Paparan rencana pembiayaan fisik ibu kota negara yang baru, sebesar Rp 466 triliun, menunjukkan belum siapnya konsep pemindahan ibu kota. Rencana pembiayaan fisik versi Bappenas belum mengalkulasi postur pertahanan ibu kota yang memadai. 

Dalam paparan yang disampaikan dalam berbagai forum, seperti dialog di Bappenas dan Universitas Pertahanan, Mei dan Juni 2019, Bappenas mengestimasi biaya proyek fungsi utama mencapai Rp 32,7 triliun, termasuk pembangunan Istana Negara dan bangunan strategis TNI/Polri yang bersumber dari APBN murni.
Selain bangunan strategis TNI/Polri, fungsi pendukung yang terkait pertahanan adalah pembangunan rumah dinas bagi TNI/Polri. Namun, di luar bangunan strategis TNI/ Polri dan rumah dinas, belum ada yang direncanakan lagi dalam pemindahan ibu kota yang terkait pertahanan.
Seperti diuraikan dalam opini penulis berjudul ”Pertahanan dan Keamanan Ibu Kota” (Kompas, 14/5/2019), kesiapan pertahanan dan keamanan merupakan kunci keberlangsungan ibu kota dan negara itu sendiri. Jika pertahanan ibu kota tak memadai, termasuk pusat kekuatan pencegah dan penindak militer berada jauh dari ibu kota, negara itu dapat mengalami kelumpuhan.
Rekonstruksi bangunan strategis TNI/Polri dan rumah dinas anggota memang diperlukan jika ibu kota dipindahkan ke daerah yang jauh dari Jakarta, apalagi ke luar Pulau Jawa. Namun, bangunan statis lebih diperlukan dalam manajemen pertahanan di masa damai. Bangunan juga diperlukan sebagai lokasi instrumen pusat kendali dan kontrol dan mengurus administrasi.
Namun, yang juga penting adalah kedekatan jarak dan keterhubungan rantai komando secara kontinu antara Panglima TNI dan panglima/komandan organisasi matra dan satuan taktis dengan para prajurit dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.
Semakin jauh jarak geografis dan adanya kendala alam, seperti lautan dan pegunungan, operasi militer kian sulit dimenangi dengan cepat. Padahal, dalam operasi militer tempo adalah segalanya.
Pemindahan ibu kota tak sekadar memindahkan markas Pasukan Pengamanan Presiden dan organisasi pengamanan obyek vital lain. Organisasi, personel, alutsista, dan sistem pendukung satuan lain juga harus dipindahkan, atau organisasi yang telah ada di sekitar calon ibu kota ditingkatkan kekuatannya, baik personel maupun alutsista, atau dibangun yang baru sama sekali di sekitar lokasi ibu kota baru.
Namun, pembangunan organisasi dengan personel baru perlu waktu lebih panjang karena pendidikan pembentukan dan pengembangan kemampuan prajurit TNI bukan proses satu hingga lima tahun.
Sebagai perbandingan, kita dapat belajar dari Amerika Serikat (AS). Karena ibu kota adalah pusat gravitasi negara, AS membuat struktur organisasi Komando Gabungan Daerah Ibu Kota Negara (Joint Force Headquarters National Capital Region). Struktur ini menggabungkan sumber daya dari Angkatan Darat, Laut, Udara, Korps Marinir, Penjaga Pantai, serta Komando Pertahanan Ruang Angkasa dan berkedudukan di Fort McNair, Washington DC.
Padahal, AS adalah negara termaju dalam teknologi informasi dan pertahanan siber, punya alutsista terlengkap seluruh matra, rudal dan jet tempur berjangkauan paling jauh dan sistem pemantauan (surveillance) global tercanggih, termasuk yang ditempatkan di beberapa negara sekutunya. Namun, itu dinilai belum memadai hingga AS memiliki postur pertahanan ibu kota negara tersendiri.
Lebih besar dari estimasi
Jika ibu kota dipindah ke Kalimantan, misalnya, pemerintah dan DPR harus menambah banyak struktur baru lengkap dengan alutsistanya. Sebagai gambaran, mata dan telinga Indonesia bernama Komando Pertahanan Udara Nasional TNI punya struktur operasional berupa komando sektor yang bermarkas di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Papua.
Pangkalan udara yang dekat perbatasan negara seperti di Balikpapan dan Tarakan harus ditingkatkan kekuatannya, sebagaimana satuan radar dan satuan rudal lain di Kalimantan.
Selain itu, pemindahan pasukan besar-besaran akan menuntut kehadiran wilayah pertahanan yang lebih besar. Wilayah pertahanan diperlukan untuk markas komando, daerah latihan, daerah pengujian senjata dan simulasi tempur, penyimpanan amunisi dan logistik, serta perumahan.
Masalahnya, banyak daerah di luar Jawa, seperti Kalimantan, merupakan kawasan hutan dan lindung. Sebagian telah dikonversi untuk kepentingan pertanian, perkebunan, pertambangan, dan pemekaran wilayah. Peningkatan kebutuhan wilayah pertahanan menuntut konversi hutan dan kawasan lindung lebih besar, padahal pembukaan lahan bergambut yang baru akan memperbesar risiko kebakaran lahan secara rutin.
Dari deskripsi kebutuhan postur pertahanan ibu kota terlihat besarnya kebutuhan anggaran pemindahan ibu kota yang melebihi estimasi awal Bappenas. Padahal, pemerintah dan DPR telah mengisyaratkan penghematan belanja pada 2020. Apalagi sumber pembiayaan pertahanan hanya APBN.
Selain itu, pengalaman pembangunan postur kekuatan pokok minimal (minimum essential force) TNI tahap I (2010-2014) dan tahap II (2015-2019) menunjukkan realisasi anggaran selalu jauh di bawah kebutuhan.
-
Pemerintahan SBY pernah mengeluarkan Keppres No 35 Tahun 2011 sebagai inisiatif menambah anggaran pengadaan alutsista paling banyak Rp 57 triliun pada 2010-2014. Namun, tambahan pagu itu juga tak dapat dipenuhi. Akibatnya, target realisasi MEF tak tercapai. Kesenjangan makin terasa saat pengadaan alutsista strategis semacam jet tempur pengganti F5 E/F Tiger belum terealisasi.
Karena itu, meletakkan rencana pemindahan ibu kota dalam kerangka waktu jangka panjang, misalnya 15-25 tahun, lebih realistis. Ketersediaan anggaran kita sangat terbatas, apalagi ada kebutuhan anggaran untuk dana otonomi khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, dana desa, pembangunan SDM, serta pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan sebagainya dalam periode 2020-2024.
Lagi pula, perwujudan visi ibu kota baru dari Presiden Soekarno dan Presiden Jokowi terasa lebih monumental jika terjadi menjelang atau saat peringatan 100 tahun kemerdekaan RI pada 2045. ***