
Dari terbitnya fajar hingga berlalunya hari-hari awal
2019, kecuali dalam ilmu dan teknologi, tidak ada peristiwa penting —apalagi
yang tergolong menyenangkan—di negeri ini maupun internasional, yang perlu
dicatat secara khusus.
Sisa rasa nikmat itu membuat Januari jadi terasa
berlangsung begitu lama. Seperti hasil riset neuro-sains Zhengguang Cai PhD
dari University of College, London, yang menjelaskan jam dopamine kita
(neurotransmitter otak yang berkait dengan motivasi dan sistem reward) naik hingga
menciptakan impresi waktu terasa lebih lambat. Terlebih ketika di negeri ini,
juga sisa dunia, mesti menghadapi segera persoalan keras dan kompleks
peninggalan tahun sebelumnya.
Bersantai dua hari di awal tahun baru 2019, Presiden
Jokowi segera harus meninjau akibat bencana yang terjadi di sekitar Selat
Sunda, di mana hampir 500 orang mati, 10 orang hilang, 43.000 orang luka-luka
dan hampir 17.000 orang mengungsi. Belum lagi di Sukabumi, yang menurut catatan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengalami bencana alam hampir 300
kali hanya dalam bulan Januari saja.
Di tingkat global, perang saudara pecah lagi di Suriah,
demo kuning di Paris berlanjut, kecelakaan dan aksi teroris di banyak negara, terpilih
laginya Maduro di Venezuela meningkatkan tensi politik di Amerika Selatan, dan
perang dagang AS-China kian tereskalasi, membuat Apple merugi lebih dari Rp 100
triliun hanya dari penjualan iPhone.
Apa yang paling menarik dari semua itu, bisa jadi sama
dengan banyak negara lainnya, tak ada persoalan yang lebih mampu menguasai
perhatian publik, kecuali masalah ekonomi dan politik. Selama dua dasawarsa
setidaknya, sejak lengsernya Soeharto, dua dimensi masalah itu telah menjadi
panglima. Bukan hanya dalam isi dan berita utama media massa, media sosial,
tapi juga dalam isi obrolan atau kepala banyak orang.
Terlebih, upacara besar pemilihan presiden dan pemilihan
legislatif tengah mendekat masa puncaknya. Keributan politik bukan hanya
menyita perhatian kakek-nenek, remaja hingga murid sekolah dasar, tapi juga
duit rakyat yang dititipkan pada negara (cq pemerintah) maupun dari kantong
rakyat sendiri, hingga lebih dari Rp 50 triliun (estimasi moderat). Debat
capres yang dimulai medio Januari menjadi salah satu momen krusial di mana
politik telah menjadi raja kehidupan kita bersama.
Dan betapa menariknya, debat capres itu, ketika kedua
pasangan menghujankan janji pada publik, yang terasa tidak hanya sangat
ambisius tapi juga obsesif, bahkan di beberapa bagian terasa ilusif. Seperti
pernyataan kesiapan sang capres untuk memasuki dunia (industri) 4.0, sementara
rakyatnya sendiri sebagian besar masih belum paham atau sudah memasuki bahkan
era 3.0.
Bila dengan diamati cermat dan jujur, sebagian masih di
alam 2.0, sebagian lagi 1.0 pun belum, bahkan tergolong “primitif” seperti
beberapa sub-etnik yang masih setia mempertahankan tradisi dan cara hidup
primordial (purba)-nya.
Fakta itu tak hanya ironis, namun juga tragis. Bagaimana
janji baru yang muluk berani diucapkan, sementara janji lama banyak belum
sempurna atau terlaksana. Alih-alih kita mampu memasuki era 3.0 atau 4.0,
bangsa ini sudah terjebak dalam 5.0 (5.0 growth trap), angka yang menjerat
pertumbuhan ekonomi negeri ini tak mampu melangkah lebih jauh (sesuai yang
diinginkan/dijanjikan).
Angka yang membuat “new hope” menjadikan bangsa ini
unggul secara ekonomis di tingkat global (seperti diprediksi
PricewaterhouseCoopers) jadi semacam ilusi. Tapi kita masih kreatif dan
produktif melahirkan “hope”, dengan invaliditas dalam manifestasinya.
Retaknya
manusia
Betapa rajinnya bangsa ini, juga elitenya, memproduksi
harapan—kali ini—bukan ilusi. Tapi fakta historis juga antropologis. Saat
Jokowi pertama dimunculkan dalam sampul majalah Time, dengan kualitas foto
sangat baik, tajuk yang tertulis adalah “A New Hope”.
Saya kira, mentalitas atau hal yang sudah jadi tradisi
ini bukan hanya karena ada mitologi “Ratu Adil”, “Satria Piningit”, termasuk
mitos Persia “imam Mahdi”, yang berurat-akar di benak kita sebagai bangsa, tapi
juga ada sebab sosiologis, politis di dalamnya, menjadi sebab.
Setidaknya, selepas dari kolonialisme –secara de jure
maupun de facto yang berbeda masa—Indonesia, sebuah bentuk baru (negara modern)
yang agak menjadi fait accompli bagi bangsa-bangsa atau etnik berdaulat di
seantero negeri (Nusantara), harus melewati hidupnya dengan mengalami guncangan
keras hampir tiada habisnya.
Di masa mutakhir, persoalan eksternal (dunia global) yang
seperti tsunami menghantam kampung budaya bernama Indonesia ini, harus berpadu
satu dengan problem internal yang baik bentuk, sifat, tujuan hingga
intensitasnya meningkat tajam di dekade-dekade belakangan.
Tahun 2019 bukan hanya diisi oleh pengulangan peristiwa
dan tindakan degil, jahat dan kriminal, mulai dari elite puncak hingga akar
rumput, yang dalam dunia politik—dipercaya sebagian orang—hampir sukses
mensegregasi bangsa dalam dua kubu, tapi juga peningkatan pada apa yang disebut
“kerusakan moral”, “kebobrokan nilai” hingga terdegradasinya budaya bangsa
–bahkan—hingga ke titik nadir.
Bukan saja pejabat pusat dan daerah, kepala lembaga
negara, hingga pimpinan BUMN yang tanpa liang-sim (hati nurani) menggerogoti
harta negara (rakyat) dengan gergasif tanpa tedeng aling, kejahatan luar-biasa
lain mulai dari narkoba, terorisme hingga pelacuran, perjudian,
perkosaan/pedofilia, pembunuhan, perdagangan manusia, juga perundungan mencapai
tingkatan (dalam bentuk hingga kualitas) tak terbayangkan.
Bagaimana akal dan perasaan kita, apalagi hati/batin,
bisa membayangkan seorang anak muda, di satu kota Sumatera tengah tahun ini
memukuli habis ayah kandungnya hanya karena tidak mau membelikan pulsa.
Tak berhenti di situ, pemuda itu mengunci ibunya di
kamar, lalu menyeret ayahnya ke dapur dan mencincang sekaligus memutilasinya.
Ini contoh dari ratusan mungkin ribuan kejahatan “dini”
dan baru yang tak terbayangkan, apalagi dengan kedalaman adat serta budaya yang
telah dikembangkan dan dipelihara bangsa ini ribuan tahun lamanya.
Peristiwa-peristiwa yang seolah fiksi tapi bukan ilusi
itu berbanding terbalik dengan peristiwa lain yang jelas faktual tapi ilusif.
Sejak saya menulis “Tauhid yang Ilusif” (Kompas,
29/10/2015), gejala beragama sebagian masyarakat kita yang telah “membunuh
Tuhan” menjadi persepsi yang kian antropomorfis, setidaknya, makin kuat di
tahun akhir dekade ini.
Kerusakan yang terjadi di masyarakat bukan lagi
ada/disebabkan kesenjangan ekonomi, kelaparan dan pengangguran yang tetap
tinggi, bahkan polarisasi politik-religius yang kian tajam, tapi juga dalam
hidup sosial dan personal kita.
Peristiwa retak dan hancurnya hubungan rumah tangga,
hingga dicopot tuntasnya adat dan tradisi dalam kehidupan kita sebagai akibat
gejala di atas, di tahun ini mulai disadari banyak kalangan, juga para
penanggung jawabnya di pemerintahan. Kesadaran bila semua kondisi itu antara
lain mendapat sebab yang signifikan dari kuantitas waktu dan kualitas perhatian
kita pada dunia internet. Riset We are Social dan Hootsuite dari Inggris,
Januari 2019, menyatakan, peningkatan pengguna medsos di Indonesia 20 juta pada
2018 didominasi penduduk berusia 18-34 tahun.
Dari jumlah itu, rata-rata orang Indonesia mengakses
internet 8,5 jam/hari, 60 persen di antaranya untuk ber-medsos dengan rata-rata
11 akun dimiliki per pengguna. Bila Unesco menetapkan batas maksimal penggunaan
internet 4 jam/hari, di mana penggunaan di atas jumlah itu dipastikan mengalami
gangguan kejiwaan, bisa dibayangkan apa yang telah terjadi pada kondisi
fisiologis dan psikologis bangsa kita, terutama anak-anak dan milenial.
Betapapun imbauan yang saya tulis di Kompas, (“Medsos,
Pantaskah Dilarang”, 13/2/2017) tidak dapat tanggapan positif dari
penyelenggara negara. Pada akhirnya kita harus menerima kenyataan ratusan anak
dan remaja harus dirawat di rumah sakit jiwa karena kecanduan internet, mulai dari
Cisarua di Jawa Barat hingga Surakarta di Jawa Tengah, seperti diberitakan
media massa Oktober 2019.
Hantu
budaya lama
Data-data itu mungkin hanya sebagian (jika bukan puncak
gunung es) dari masalah berat dan kritis yang harus dihadapi generasi muda, milenial.
Mereka harus menerjang masa depan pada saat mengalami disorientasi dan
dislokasi, karena serbuan kultur baru yang tanpa acuan, sementara acuan yang
secara natural dan nurtural, adat dan tradisi, sudah tercabut akarnya dalam
hidup mereka.
Apa yang terjadi dalam keributan tentang “darah
Indonesia” penyanyi AgnezMo belum lama ini adalah ilustrasi kecil kenyataan
ini. mun menariknya, generasi sebelum mereka, katakanlah “Y” dan kaum baby
boomers justru meletakkan beban “masa depan” yang harusnya mereka pikul pada
“milenial” yang problematik itu.
Saya kira, tidak mengherankan bila Presiden Jokowi
mengalami semacam frustrasi dalam mengembangkan visi dan mengimplementasikan
ide-ide pembangunannya ketika ia harus menemukan jalan buntu pada para
pelaksana yang “mau enaknya sendiri” itu. Beberapa gebrakan mengejutkan yang
diambil sebagai kebijakan baru pasca-terpilihnya Jokowi untuk periode kedua
kepresidenannya, mendapat argumentasi di atas. Ia nampaknya mengalami kesulitan
dengan birokrasi yang masih memegang kultur kerja hingga politik yang
diwariskan Orde Baru.
Pada akhirnya kita harus menerima kenyataan ratusan anak
dan remaja harus dirawat di rumah sakit jiwa karena kecanduan internet, mulai
dari Cisarua di Jawa Barat hingga Surakarta di Jawa Tengah, seperti diberitakan
media massa Oktober 2019.
Begitu pun kerja samanya dengan para partner politik yang
umumnya juga masih terperangkap dalam budaya lama (Orde Lama dan Orde Baru).
Diangkatnya begitu banyak staf khusus “milenial” sehingga seperti membangun
“kabinet mini” di sekitar Istana hanyalah sebuah upaya untuk melakukan
terobosan mengatasi kejumudan yang merembes ke dalam hidup sosial (hingga
spiritual) masyarakat banyak.
Namun apa mau dikata, siapa pun presiden terpilih,
sehebat apa pun dia, harus menghadapi kenyataan buruk dan busuk itu, yang jika
didiamkan menjadi involusi yang menanam bom waktunya sendiri. Jokowi seperti
menghadapi Goliath atau monster untuk dapat maju dan menegakkan daulahnya.
Sendirian. Apa yang menarik, Jokowi tidak bisa memosisikan dirinya seperti
Daud, yang menggunakan ketapel untuk menyerang habis dan menaklukan monster
itu. Sang monster disadarinya bukanlah musuh sejati, juga saudaranya. Ia harus
membuat pendekatan konflik yang berbeda.
Radio Hilversum Belanda, persis 20 tahun lalu, pernah
menurunkan sebuah esai politik yang membaca hubungan aneh antara Soeharto dan
Habibie dengan satu analogi yang populer dalam tradisi Jerman, hubungan antara
Faust dan Mephistopheles. Sebuah hubungan panjang dalam sejarah tradisi atau
kebudayaan Jerman, diangkat menjadi berbagai cerita, tonel, komik termasuk
novel dua bagian Faust, karya JW von Goethe (1808 dan 1832).
Dalam esai itu, Jerman digambarkan mengalami dilema yang
sama saat hubungan unik tercipta antara Hitler dan Adolf Speer, arsitek
teknologi utama Nazi. Mereka berhubungan dekat, namun sekaligus menjadi ancaman
berat. Sehingga kemudian terjadi semacam kontrak “Faust” di antara mereka. Ada
yang harus “didamaikan” bahkan dengan sebuah monster atau kedegilan luar biasa.
Apakah Jokowi juga harus terlibat dalam dilema itu? Atau
jangan-jangan negeri ini, setidaknya dalam sejarah kekuasaan (politik)-nya
selalu menghadapi situasi yang sama? Mungkin sebagian kita ingat lagu “22
Januari” yang diciptakan Iwan Fals hampir 30 tahun lalu, di mana ia
mengekspresikan kegalauan dan kegamangan kesendirian, kegelapan dan
disorientasi. Walau itu –mungkin—dalam konteks pertemuan pertama dengan wanita
yang kemudian jadi istrinya, apa yang ia tulis di salah satu baitnya menjadi
refleksi, bisa jadi hal sama terjadi pada hidup kita semua.
Lalu
kubisikkan
Sebaris
kata-kata
Pu—tus
a—sa
Sebentar
lagi hujan
…
Aku
berteman iblis yang baik hati
Radhar
Panca Dahana, Budayawan
BalasHapusayo daftarkan diri anda di a*g*e*n*3*6*5 :D
WA : +85587781483
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
BalasHapusBONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.