ETIKA
MEDIA
Sudut Pandang Media ”Kementerian
Jenderal”
Oleh : ASHADI SIREGAR
KOMPAS, 30 November 2019
Perhatian
media pada pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan Kabinet Indonesia Maju
adalah pada peningkatan mutu dan kapabilitas sumber daya manusia. Ini tentunya
berkait dengan daya saing perekonomian, termasuk peningkatan investasi, serta
pembangunan infrastruktur yang biasanya spektakuler. Semua merupakan
pemberitaan yang penting dan menarik.
Untuk
percepatan dan terwujudnya kemajuan diperlukan kondisi yang kondusif bagi
pemerintahan agar dapat bekerja efektif. Pembangunan tidak boleh terganggu.
Akan tetapi, fakta ada gangguan juga jadi bahan pemberitaan sexy, apalagi
berupa skandal yang sensasional. Agar
media tidak terjebak sensasionalisme, perlu dikembangkan perspektif khas.
Gangguan
pada pemerintahan Joko Widodo pada periode sebelumnya adalah dari dalam dan
luar pemerintahan. Dari dalam adalah korupsi sebagai penyakit kronis institusi
negara, perlu didefinisikan sebagai musuh bersama. Di sini tentu berperan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun,
mengingat besarnya lembaga negara dan luasnya cakupan kerja, mengandalkan KPK
semata untuk menumpas korupsi, tentulah mustahil.
Kerja KPK
boleh dipandang sebagai sepenggal pementasan teater bagi publik. Supaya didapat
kejelasan duduknya perkara korupsi sehingga publik jadi sensitif atas perilaku
busuk itu. Sekalipun berkali-kali keberhasilan KPK dipertontonkan, tidak jua
tecermin efek jera. Maka, menempatkan KPK selaku pemain tunggal untuk
menanggulangi korupsi se-indonesia, ibarat mengharapkan KPK jadi ”Superman”.
Tidak ada ”Superman” di dunia nyata.
Tidak kalah
penting adalah optimalnya fungsi institusi negara urusan penegakan hukum untuk
penanggulangan korupsi. Dari sini pentingnya kiprah kepolisian dan kejaksaan
khususnya bidang pidana khusus, selain KPK terutama dengan operasi tangkap
tangan (OTT) yang jadi primadona berita bagi pers.
Selain itu
gangguan berasal dari luar pemerintahan, pertama: berupa gerakan separatisme
yang ingin menyempal dari Republik Indonesia. Pendekatan untuk gejala
separatisme tentulah menghindari cara-cara represi kekerasan. Terutama ditempuh
dengan jalan sosial dan kultural, melalui berbagai kementerian terkait pemajuan
sumber daya manusia di wilayah yang sensitif separatisme. Kiranya di daerah tersebut, kiprah kementerian
bidang-bidang ini perlu ditingkatkan.
Kedua: ada
radikalisme di kalangan kelompok agama. Jelasnya adalah gerakan yang
berorientasi mengubah dasar negara kebangsaan menjadi negara berdasar agama
(khilafah) ala ISIS (Islamic State of
Iraq and Syria atau Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS). Gerakan khilafah ada yang cara lunak melalui
organisasi kemasyarakatan (ormas) legal, atau organisasi tanpa bentuk (OTT)
dengan menyusup ke mana-mana: lembaga pemerintahan, partai politik, pendidikan, atau dengan cara keras memaksakan
standar subyektif intoleran di ruang publik, puncaknya adalah terorisme.
Luruhnya keterbelahan bangsa dengan rekonsiliasi Jokowi-Prabowo, sempalan ini
lebih mudah diidenfikasi.
Orientasi
negara khilafah absolut merupakan ancaman akut bagi kelangsungan negara
kebangsaan yang majemuk. Seluruh kemajuan pembangunan tidak ada artinya jika
sendi-sendi kebangsaan rusak, dan NKRI runtuh. Maka, kesadaran tentang arti
penting kebangsaan dan NKRI perlu menjadi landasan menghadapi musuh bersama.
Media pers
layak menjadikannya perspektif dalam liputan pemberitaan. Orientasi pemberitaan
dalam kerja keredaksian diharapkan tidak sekadar untuk tujuan pragmatis
komunikasi berdasarkan standar nilai berita belaka, melainkan juga bertolak
dari kesadaran bahwa pers Indonesia adalah pilar penyangga kehidupan
kebangsaan.
”Kementerian jenderal”
Sensitivitas
atas gerakan negara khilafah agaknya yang menjadi dasar pertimbangan penetapan
kementerian-kementerian Pertahanan, Dalam Negeri, dan Agama. Adanya gerakan
khilafah, biasanya kita tidak mau terus terang. Apalagi menyatakan sebagai
musuh bersama, sebagaimana kita mewaspadai komunisme dengan orientasi negara
diktator proletariat.
Boleh jadi
dalam beberapa kali pertemuan dan dua
kali berkontestasi, antara Presiden Joko Widodo dengan Prabowo Subianto
terbangun chemistry dalam melihat
masalah kebangsaan. Sehingga timbul harapan bahwa ada kesepakatan kedua tokoh
bangsa tentang ancaman gerakan khilafah di Indonesia.
Penunjukan
Prabowo selaku Menteri Pertahanan bukan saja dapat dilihat sebagai upaya
memperbaiki keterbelahan bangsa akibat kontestasi, tetapi juga memberi tempat
bagi Prabowo dalam menjaga kelangsungan negara kebangsaan RI. Ancaman
separatisme di dalam negeri, dan dari
luar di antaranya penyusupan khilafah sebagai gerakan global, tentu
tidak asing bagi Prabowo.
Begitu pula
pengangkatan Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri. Dia tidak hanya
dikenal selaku Jenderal Polisi, tetapi juga spesialis/akademisi tentang
terorisme. Kementerian yang dipimpin Tito berkaitan dengan struktur
pemerintahan daerah dan organisasi kemasyarakatan. Fakta penting dari
kementerian ini selain penataan data penduduk dan desa yang amburadul adalah
korupsi di pemerintah daerah dan premanisme ormas di ruang publik. Tak kalah
penting, menindak gerakan khilafah yang menyusup melalui jalan legal.
Ide khilafah
mengembrio melalui peraturan daerah (perda) yang bersifat absolut, bukan
opsional di berbagai wilayah. Ini merupakan alasan pembenar untuk menggunakan
daya paksa negara melalui Satuan Polisi Pamong Praja (satpol PP) menjalankan
perda tersebut. Begitu pun ada kesan pembiaran keberadaan ormas keagamaan yang
ekstrem, intoleran dan tidak segan melakukan kekerasan di ruang publik. Ini
perlu menjadi perhatian Mendagri selaku ”jenderal”-nya Satpol PP.
Berikutnya,
penunjukan Jenderal Purnawirawan TNI Fachrul Razi sebagai menteri agama,
merupakan hal sangat langka. Sebelumnya hanya dua orang berlatar belakang
militer pernah mengepalai kementerian ini. Maka boleh juga dijadikan petunjuk
tentang pencanangan perang terhadap ide khilafah yang menyusup ke lingkungan
komunitas Islam.
Kementerian
yang energinya biasa terkuras mengurus perhajian, ke depan mungkin akan
terlihat dinamikanya mengatasi gerakan khilafah yang merebak. Jalan yang
ditempuh di satu sisi berupa sinergi dengan dua kementerian lain dan di sisi
lain memberikan panggung lebih utama bagi aliran keagamaan moderat dan toleran
sebagai Islam berbasis kenusantaraan.
Tiga tokoh
berlatar belakang militer dan polisi menduduki posisi-posisi unik, dalam waktu
dekat ini pelaku dan pendukung khilafah dapat diperkirakan bakal tiarap. Nanti
teriakan tentang nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) bakal kerap terdengar dari pelaku ataupun
pendukung gerakan.
Oleh karena
itu, media yang meliput fenomena ini perlu memahami di satu sisi tingkat
ancaman yang dihadapi dan berbarengan
itu tindakan eksesif aparat kekuasaan negara dalam berinteraksi dengan warga
yang melakukan kekerasan di ruang publik. Gerakan khilafah yang memiliki
jaringan global, biasa menggunakan tabir demokrasi dan HAM pada saat terdesak,
dan akan muncul manakala tersedia peluang. Sehingga menjadi duri dalam daging
bagi negara dan masyarakat.
Dengan
platform negara kebangsaan sebagai perspektif dalam kerja jurnalisme,
keberadaan tiga kementerian kiranya jangan sampai tercecer dari perhatian.
Keberadaannya tidak kalah signifikan dengan kementerian kabinet Indonesia Maju
lain yang bergerak di depan dalam mewujudkan kemajuan dalam pembangunan.
(Ashadi Siregar, Pengamat Media)
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny