PERPAJAKAN
Strategi Baru Pajak
Oleh : DARUSSALAM
KOMPAS, 30 November 2019
Ancaman tak
tercapainya target penerimaan pajak dan melebarnya “shortfall” (kekurangan
setoran) pajak semakin jelas di depan mata. Hingga Oktober 2019, baru sekitar
Rp 1.018 triliun pajak berhasil diraup. Angka ini 64,6 persen dari target APBN
2019 sebesar Rp 1.577 triliun.
Di saat yang
bersamaan, tekanan ekonomi mengharuskan adanya relaksasi. Reformasi pajak,
dalam rangka mengerek rasio pajak (tax ratio—perbandingan antara penerimaan
pajak dengan Produk Domestik Bruto), justru dilakukan bersamaan dengan
kepentingan untuk mendorong daya saing dan menggerakkan ekonomi nasional.
Lantas, apa
yang harus dilakukan untuk memutus shortfall pajak yang terus-menerus terjadi
sejak 2009?
Refleksi 2019
Boleh
dibilang, kita memasuki 2019 dengan optimisme yang tinggi. Pasalnya, realisasi
penerimaan pajak 2018 menorehkan capaian yang menggembirakan. Rasio pajak kembali
menunjukkan pola peningkatan setelah mengalami tren penurunan selama tiga tahun
sebelumnya. Namun demikian, ada beberapa faktor yang mendistorsi tren positif
tersebut.
Selain pengaruh
hajatan pemilu, kita turut menyaksikan turunnya harga komoditas, fluktuasi di
pasar keuangan internasional, perang dagang dan terganggunya rantai pasokan
global serta melemahnya kinerja ekspor-impor. Alhasil, kinerja sektor andalan
dan pos penerimaan pajak yang biasanya dominan malah kian lesu.
Selain itu,
pada 2019 pemerintah sedikit mengerem melakukan terobosan signifikan dalam
rangka mengoptimalkan pemungutan pajak. Relaksasi ekonomi dan upaya menciptakan
situasi yang ‘tidak gaduh’ bisa dianggap sebagai salah satu alasannya.
Kondisi yang
bisa dianggap anomali ini agaknya berpengaruh besar pada penerimaan pajak.
Proyeksi yang dilakukan DDTC Fiscal Research menunjukkan, penerimaan pajak
tahun 2019 dalam perhitungan kondisi normal akan berkisar antara Rp 1.361
triliun (pesimistis) hingga Rp 1.398 triliun (optimistis). Artinya, shortfall
pajak akan berkisar antara Rp 179 triliun (88,6 persen dari target) hingga Rp
216 triliun (86,3 persen dari target).
Akan tetapi,
dalam situasi ekonomi 2019 yang cenderung tidak normal, kinerja penerimaan
pajak bisa jadi lebih buruk. Skenario terburuknya, penerimaan pajak berada di
angka Rp 1.318 triliun dan memperlebar shortfall pajak hingga Rp 259 triliun
(Febrantara, Yustisia, dan Vissaro, 2019). Defisit anggaran dan utang
pemerintah kemungkinan besar akan turut meningkat.
Walau
demikian, risiko itu perlu disikapi dengan jernih. Solusi yang tersedia untuk
menambal shortfall di akhir tahun adalah dengan mengeksekusi data Automatic
Exchange of Information (AEoI) maupun informasi keuangan dari pihak ketiga.
Selebihnya, energi yang ada lebih baik dipergunakan untuk mematangkan strategi
yang lebih jernih untuk 2020 mendatang.
Tahun depan
target pajak dipatok Rp 1.642 triliun. Target tersebut hanya tumbuh 4,1 persen
jika dibandingkan dengan target 2019 yang sebesar Rp1.577 triliun. Namun,
seandainya shortfall melebar hingga Rp259 triliun, mau tidak mau penerimaan
pajak 2020 harus bertumbuh setinggi 24,6 persen. Angka pertumbuhan tersebut
bisa dibilang cukup sulit untuk diraih jika tidak terdapat strategi baru,
terutama di tengah perlambatan ekonomi dewasa ini.
Tantangan 2020
Tahun 2020
juga menjadi tahun pertama dari periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.
Dari pidato pelantikan di hadapan MPR pada tanggal 20 Oktober lalu terdapat
lima prioritas program, yaitu pembangunan sumber daya manusia (SDM),
pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi,
serta transformasi ekonomi.
Upaya
mendorong daya saing, melalui relaksasi, pada dasarnya telah terlihat dari
berbagai kebijakan keringanan pajak serta rancangan dari omnibus law mengenai
ketentuan pajak untuk penguatan perekonomian. Pemotongan tarif hingga berbagai
insentif pajak merupakan hal-hal yang kerap kita dengar belakangan ini.
Sayangnya,
ikhtiar untuk meningkatkan penerimaan pajak seakan ‘dikesampingkan’. Betul
bahwa kita menghadapi tantangan ekonomi yang melambat, tapi pajak seharusnya
tidak dianggap sebagai momok menakutkan bagi agenda pembangunan nasional. Pajak
juga jangan lantas ‘dikalahkan’ dalam argumentasi merebut hati investor dan
menciptakan daya saing nasional.
Sejatinya,
pajak adalah bagian tidak terpisahkan dari cara untuk mewujudkan cita-cita
luhur bangsa Indonesia. Tercapainya 17 program dalam Sasaran Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals /SDGs) juga memiliki prasyarat
peningkatan rasio pajak hingga setidaknya 15 persen (Gaspar, et al, 2019).
Dengan demikian, keberpihakan terhadap upaya meningkatkan penerimaan pajak
justru menunjukkan keberpihakan kepada seluruh lapisan masyarakat.
Betul bahwa
kita menghadapi tantangan ekonomi yang melambat, tapi pajak seharusnya tidak
dianggap sebagai momok menakutkan bagi agenda pembangunan nasional.
Relaksasi dan partisipasi
Dalam rangka
menyeimbangkan upaya merelaksasi ekonomi melalui sistem pajak dengan
meningkatkan penerimaan pajak di sisi sebaliknya, diperlukan strategi baru yang
dinamakan “Relaksasi-Partisipasi”. Artinya, relaksasi pajak harus dilakukan
secara bersyarat dan mengharapkan timbal balik berupa partisipasi masyarakat
dalam sistem pajak. Penting untuk digarisbawahi bahwa relaksasi dalam sistem
pajak mencakup hukum, kebijakan, dan administrasi.
Terdapat
empat strategi Relaksasi-Partisipasi. Pertama, relaksasi dipertukarkan dengan
partisipasi masyarakat dalam menggerakkan perekonomian. Pada area ini,
relaksasi pajak diberikan selama wajib pajak melakukan kegiatan yang
dipersyaratkan oleh pemerintah baik pada sektor, jenis, lokasi, dan/atau nilai
tertentu. Singkatnya, terdapat intervensi pemerintah mengenai perilaku wajib
pajak.
Fitur
kebijakan ini sebenarnya telah tercermin dalam beberapa fasilitas pajak seperti
super tax deduction untuk kegiatan vokasi maupun tax holiday. Hal lain yang
dapat dipertimbangkan misalkan prasyarat reinvestasi di Indonesia atas pembebasan
pajak dividen luar negeri atau ekspansi usaha atas membaiknya arus kas (cash
flow ) dari restitusi dipercepat.
Kedua,
relaksasi dipertukarkan dengan data dan informasi. Sebagai contoh, penerapan
cooperative compliance, di mana transparansi wajib pajak dipertukarkan dengan
kepastian. Strategi yang sama juga bisa diterapkan di sektor keuangan dan
penyedia platform digital (OECD, 2019). Keberhasilan strategi ini harus
didukung dengan adanya format data dan informasi yang seragam dan
dipersyaratkan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Ketiga,
relaksasi berbasis perilaku kepatuhan. Penerapannya dapat dilakukan misalkan
dengan pemberlakuan alternative minimum tax atas indikasi penghindaran pajak
korporasi, sanksi pajak yang lebih proporsional berdasarkan profil kepatuhan
dari wajib pajak. Strategi ini membutuhkan adanya pengelompokan wajib pajak
dalam skema compliance risk management.
Keempat,
relaksasi yang diimbangi dengan kepastian kontribusi pajak. Strategi ini
diprioritaskan bagi kelompok yang memperoleh benefit fiskal yang tinggi, tetapi
kontribusi pajaknya masih minim. Terdapat beberapa opsi yang bisa
dipertimbangkan, semisal pemberlakuan pajak berbasis kekayaan bersih kepada
kelompok pemilik modal yang diuntungkan dari omnibus law, safe harbour dalam
transaksi afiliasi, pemberlakuan pajak atas natura bagi kelompok profesi
tertentu.
Strategi
Relaksasi-Partisipasi di atas harus didukung oleh penguatan kelembagaan
otoritas pajak, inklusi pajak berkesinambungan, serta ketersediaan teknologi
informasi administrasi pajak yang mumpuni. Faktor keberhasilannya juga akan
ditentukan oleh kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan, seperti
akademisi, pengadilan pajak, konsultan pajak, asosiasi bisnis, instansi
pemerintah lainnya, pemerintah daerah, dan sebagainya. Dalam hal ini, komitmen
dan kepemimpinan politik sangat dibutuhkan.
Pada
akhirnya, tercapainya target penerimaan pajak di masa mendatang demi
kemandirian bangsa bukan sesuatu hal yang mustahil. Kuncinya hanya satu,
mendudukkan sektor pajak sebagai agenda sentral untuk memajukan Indonesia. Oleh
karena itu, tidak berlebihan dan benar adanya slogan yang berbunyi “Pajak Kuat,
Indonesia Maju”.
(Darussalam ; Managing Partner DDTC)
Saya ibu EVA FIORENTINA APRILA dari palembang mengucap syukur kepada allah,karna melalui bantuan dari aki abdul jamal yg sebesar 20m kini saya sudah bisa menjalankan usaha saya lagi.Puji syukur saya panjatkan kepada Allah yang telah mempertemukan saya dengan Aki Abdul Jamal dan melalui bantun pesugihan putih beliau yang sebar 5M inilah yang saya gunakan untuk membuka usaha selama ini,makanya saya sengaja memposting pesang sinkat ini biar semua orang tau kalau Aki Abdul Jamal bisa membantuh kita mengenai masalah ekonomi dengan bantuan pesugihan putihnya yang tampa tumbal karna saya juga tampa sengaja menemukan postingan orang diinternet jadi saya lansun menhubungi beliau dan dengan senang hati beliau mau membantuh saya,,jadi bagi teman teman yang mempunyai keluhan jangan anda ragu untuk menghubungi beliau di No Wa 085-254-384-488- rasa senang ini tidak bisa diunkapkan dengan kata kata makanya saya menulis pesan ini biar
BalasHapusSemua orang tau,ini sebuah kisa nyata dari saya dan tidak ada rekayasa sedikit pun yang saya tulis ini,sekali lagi terimah kasih banyak ya Aki dan insya allah suatu hari nanti saya akan berkunjun ke kediaman Aki untuk silaturahmi.Wassalam dari saya ibu Sartika dan untuk lebih lenkapnya silahkan buka blok Aki disini PESUGIHAN UANG GAIB TANPA TUMBAL
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusKaos Dakwah Terbaru
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Mungkin Kau Sering Lupa Kebaikan Istrimu