Guru
Oleh : SAMUEL MULIA
KOMPAS, 1 Desember 2019
Saat saya
sedang mengerjakan tulisan ini, hari guru sedang diperingati. Awalnya saya tak
tahu bahwa hari itu adalah hari guru. Saya baru membaca di sebuah pajangan di
tepi jalan saat menuju ke sebuah pertemuan. Gara-gara melihat pajangan itu,
hati yang tenteram mendadak bergejolak. Serius.
Sungguh saya
sesali kalau mata saya sempat melihat pajangan di tepi jalan itu. Saya tak tahu
apakah guru saya pernah menyesali telah mendidik dengan cara yang membuat
seorang anak menjadi trauma sampai di hari tuanya.
Saya tak
pernah menjadi guru. Berniat untuk sekolah guru saja tidak. Meski sekarang saya
mengajar seperti guru, tetapi bukan menjadi pengajar yang saya sukai. Saya suka
melihat mereka yang saya ajari menjadi tahu dari tak tahu.
Tanggung jawab
Saya juga
tak tahu apakah guru-guru saya dulu kalau sehabis mengajar melakukan semacam
perenungan terhadap murid-muridnya, khususnya melihat bahwa dalam satu kelas
tak semua murid memiliki tingkat intelektual yang sama.
Apakah
sebagai pengajar mereka menyadari bahwa dengan tingkat kepandaian yang tidak
sama, seyogianya mereka tak mengajar dengan pendekatan yang sama. Kemudian
memberi predikat juara kepada yang superpandai dan yang tidak pandai tak dapat
apa-apa. Sungguh saya tak tahu pelajaran apa saja yang mereka dapatkan selama
mengenyam pendidikan guru.
Sebagai
murid, saya datang ke sekolah untuk belajar sesuatu. Sejujurnya sejak kelas 1
SD saya sudah tak berniat sekolah. Tetapi yaa… mau diapakan lagi. Saya tak
punya keberanian seperti teman-teman bule saya yang meninggalkan sekolahnya
karena merasa tak cocok.
Tanggung
jawab seorang murid adalah mendengarkan apa yang diajarkan dan berusaha
mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan supaya menjadi tahu, dan bukan
menjadi pandai.
Nah, kalau
seorang murid kemudian tak mengerti apa yang diajarkan bukan karena malas,
tetapi karena memang diciptakan dengan tingkat intelektual yang tidak sama,
sehingga memerlukan waktu lebih lama untuk mengerti, bukankah itu tanggung
jawab seorang guru untuk peka terhadap muridnya?
Harus sama
Semua orang
punya tanggung jawab. Saya sebagai murid bertanggung jawab terhadap diri saya
sendiri agar saya bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,
meski pergi ke sekolah itu buat saya adalah sebuah siksaan.
Bisa jadi di
masa sekolah dulu, kepala sekolah dan guru-guru saya itu tak tahu teknik
bagaimana mengajarkan sesuatu yang tak menarik, dengan pendekatan yang menarik.
Dengan begitu, murid seperti saya ini bisa cepat mengerti, dan bukan malah
karena kesal melihat saya tak bisa mengerti secara cepat, kemudian mengatai
saya seperti ayam tak punya otak.
Saya jadi
berpikir, mengapa saya yang jadi sasaran pelampiasan kekesalan seorang
pengajar, kalau sebagai kepala sekolah atau guru, mereka tak bisa menawarkan
pendekatan mengajar yang membuat muridnya betah, dan membuat dirinya sendiri
tak menjadi kesal.
Saya
bertanggung jawab terhadap orangtua saya yang sudah menyekolahkan saya dengan
biaya sekolah yang tidak murah sama sekali bahkan pada masa itu. Tanggung jawab
saya juga kepada guru yang telah mengorbankan dirinya untuk mengajarkan saya
yang bodoh ini.
Apa tanggung
jawab seorang guru? Bukankah pepatah mengatakan it takes two to tango? Kalau
saya sampai dianggap bodoh, bukankah itu juga karena kebodohan seorang guru
sampai saya tak bisa mengerti dengan baik dan cepat? Mengapa seorang guru
memaksa saya harus pandai berhitung lawong Tuhan saja tak mempersenjatai saya
dengan kepandaian berhitung?
Karena saya
tidak canggih, saya diberi nilai merah seperti darah. Bukankah nilai merah itu
juga menggambarkan sebuah nilai yang secara tidak langsung ditujukan kepada
guru sebagai pendidik yang gagal? Apakah seorang guru ketika melihat muridnya
mempunyai nilai merah atau bahkan tak naik kelas akan merasa sedih dan merasa
bersalah tak mampu membuat muridnya naik kelas?
Sekarang
saya mau bertanya, mengapa gambar pemandangan yang dilakukan oleh semua murid
di negeri ini harus berupa dua gunung dengan matahari di tengahnya? Mengapa
pemandangan harus berakhir seperti itu? Masak semua murid di negeri ini dipaksa
mempunyai hasil yang sama? Apa guna dan bagusnya kalau bisa sama?
Apakah
melihat hasil gambar seperti itu, para guru merasa bangga karena berhasil
memenuhi standar menggambar, atau malah sedih karena gagal memberi kesempatan
untuk berkreasi sesuai dengan kemampuan murid? Saya juga tak tahu. Saya tak
pernah menanyai guru-guru saya.
Nah, kalau
sekarang ini, kita menjadi susah menerima perbedaan, apakah semuanya bermula
dari gambar dua gunung itu? Saya tak tahu. Sungguh saya tak tahu. Yang saya
tahu sekarang, persahabatan saya yang bertahun lamanya itu renggang karena
sebuah perbedaan. ***
BalasHapus===Agens128 bagi uang Tunai===
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
Game Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
WhastApp : 0852-2255-5128
Agens128Agens128