Uang dan Kebahagiaan
Oleh : KRISTI POERWANDARI
KOMPAS, 30 November 2019
Harian
Kompas, 21 November 2019 (hlm 13), melaporkan hasil survei global pada pengguna
internet di 64 negara. Survei ini menempatkan Indonesia di urutan keempat dalam
optimisme terkait kondisi ekonomi negara.
Meski tergolong
di urutan teratas, optimisme masyarakat Indonesia turun dari posisi ke-2 atau
ke-3 dari hasil survei sebelumnya. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh adanya
kekhawatiran akan kondisi ekonomi, kestabilan politik, serta jaminan kesehatan.
Hasil survei juga menunjukkan berkurangnya jumlah konsumen yang menabung, bukan
karena orang Indonesia tidak suka menabung, melainkan karena uang kas dan dana
cadangan memang terbatas.
Bagaimana
saling pengaruh antara faktor makro dengan faktor personal terkait kondisi
ekonomi? Apa kaitan antara evaluasi mengenai kondisi ekonomi dengan kepuasan
hidup kita? Apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup kita di
masa selanjutnya?
Pemenuhan kebutuhan
Joseph Sirgy
(2018) me-review beberapa penelitian—umumya bersifat kuantitatif dengan data
besar—yang telah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya mengenai kaitan uang
atau materi dan kepuasan hidup.
Temuan
menunjukkan bahwa kepemilikan materi bagaimanapun berperan terhadap
kesejahteraan material dan kepuasan hidup kita. Mereka yang masih berkekurangan
atau tidak memiliki aktivitas yang menghasilkan nafkah merasakan kesulitan dan
lebih menghayati rasa cemas terkait kemampuannya memenuhi berbagai kebutuhan.
Dari sisi
demografi, tampaknya yang paling merasakan tekanan atau ketidakpuasan keuangan
adalah mereka yang berusia tengah baya. Itu mungkin karena mereka sedang dalam
fase harus mengeluarkan banyak uang untuk keperluan pribadi dan keluarga,
seperti membeli rumah, mobil, serta membiayai pendidikan anak.
Perempuan
dan laki-laki secara umum tidak menunjukkan perbedaan dalam kepuasan material.
Namun, perempuan orangtua tunggal, yang hidup bersama tanpa menikah dan
memiliki keluarga tiri, menunjukkan kepuasan yang lebih rendah. Hal ini mungkin
karena keterbatasan kondisi ekonomi membuat berbagai kebutuhan sulit untuk
terpenuhi dengan baik. Hal itu tampaknya juga berdampak terhadap penghayatan
kurangnya kemampuan dan otonomi keuangan.
Menarik,
penelitian ini dapat menemukan bahwa individu yang kurang puas dengan sisi-sisi
hidupnya, misalnya dalam relasi keluarga atau karier, cenderung mengompensasi
dengan menjadi lebih mementingkan materi.
Sebaliknya,
penghayatan subyektif akan kepuasan dapat memengaruhi kesejahteraan material.
Ini karena orang yang bahagia cenderung senang atau mampu bekerja dengan lebih
berkomitmen, dan karena itu juga menghasilkan uang lebih banyak.
Penelitian
juga menemukan bahwa semakin besar kesenjangan antara aspirasi material dan
capaian nyata keuangan, semakin besarlah ketidakpuasan yang dirasakan. Terkait
ini, nilai, gaya hidup, dan kebiasaan berperan penting terhadap kesejahteraan
material. Mereka yang menilai tinggi uang dan materi akan punya banyak
tuntutan, dan karena itu menjadi lebih sulit merasa puas.
Mereka yang
tidak puas dengan kondisi keuangannya pada umumnya akan bekerja lebih keras
lagi, dan hal ini membawa perolehan uang lebih banyak. Apakah mereka akan lebih
bahagia? Ternyata kebahagiaan tergantung pada bagaimana penghayatan dan
perilaku riil kita mengenai uang dan materi.
Pengembangan diri
Mereka yang
meninggikan materi dan cenderung pelit akan membanding-bandingkan harga,
menawar hingga mendapat harga terendah, punya banyak kepemilikan materi, dan
mengumpulkan banyak uang untuk ditabung.
Mereka yang
materialistis, tetapi cukup mudah mengeluarkan uang mungkin cenderung ingin
pamer, sering mengganti barangnya, mengasosiasikan harga mahal dengan kualitas,
mengikuti tren atau gaya-gaya baru yang ditawarkan, dan karena itu, dapat jatuh
ke dalam utang.
Sementara
mereka yang tidak mengutamakan materi dan sulit mengeluarkan uang cenderung
tidak menyukai barang mahal dan hidup sangat membatasi diri.
Penelitian
Tatzel (2003) menemukan bahwa yang tidak materialistis dan tidak sebegitu ketat
menjaga uangnya adalah yang paling merasa sejahtera apabila dibandingkan dengan
kelompok lainnya. Mereka lebih bersedia untuk mengeluarkan uang untuk rekreasi,
mengembangkan diri, dan membantu orang lain.
Sikap yang
murah hati itu mungkin yang menyebabkan mereka menjadi lebih bahagia.
Penelitian lain memberikan jawaban, bahwa mungkin orientasi yang lebih
intrinsik (bukan fokus pada materi, tetapi pada pemenuhan kebutuhan yang
sifatnya lebih mendalam) yang menyebabkan mereka menjadi lebih bahagia.
Ini harus
dibedakan dengan mereka yang sangat senang membelanjakan uang untuk hal-hal
konsumtif, apalagi yang sudah menjadi kompulsif. Hal itu justru akan menurunkan
kepuasan hidupnya secara umum. Apalagi jika individu banyak membandingkan
dengan orang di atasnya, yang ditemukan akan cenderung kurang puas terhadap
kehidupannya.
Perlu pula
dicatat bahwa ketika kita menghasilkan makin banyak uang, ekspektasi atau
tuntutan kita juga akan meningkat. Jadi, belum tentu meningkatnya penghasilan
akan meningkatkan kepuasan hidup.
Kondisi
ekonomi makro juga akan memengaruhi. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa
resesi atau kesulitan ekonomi akan menurunkan perasaan sejahtera dan kepuasan
dari masyarakat. Seperti telah disampaikan di atas, kondisi ekonomi, kestabilan
politik, serta jaminan kesehatan juga memengaruhi penghayatan akan
kesejahteraan ekonomi dan kepuasan hidup secara keseluruhan.
Mengenai hal
di atas, pemerintah, dengan dibantu oleh kita semua, perlu terus mengupayakan
suasana kehidupan bersama yang positif, menghadirkan jaminan kesehatan dan
jaminan hidup yang lebih baik, serta menciptakan peluang-peluang kerja baru.
Pada tingkat
individu dan keluarga, masing-masing kita juga perlu meningkatkan kemampuan
mengelola uang secara positif serta menemukan cara hidup yang lebih mendekatkan
diri pada kebahagiaan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar