Seperti halnya yang diberlakukan di beberapa negara lainnya, program jaminan sosial mempunyai tujuan jangka pendek ataupun jangka panjang bagi para pesertanya.
Tujuan jangka pendek penyelenggaraan program jaminan sosial bagi para pesertanya adalah untuk memberikan proteksi bagi para pesertanya jika mengalami risiko sakit, kecelakaan, atau kematian selama masa aktifnya bekerja pada suatu perusahaan maupun lembaga kerja. 

Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kondisi-kondisi tersebut dicakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan program Jaminan Kematian (JKM). Sementara dalam jangka panjang, penyelenggaraan program jaminan sosial adalah memberikan jaminan kesejahteraan pada saat peserta sudah memasuki usia tidak produktif lagi.
Program SJSN yang memberikan jaminan kesejahteraan dalam jangka panjang terdiri atas dua program. Pertama, program Jaminan Hari Tua (JHT), yang benefitnya akan diberikan secara lumsum pada saat akan memasuki usia pensiun. Kedua, program Jaminan Pensiun (JP), yang setelah memenuhi batas waktu minimum membayar iuran atau kepada ahli waris peserta yang meninggal akibat kecelakaan kerja akan diberikan secara anuitas pada setiap bulan.
Dengan cakupan kepesertaan yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, jumlah peserta kelima program SJSN tersebut juga sangat besar dan tersebar dari Sabang sampai Merauke. Daerah-daerah tertentu, seperti halnya Nanggroe Aceh Darussalam, telah menerapkan qanun atau peraturan daerah yang berbasiskan prinsip-prinsip syariah.
Sebagian peserta yang beragama Islam banyak yang menyampaikan aspirasi mengenai kebutuhan terhadap produk-produk keuangan yang bebas dari unsur riba (interest rate free), dan bahkan ada yang mempersyaratkan keikutsertaannya pada program-program SJSN jika telah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Walaupun produk-produk keuangan syariah tidak bersifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi umat Islam—melainkan bersifat inklusif yang juga bisa dimanfaatkan oleh lapisan penduduk yang beragama selain Islam—tetapi dengan mengingat struktur kependudukan Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan dalam momentum pengembangan sektor keuangan dan ekonomi syariah, penguatan sistem keuangan dan ekonomi syariah menjadi suatu kebutuhan yang cukup mendesak. Kondisi ini juga menjadi faktor pendorong pengembangan program jaminan sosial yang berbasis syariah.
Ketersediaan program-program SJSN yang berbasis syariah selain dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan bagi para pesertanya juga dapat digunakan sebagai faktor pendorong dalam pengembangan sektor keuangan ataupun ekonomi syariah. Dari empat jenis program SJSN yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan telah terakumulasi jumlah dana yang sangat besar dan saat ini menjadi investor institusi dengan nilai dana kelolaan yang terbesar.
Sebagian besar dana ini bersifat jangka panjang dan sangat tepat juga dilokasikan dalam instrumen-instrumen investasi syariah jangka panjang, seperti surat berharga syariah negara (SBSN) atau sukuk negara, sukuk korporasi, saham-saham syariah.
Sementara dari program JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan menimbulkan transaksi di sektor kesehatan dengan nilai kapitalisasi hampir mencapai Rp 100 triliun per tahun. Walaupun bukan berupa investible funds, hal itu dapat memperbesar likuiditas pasar keuangan, khususnya perbankan, yang sangat besar dan bisa menimbulkan efek pengganda yang sangat besar dalam pengembangan keuangan dan ekonomi syariah.
Pengalaman Malaysia
Sebagai negara yang saat ini masih memimpin perolehan peringkat negara dalam ekonomi Islam global, Malaysia sebagaimana dilaporkan oleh Global Islamic Finance Report (GIFR) tahun 2018, juga menempati posisi teratas dalam pengembangan sistem keuangan syariah, diikuti Iran, Arab Saudi, UAE, Kuwait, serta Indonesia di peringkat keenam. Kinerja Malaysia dalam kategori pengembangan ekonomi ataupun keuangan syariah di antaranya karena kontribusi dari pengembangan program jaminan sosial berbasis syariah.
Sejak 2010, Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP) atau dikenal dengan istilah Employee Provident Funds (EPF) telah secara sistematis dan kontinu mengembangkan produk simpanan syariah. Dalam kerangka kerjanya, program strategis yang telah dan sedang dijalankan EPF terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama yang berlangsung 2010-2013, merupakan pembangunan konsep dan kerangka dasar atas suatu produk simpanan uang pekerja yang berbasis syariah.
Terdapat enam aspek yang dijadikan fokus penguatan dalam tahapan ini, yaitu berupa kerangka kerja syariah (mencakup pembentukan komite syariah, penerapan manajemen risiko dan tata kelola terhadap prinsip-prinsip syariah), penataan aspek legal, manajemen investasi pada instrumen syariah, manajemen keuangan, manajemen operasi, serta bidang komunikasi, pendidikan dan penyiapan SDM.
Pada tahapan ini juga telah dilakukan survei preferensi peserta terhadap program syariah dan diperoleh hasil bahwa lebih dari 70 persen menginginkan program tabungan pensiun dan hari tua yang berbasis syariah.
Menyadari bahwa edukasi dan literasi merupakan faktor sangat dominan pengaruhnya dalam implementasi suatu program ataupun produk baru, pada tahap berikutnya selama tiga tahun, yaitu 2013-2015, KWSP melakukan kegiatan sosialisasi dan pengenalan produk simpanan syariah kepada masyarakat luas di Malaysia.
Cukup lamanya periode pengenalan dan literasi produk tabungan syariah ini mengindikasikan bahwa EPF melaksanakan setiap tahapan program strategisnya dengan sangat serius dalam rangka mendorong dan menjamin keberhasilan pengembangan sistem keuangan dan ekonomi syariah.
Dalam proses pengenalan produk syariah ini juga ditekankan bahwa pemanfaatan produk simpanan pensiun ataupun hari tua syariah itu tak terbatas pada kelompok penduduk yang beragama Islam saja melainkan berlaku universal tanpa melihat status keagamaannya dan lebih menonjolkan asas manfaat yang lebih besar dibandingkan yang dikelola secara konvensional.
Dalam tahap implementasi program simpanan pensiun dan hari tua yang berbasis syariah sejak 2016 hingga saat ini KWSP telah merekrut banyak peserta baru maupun peserta yang melakukan migrasi dari sistem konvensional. Walaupun sifatnya pilihan, pemilihan menjadi peserta program simpanan syariah di EPF telah dipersyaratkan tidak boleh melakukan migrasi kembali ke produk simpanan yang konvensional.
Penetapan tingkat imbal hasil produk simpanan syariah benar-benar didasarkan sepenuhnya pada kinerja investasi instrumen keuangan syariah. Sementara yang konvensional sepenuhnya didasarkan pada kinerja investasi instrumen keuangan konvensional.
Adanya kebijakan pemisahan yang sangat jelas antara produk konvensional dengan syariah memberikan dorongan dan keyakinan adanya perselisihan dalam proses penilaian kinerja serta proses audit. Pada tahun pertama implementasi produk syariahnya, EPF telah mencatatkan kepesertaan lebih dari 633.000 orang dan setahun kemudian pada 2017 berkembang menjadi lebih dari 720.000 orang.
Dengan dukungan dana kelolaan investasi yang sudah mencapai 800 miliar ringgit atau setara Rp 2.765 triliun— yang selanjutnya akan dikonversi secara bertahap menuju kisaran 40 persenan—dorongan terhadap pengembangan keuangan dan ekonomi syariah menjadi sangat signifikan.
Pengembangan
Pada dasarnya, penyelenggaraan program-program jaminan sosial sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Berdasarkan UU No 40/2004 diatur bahwa penyelenggaraan program-program jaminan sosial harus didasarkan pada sembilan prinsip.
Dari sembilan prinsip itu, setidaknya terdapat lima prinsip yang sesuai atau ekuivalen dengan prinsip-prinsip syariah. Prinsip pertama program jaminan sosial yang identik dengan prinsip syariah adalah kegotongroyongan atau adanya saling membantu antara satu kelompok peserta dan kelompok peserta yang lain.
Keharusan menerapkan prinsip keterbukaan juga sangat sesuai dengan prinsip syariah yang mengharuskan menghindari sesuatu yang tak jelas atau ghoror. Prinsip berikutnya adalah kehati-hatian yang juga sama persis dengan prinsip syariah, yakni dalam melakukan sesuatu harus hati-hati dan terhindar dari unsur ketergesa-gesaan.
Penerapan prinsip portabilitas atau pemberian jaminan yang berkelanjutan walaupun peserta berpindah tempat tinggal di seluruh wilayah Indonesia, juga sesuai prinsip syariah dalam memberikan kemudahan kepada orang lain. Prinsip kelima, yakni amanah, juga identik dengan prinsip syariah.
Walaupun sempat terjadi perdebatan terkait proses penyelenggaraan program JKN oleh BPJS Kesehatan yang dianggap belum sesuai dengan prinsip syariah, pada akhirnya tahun 2015 Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengeluarkan fatwa yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan program jaminan sosial bidang kesehatan dapat digolongkan sebagai at-takaful al-ijtima’iy, yang tentunya sesuai dengan tujuan syariah dalam memberikan kesejahteraan kepada umat manusia.
Walaupun sudah banyak yang sesuai dengan prinsip syariah, penyelenggaraan program jaminan sosial bidang ketenagakerjaan belum disertai fatwa dari DSN-MUI mengingat masih terdapat bagian proses bisnisnya yang perlu disesuaikan dengan prinsip syariah.
Sebagai salah satu investor institusi terbesar dengan besaran aset kelolaan mencapai Rp 374,3 triliun pada akhir 2018, peran BPJS Ketenagakerjaan dalam proses pengembangan sektor keuangan dan ekonomi syariah di Indonesia sangat besar. Alokasi portofolio ke dalam instrumen syariahnya pun sudah mencapai lebih dari 20 persen, kendati sebagian besar masih terbatas pada SBSN atau sukuk negara.
Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) tentang pengembangan program-program jaminan sosial berskema syariah antara BPJS Ketenagakerjaan dan KNKS yang dilangsungkan pada acara peluncuran Masterplan Ekonomi Syariah oleh Presiden Jokowi, 14 Mei 2019, merupakan momentum yang sangat tepat dalam penyediaan program-program jaminan sosial bidang ketenagakerjaan berbasis syariah. Pada gilirannnya, ini juga akan mendorong perluasan dan pengembangan sektor keuangan dan ekonomi syariah. ***